Total Tayangan Halaman

Rabu, 09 November 2011

Saad dari’ah

A. PENDAHULUAN

Dalam Alquran dan as-Sunnah masih banyak hukum yang belum dijelaskan secara rinci. Sehingga para ulama mengembangkan metode, teori dan prinsip hukum dengan melalui ijtihad untuk mengeluarkan hukum-hukumnya. Upaya para ulama tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Salah satu hasil dari ijtihad para ulama yakni dzari’ah, yang secara bahasa berarti washilah, perantara atau jalan menuju sesuatu. Sedangkan secara istilah ialah sesuatu yang menjadi perantara ke arah perbuatan yang dilarang (sadd dzari’ah) atau yang diperbolehkan (fath dzari’ah).
Macam-macam Saad dari’ah di tinjau dari Dzari’ahnya ada dua
1.dzari’ah masyru’ah yakni jalan yang mendatangkan terhadaf anjuran
Contohnya fergi ke masjid (dari’ah) yang mendatangkan terhadaf melaksanakan sholat (masyru)
2.dzari ‘ah mamnu’ah
B. PENGERTIAN SADD DZARI’AH

Kata sadd adz-dzari’ah merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd dan adz-dzari’ah. Secara bahasa, kata sadd merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا yang berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lubang. Sedangkan adz-dzari’ah merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz-dzari’ah adalah adz-dzara’i. Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi, istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.
Secara istilah, pengertian sadd dzari’ah diantaranya sebagai berikut:
 Menurut Imam Asy Syatibi adalah melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu kerusakan (kemafsadatan).
 Mencegah/menyumbat sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.
 Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.
 Menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur)

C. DASAR HUKUM SADD DZARI’AH
1. Alquran
              . . .
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. (Q.S. Al An’am:108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Orang yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang diyakini oleh orang yang mencaci. Karena itulah, sebelum balasan caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).

2. Sunah
Hadits-hadits Nabi yang menerangkan tentang dzari’ah diantaranya :
a) Nabi berusaha untuk tidak membunuh orang munafik, pada saat mereka terus mengumbar fitnah di kalangan kaum muslimin. Hal ini disebabkan dzari’ah, yaitu jika mereka dibunuh akan dikatakan bahwa Nabi Muhammad membunuh sahabatnya.
b) Nabi melarang orang yang berpiutang menerima hadiah dari yang berutang kepadanya untuk mencegah terjadinya riba.
c) Nabi Muhammad saw melarang perbuatan menimbun harta sebab merupakan dzari’ah yang menyebabkan terjadinya kesulitan/krisis perekonomian masyarakat, selain perbuatan menimbun harta itu sendiri memang haram hukumnya.

3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:
دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan daripada meraih kebaikan (maslahah).

4. Aqli
Ketika seseorang membolehkan/melarang suatu perbuatan, maka mestinya ia juga membolehkan/pun melarang segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan yang telah ditetapkan.”

D. KEHUJJAHAN SADD DZARI’AH
Tentang kehujjahan sadd dzari’ah ada beberapa pendapat, diantaranya:
1) Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal dikenal sebagai dua orang Imam yang memakai sadd dzari’ah. Oleh karena itu, kedua Imam ini menganggap bahwa sadd dzari’ah dapat menjadi hujjah. Khususnya Imam Malik yang dikenal selalu mempergunakannya di dalam menetapkan hukum-hukum syara’.
2) Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah menerima sadd dzari’ah sebagai dalil dalam masalah-masalah tertentu dan menolaknya dalam kasus-kasus lain. Imam Syafi’i membolehkan seseorang karena udzur, seperti sakit dan musafir, untuk meninggalkan sholat jum’at dan menggantinya dengan shalat dzuhur. Akan tetapi, menurutnya, ia secara tersembunyi dalam mengerjakan shalat dzuhur tersebut agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat jum’at.
3) Golongan Zhahiriyah tidak mengakui kehujjahan sadd dzari’ah sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima campur tangan logika dalam masalah hukum.

E. MACAM-MACAM DZARI’AH
 Dari segi kualitas kemafsadatan, dibagi menjadi empat yaitu :
1) Perbuatan yang secara qath’i (pasti) mendatangkan mafsadah/ kerusakan, seperti menggalai sumur di belakang pintu rumah di jalan yang gelap dimana sekiranya ada orang yang masuk ke rumah itu dipastikan akan terjatuh ke dalam sumur tersebut.
2) Perbuatan yang kemungkinan kecil (jarang) akan mendatangkan mafsadah, seperti menjual makanan yang pada umumnya tidak membahayakan atau menanam anggur, meskipun pada akhirnya anggur tersebut akan dijadikan arak oleh orang lain.
3) Perbuatan yang kadar kemungkinan terjadinya kemafsadatan tergolong dalam kategori persangkaan yang kuat, tidak sampai pada kategori keyakinan yang pasti, tidak pula terhitung jarang. Dalam hal ini, persangkaan kuat disamakan dengan keyakinan yang pasti. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik, menjual senjata pada musuh yang dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
4) Perbuatan yang jika dikerjakan, kemungkinan besar akan mendatangkan mafsadah, akan tetapi tidak sampai ke tingkat persangkaan kuat apalagi ketingkat keyakinan yang pasti, seperti baiy al ajal (jual beli dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Misalnya A membeli kendaraan dari B secara kredit seharga 20 juta. Kemudian A menjual kembali kendaraan tersebut kepada B seharga 10 juta secara tunai, sehingga seakan-akan A menjual barang fiktif, sementara B tinggal menunggu saja pembayaran dari kredit mobil tersebut, meskipun mobilnya telah jadi miliknya kembali.
Bagian yang keempat ini termasuk masalah yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah baiy al ajal ini dilarang atau diperbolehkan. Menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah, jual beli tersebut diperbolehkan karena syarat dan rukun dalamjual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al mujarrad) tidak bisa dijadikan dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu, bentuk dzari’ah tersebut diperbolehkan. Sedangkan Imam Malik dan Imam Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian dzari’ah seperti tidak diperbolehkan.

 Dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan diantaranya:
1) Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan seperti meminum minnuman keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
2) Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak, saperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah tahlil).

F. PENUTUP
 Dzari’ah merupakan sumber hukum islam yang dipakai ulama secara konsensus. Perbedaan pendapat yang terjadi hanyalah pada penentuan kriterianya. Pada hakikatnya, para ulama tetap sepakat bahwa dzari’ah ini merupakan sumber hukum yang diakui.
 Bagi seorang mukallaf ketika hendak mengambil dzari’ah harus memperhatikan dan membandingkan madharat/bahaya masing-masing.

G. DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia. 2007.
Umam, Chaerul. Ushul Fiqih 1. Bandung : Pustaka Setia. 1998.

Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Terjemahan oleh Saefullah Ma’shum, dkk. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000.

“Sadd adz-Dzari’ah dan Fath adz-Dzari’ah”, Wordpress (on line), (http://racheedus. wordpress.com/makalahku/makalah-nyoba/, diakses 02 April 2010)

”Sadd adz-Dzarâi’, dan Keabsahannya Sebagai Dalil”, Wordpress (online), (http:// pwkpersis.wordpress.com/2008/03/22/sadd-adz-dzarai-dan-keabsahannya-seba gai-dalil/, diakses 02 April 2010).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar