Total Tayangan Halaman

Sabtu, 19 November 2011

PERIODISASI ULAMA SALAF

A. Pengertian Salaf secara Etimologi dan Terminologi
1. Pengertian Salaf secara Etimologi
Salaf secara etimologi berasal dari lafaz} salafa yaslufu salfan, contoh salafu al-sai> (sesuatu yang telah lewat) dengan kata lain Mad}a> artinya yang telah berlalu, seperti salafa fula>n seseorang telah berlalu atau juga taqaddama.
Kata salaf juga bermakna al-mutaqaddimu, dengan kata lain mu'tabaran mutaqadiman (orang-orang yang terdahulu yang telah memberikan pelajaran) seperti dalam al-Qur'an:
فجعلنا هم سلفا ومثلا للا خرين ( الزحرف 56)
Dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian".QS. Al-Zuhru>f [43]: 56.

Hal senada juga dalam Kamus al-Munawwir, kata "salaf" mengandung arti kullu ma> taqaddama min a>ba>'ik (sesuatu yang terdahulu dari nenek moyang, leluhur) yang berarti orang yang lebih dulu, lafaz ini mempunyai lawan kata "khalaf", sedangkan al-sa>lif merupakan isim fa>'il dari salaf yang artinya telah lewat atau yang dahulu atau juga al-mutaqadimu, yang mendahului, juga bermakna lain al-z\ikru yang telah disebut/dikatakan dahulu. Jadi, segala sesuatu apabila dinisbatkan kepada kata"salaf", maka ia mengandung makna lampau.
Dari pengertian di atas, muncul pula istilah salafiyah yang diturunkan dari akar kata Arab salaf, "mendahului". Al-Qur'an menggunakan kata salaf untuk merujuk masa lalu (QS. Al-Ma>idah [5]: 95, QS. Al-Anfa>l [8]: 38). Dalam leksikon Arab, salaf adalah leluhur yang saleh (al-salaf al-s{a>leh}), dan seorang salafi> adalah orang yang mengambil al-Qur'an dan Sunnah sebagai satu-satunya sumber untuk peraturan agama. Istilah salafiyah sering dipertukarkan dengan isla>h} (reformasi) dan tajdi>d (pembaruan), yang merupakan konsep fundamental bagi pandangan Islam. Namun, bagi sebagian orang, istilah ini berkonotasi reaksi dan kekacauan, akibat dari ketaatan salafiyah yang ketat pada al-Qur'an dan Sunnah serta pengagungannya terhadap masa lalu.

2. Pengertian Salaf secara Terminologi
Sedangkan salaf secara terminologi, mayoritas ulama berpendapat bahwa ulama salaf adalah mereka yang hidup pada tiga abad pertama tahun Hijriyah. Abad pertama disebut periode Sahabat, abad kedua disebut periode Ta>bi’i>n, dan periode ketiga disebut Ta>bi’ al-Ta>bi’i>n. Hal ini, didasarkan pada hadis Rasulullah riwayat Muslim, “ Sebaik-baiknya masa (qarn) adalah masaku, kemudian masa sesudahnya, kemudian masa sesudahnya”. Pendapat yang lebih kuat, satu (qarn) dimaknai dengan 100 tahun. Berdasarkan hadis di atas, yang dimaksud salaf, yaitu ulama yang hidup pada tiga ratus tahun pertama Hijriyah, mereka adalah Ahli fiqih, Ahli hadis, Ahli ilmu ushul, dan Mufassirun. Kemudian ulama pasca tiga ratus tahun pertama Hijriyah dinamakan ”khalaf”.
Muh}ammad ibn Ibra>hi>m ibn Sa'dulla>h ibn Jama>'ah dalam kitabnya id}a>h} al-Dali>l senada dengan pendapat di atas. Ia mengatakan, bahwa salaf adalah mereka para ulama yang berkompeten dan mewarisi kebenaran mengenai ilmu-ilmu agama, pengetahuan dan akidah dari Nabi saw. Mereka adalah komunitas ulama yang terpilih pada tiga abad pertama Hijriyah atau sampai pada masa tadwin Hadis resmi. Periode ini, menurut Hasbi Ash-Shidieqi dalam sejarah hadis disebut ”As\r al-Wahyi> wa al-Takwi>n” (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam). Pada saat inilah lahir berupa sabda (aqwa>l), perbuatan (afa>l), dan penetapan (taqri>r) Nabi yang berfungsi menerangkan al-Qur'an dalam rangka menegakkan dan membentuk syari'at Islam.
Sedangkan Emad Eldin Shahin berpendapat, bahwa yang disebut generasi salaf masih kontroversial; namun, mayoritas ulama sepakat bahwa salaf terdiri atas tiga generasi pertama Muslim. Hal ini membentang tiga abad dan mencakup para sahabat Nabi. Sahabat yang berakhir Ma>lik ibn Anas (w. 91 H/710 M atau 93/712); pengikut mereka, Ta>bi'i>n (180/796); dan generasi setelahnya, Ta>bi' al-Ta>bi'i>n (241/855). Ah}mad ibn H{anbal (164-241/780-855) dianggap sebagai orang yang terakhir dari generasi salaf. Ketiga generasi ini dipandang tinggi oleh kaum Muslim selanjutnya, atas persahabatan dan kedekatan mereka dengan masa Nabi, juga atas pemahaman serta praktik keislaman mereka yang murni, serta kontribusinya bagi Islam.
Definisi kronologis salaf tidak cukup untuk menjelaskan istilah ini sepenuhnya. salaf tidak terbatas pada kelompok atau era tertentu. Kaum Muslim mengakui para ulama yang menonjol setelah masa itu dan tokoh-tokoh independen sebagai generasi salaf, termasuk Abu> H{amid al-Ghaza>li> (w. 1111), Ibn Tai>miyah (w. 1328), Ibn Qayyim al-Jauzi>yah (w. 1350), Muh}ammad ibn 'Abd al-Wahha>b (w. 1792) dan lainnya. Lebih dari itu, pandangan anggota generasi Muslim berubah seiring waktu dalam menanggapi tantangan yang dihadapi oleh komunitas Islam karena dedikasinya bagi reformasi dan kebangkitan terus ada. Tetapi dalam penelitian kali ini, penulis membatasi pembahasan salaf pada ulama generasi tiga abad pertama Hijriyah dengan masa Ah}mad ibn H{anbal, al-Qurt}u>bi> dan lain-lain sebagai generasi terakhir, maka pada tulisan selanjutnya penulis akan menfokuskan pada tiga abad pertama Hijriyah tersebut.

B. Periodisasi Salaf
1. Periode Sahabat
Periode ini adalah periode seratus tahun pertama Hijriyah, masa ini boleh dikatakan sebagai periode primordial, sebab para sahabat menerima langsung doktrin-doktrin dari Nabi, serta masa pembentukan syariat. Nabi Muhammad merupakan figur sentral yang mempunyai otoritas tunggal dalam masalah keagamaan, para sahabat menerima semua ajaran langsung dari Nabi ”sistem talaqi”, yang mempunyai konsep keagamaan yang sangat mulya dan terpilih sebagai umat yang terbaik.
Pada masa Nabi, nampaknya tidak ada sahabat yang berani menafsirkan al-Qur'an, karena beliau masih berada di tengah-tengah mereka. Sejak al-Qur'an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw telah melakukan penafsiran dalam pengertian yang sederhana, yakni memahami dan menjelaskan al-Qur'an kepada para sahabat. Beliau adalah the first interpreter (orang yang pertama menguraikan al-Qur'an dan menjelaskan kepada umatnya). Pada masa ini Nabi juga melarang para sahabat untuk menulis selain al-Qur'an karena takut tercampur dengan tulisan-tulisan yang lain. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan Muslim:
لا تكتبوا عنى غير القرأن ومن كتب عنى غير ا لقرأن فليمحه (رواه مسلم)
Jangan kamu tulis sesuatu dariku selain al-Qur'an, dan barang siapa yang telah menulis dariku selain al-Qur'an, maka hendaklah dihapuskan.(H.R. Muslim).

Nabi menjelaskan dan menafsirkan al-Qur'an dengan bentuk sunnah fi'liyah dan juga dalam bentuk sunnah taqri>ri>yah. Salah satu kelebihan tafsir pada masa Nabi, selalu dibantu oleh wahyu, sehingga jika ada kekeliruan terhadap ijtihad Nabi yang terkait dengan persoalan syari'at, wahyu lain akan turun untuk memberikan teguran dan koreksi.
Namun hal ini tidak berarti bahwa seluruh kandungan makna al-Qur'an secara detail sudah dijelaskan oleh Nabi, sebab banyak ayat al-Qur'an yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi sebelum beliau kembali kehariba'an Allah Swt. Dan ini secara tidak langsung merupakan tugas generasi berikutnya untuk memberikan penjelasan dari apa yang mereka pahami mengenai al-Qur'an. Dari kalangan sahabat, orang yang pertama kali berbicara mengenai tafsir adalah Maula>na Ami>r al-Mu'mini>n 'Ali> ibn Abi> T{a>lib (18 SH-40 H). Menurut al-Syarbasyi> ia termasuk sahabat yang kompeten dalam bidang ta'wi>l, sehingga Rasulullah menyebutnya dengan "Madi>natu al-ilm". Ia memahami al-Qur'an yang diturunkan dengan tujuh huruf, dan setiap huruf mempunyai makna yang tersurat dan tersirat. Kemudian 'Abdulla>h ibn 'Abba>s (3 SH-68 H) menempati posisi kedua di bidang tafsir setelah 'Ali> ibn Abi> T{a>lib dengan mengemukakan hampir separuh hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi. Posisi ketiga adalah 'Abdulla>h ibn Mas'u>d, ia mempunyai kedudukan yang tinggi di kalangan mufassiri>n, sehingga ia menempati urutan kedua dalam banyaknya meriwayatkan hadis Nabi. Posisi selanjutnya, Uba>i bin Ka'ab salah seorang dari empat sahabat Nabi yang menghimpun ayat-ayat al-Qur'an pada masa Nabi SAW.
Ahli tafsir di kalangan para sahabat yang terkenal luas ada sepuluh orang, empat orang Khulafa> al-Rasyidu>n, yakni Abu> Bakar al-S{iddi>q, Umar bin Khat}t}a>b, Us\ma>n bin Affa>n, dan 'Ali> ibn Abi> T{a>lib. Selain mereka terkenal juga nama-nama: 'Abdulla>h bin Masu>d, Ibnu 'Abba>s, Ubay bin Ka'ab, Zai>d bin S|a>bit, Abu> Mu>sa> Asy'ari> dan 'Abdulla>h bin Zubai>r. Di antara empat orang Khulafa> al-Rasyidu>n, yang paling banyak disebut-sebut para ahli riwayat adalah 'Ali> bin Abi> T}a>lib. Adapun riwayat tiga orang khalifah lainnya--mengenai soal tafsir--sangat jarang, mungkin karena mereka ia wafat lebih dulu.
Sumber utama penafsiran sahabat adalah al-Qur'an sendiri, al-Qur'an adalah ibarat jalinan kalung di mana yang satu dengan yang lainnya saling terkait dan menjelaskan. Maka di lingkungan sahabat muncul adagium bahwa al-Qur'an yufassiru ba'd}uhu ba'd}an. Metode tersebut merupakan satu cara yang ada dalam tafsi>r bil al-ma's\u>r. Cara yang dipakai dalam metode ini adalah dengan membawa sesuatu ayat yang mutasya>bih kepada yang muh}kamat, ayat yang mujmal (global) kepada sesuatu yang mubayyan (rinci), yang mut}laq kepada yang muqayyad, yang a>m kepada yang kha>s untuk mendapatkan penjelasannya.
Penafsiran ini cukup kompeten, terlebih mereka ketika menta'wil ayat-ayat mutasya>biha>t dengan membawanya kepada yang muh}kama>t. Di antara tokoh-tokoh mufassir masa sahabat, adalah 'Abdulla>h ibn 'Abba>s atau yang populer dengan Ibnu 'Abba>s ia dikenal sebagai salah seorang sahabat yang ahli di bidang tafsir al-Qur'an. Tidak berlebihan jika kemudian ia diberi gelar tarjuman al-Qur'a>n atau penafsir al-Qur'an. Selain kedalamannya dalam ilmu tafsir, ia juga dikenal sebagai peletak dasar-dasar ilmu tafsir.
Kelebihan lain 'Abdulla>h ibnu 'Abba>s, yaitu keahliannya dalam mengetahui berbagai makna-makna kata dalam al-Qur'an, yang oleh ibnu 'Abba>s berhasil dilacak pemakainnya hingga pada puisi-puisi pra Islam. Ibnu 'Abba>s juga menguasai ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu bahasa, fiqih, sya'ir, sejarah orang-orang Arab dan ilmu Hadis. Di lingkungan para sahabat sendiri, ketika terjadi perbedaan pendapat di antara mereka dalam memahami al-Qur'an, mereka selalu mencari dan bertanya kepadanya.
Jadi, kemampuan Ibnu 'Abba>s dalam penafsiran al-Qur'an tidak diragukan lagi. Kemampuan beliau dalam menafsirkan al-Qur'an diyakini merupakan berkah atas do'a yang dipanjatkan oleh Rasulullah untuknya:"semoga Ibnu 'Abbas menjadi ahli agama, pandai dalam menta'wil al-Qur'an dan menjadi hamba yang shaleh". , sehingga penafsiran Ibnu 'Abba>s menjadi sebuah tafsir yang cukup representatif dan menjadi rujukan bagi para sahabat waktu itu, juga para ulama tafsir berikutnya.
Akan tetapi banyak orang melebihkan periwayat mengenai Ibn 'Abba>s, sementara di sisi lain ada di antara mereka yang merendahkan dan meremehkan ucapan-ucapannya, sehingga Ima>m Syafi'i> sendiri mengatakan: "Tafsir yang benar dari Ibn 'Abba>s hanya setara seratus hadis".
Di luar sepuluh orang tersebut di atas, terdapat nama-nama lain di kalangan para sahabat Nabi yang turut ambil bagian dalam penafsiran al-Qur'an, mereka adalah Abu> Hurai>rah, Anas ibn Ma>lik, 'Abdulla>h bin Umar, Ja>bir bin 'Abdulla>h dan Ummul-Mu'mini>n A<'isyah. Tetapi tafsir yang diriwayatkan dari mereka relatif sedikit dibanding sepuluh mufassir di atas. Menurut al-Z{ahabi>, riwayat-riwayat tentang penafsiran Ibn 'Abba>s sendiri telah disusun oleh Abu> T}a>hir ibn Ya'qu>b al-Fairu>z Adi. Ia telah berhasil menghimpun atau mengumpulkan dan melakukan sistematika terhadap tafsir yang dinisbatkan kepada Ibn Abba>s dengan judul "Tanwi>r al-Miqba>s min Tafsi>r Ibn 'Abba>s" dengan metode tafsir periwayatan.

2. Periode Ta>bi’i>n
Pasca sahabat, penafsiran terus berlangsung pada generasi setelahnya, yaitu generasi Ta>bi’i>n yang notabene murid-murid sahabat Nabi banyak dari mereka yang menjadi ahli tafsir. Kebanyakan mereka terkonsentrasi di kota-kota, di mana sahabat-sahabat tersebut bertempat. Seperti Said ibn Jubai>r, Muja>hid ibn Ja>bir dan Ikri>mah yang berada di Makkah karena berguru kepada sahabat 'Abdulla>h ibn 'Abba>s yang berada di sana.
Di Madinah ada Muh}ammad ibn Ka’ab dan Zai>d ibn Aslam yang berguru kepada sahabat Ubay ibn Ka’ab. Sementara di Irak ada al-H{asan al-Bas}ri dan Amir al-Salabi> yang berguru kepada sahabat 'Abdulla>h ibn Mas’u>d. Gabungan antara penafsiran al-Qur’an dengan hadis-hadis Nabi, perkataan para sahabat dan Ta>bi’i>n inilah yang kemudian dikenal atau dikelompokkan sebagai tafsi>r bi al-Ma’s\u>r.
Mengenai mereka di atas, Ibn Tai>miyah mengatakan: "yang paling banyak mengetahui soal tafsir ialah orang-orang Makkah, karena mereka itu sahabat-sahabat Ibn 'Abba>s, seperti: Muja>hid, 'At}a> bin Abi> Rayyah, Ikri>mah Maula> Ibnu 'Abba>s, Said ibn Jubai>r, T{a>wus dan lain-lain. Demikian juga mereka yang berada di Kufah (Iraq), yaitu sahabat-sahabat 'Abdulla>h ibn Mas'u>d. Sedangkan di Madinah, seperti Zai>d ibn Aslam yang menurunkan ilmunya kepada anaknya sendiri, 'Abdurrahma>n ibn Zai>d dan kepada muridnya, yaitu Ma>lik ibn Anas" .
Adapun di kalangan generasi Ta>bi'i>n menurut Ah}mad al-Syirbasyi> muncul beberapa ulama ahli tafsir, lalu mereka banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi SAW dalam penafsiran al-Qur'an. Di antara mereka adalah: Al-D{ah}a>k ibn Muzalim (w. 120 H), At}iyah ibn Sa'ad al-Au>fi (w. 111 H), Ismai>l ibn Abd al-Rahma>n al-Sa>di (w. 146 H), Asbat} ibn Nasar, Muh}ammad ibn Sai>d al-Kalabi (w. 146 H), Muh}ammad ibn Marwa>n al-Si>di al-S{a>ghir, Muqa>til ibn Sulaima>n al-Azdi al-Kurasani> (w. 150 H), 'Abu Kha>lid 'Abd al-Ma>lik ibn 'Abd al-Azi>z ibn Juraizi, dan lain-lain.
Pada masa Ta>bi'i>n telah mulai dilaksanakan kodifikasi kitab tafsir serta pengklasifikasian secara teratur sesuai dengan masa penyusunan. Kitab tafsir pertama ialah tulisan Sa'id ibn Jubai>r (w. 64 H), setelah itu Abu> Muh}ammad ibn Ismail ibn 'Abd al-Rah}ma>n al-Kufi>>, yang terkenal dengan nama al-Sidi (w. 127 H). Kemudian tafsirnya Muh}ammad ibn Sa'id al-Kalbi (w. 146) dengan tafsirnya "al-Kabi>r", dan masih banyak lagi karya tafsir yang lahir pada masa Ta>bi'i>n.
John Wansbrough seorang pengkaji karya tafsir klasik berpendapat, bahwa sebenarnya berbagai karya tafsir tertulis mulai bermunculan minimal sejak Abad ke-2 H, meskipun sulit dideteksi mengenai jenis tafsir yang berkembang pada masa itu, serta sulit menentukan kitab tafsir mana yang dipandang lebih tua. Dalam hal itu Wansbrough mengkalisifikasikan berbagai kitab tafsir pra-T{abari> ke dalam lima jenis (tipe) yaitu: haggadic (naratif) halakhic (legal), masoretic (tekstual), rhetoric (retorika), dan alleggorical (simbolis). Dalam pengklasifikasian ini Wansbrough menggunakan kriteria stylistic (gaya penafsiran) dan functional (kegunaan, fungsi) dari tafsir tersebut yang kemudian dikolaborasikan antara keduanya. Meskipun rentetan kesejarahan (Historical sequence) dari klasifikasi Wansbrough ini masih diperdebatkan secara luas, akan tetapi kategorisasi tersebut menunjukkan suatu bentuk keilmuan yang kuat, fungsional, mempersatukan dan sangat bermanfa'at.
Penelitian Wansbrough hanya mencakup berbagai kitab tafsir sebelum munculnya karya al-T{abari> yang disusun abad ke-1 dan ke-2 hijriyah, yang meliputi berbagai karya seperti Tafsir karya Muqa>til ibn Sulai>ma>n (w. 767 M), Fad}a>'il al-Qur'a>n karya Abu> Ubaid (w. 838 M), Tafsi>r karya 'Abd al-Razza>q Musytabiha>t al-Qur'a>n karya al-Kisa'i> (w. 804), Tafsi>r karya Muja>hid al-Jabba>r, Tafsi>r karya Sufya>n al-S|auri>, Ma'a>ni al-Qur'a>n karya al-Farra'(w. 822 M), dan Tafsi>r Khams Mi'ah al-Atil ibn Sulaima>n dan lain-lain. Dari berbagai kitab tafsir tersebut, kitab yang termasuk jenis tafsir haggadic (naratif) adalah tafsir al-Qur'an karya Muqa>til ibn Sulaima>n, di mana tafsir tersebut berusaha memberikan uraian tentang qis}s}ah (narasi, cerita) yang secara khusus menekankan aspek hikmah dan etika yang terkandung dalam berbagai cerita tersebut. Sebagai bahan cerita dalam penafsiran diambil dari cerita-cerita rakyat Timur Dekat seperti rakyat Bizantium, Persia, Paris, dan khususnya cerita di lingkup Yahudi Kristen. Dan kitab yang termasuk jenis tafsir halakhic (legal) yaitu tafsir Khams al-Atil ibn Sulaima>n di mana tafsir ini berisi berbagai topik seperti keimanan, peribadatan, kasih sayang, puasa, haji, hutang piutang dan lain-lain. Jenis tafsir ini mulai agak rumit dan teknis karena dikembangkan metode untuk menentukan kronologi wahyu Islami serta analisa atas hukum legalnya. Jenis Tafsir ini menjadi pelopor lahirnya al-Tafsi>r al-Ah}ka>m yang kemudian dikembangkan oleh al-Jas}s}a>s} (w. 981 M) dengan karyanya Ah}ka>m al-Qur'a>n, kemudian al-Qurt}ubi> (w. 1272 M) dengan karyanya al-Ja>mi Li Ah}ka>m al-Qur'a>n.
Kemudian dari jenis tafsir Masoretic (tekstual) meliputi kitab Ma'a>ni al-Qur'a>n karya al-Farra>', Fad}a>il al-Qur'a>n karya Abu> Ubaid, Musytabiha>t al-Qur'a>n karya al-Kisa'i>, dan kitab al-Wuju>h al-Naz\a>ir karya Muqa>til ibn Sulaima>n yang lain. Aktivitas dalam tafsir jenis ini berkutat pada berbagai penjelasan tentang berbagai aspek leksikon dalam ragam bacaan berbagai ayat al-Qur'an. Pada era modern tafsir jenis ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali al-Sabu>ni> dalam karyanya Safwa>t al-Tafa>sir. Sedangkan jenis tafsir rhetoric (retorika) terlihat dalam kitab tafsir maja>z al-Qur'a>n karya Abu> Ubaidah (w. 824 M) dan ta'wi>l al-Muski>l al-Qur'a>n karya ibn Qutai>bah (w. 889 M) di mana perhatian terpusat pada nilai sastra al-Qur'an yang ditempatkan di luar batas-batas prosa dan puisi Arab. Dan jenis allegorical (metaforis, simbolis) terlihat dalam karya tafsir sufistik karya Sahl al-Tusturi (w. 896 M), di mana jenis tafsir ini mengungkapkan maksud simbolis al-Qur'an yang mengangkat makna zahir dan batin sebuah ayat al-Qur'an.
Dengan munculnya para mufassir pada masa Ta>bi'i>n tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara al-Qur'an dan Hadis, sehingga tidak menimbulkan kesamaran tentang al-Qur'an dan Hadis. Hal ini, karena al-Qur'an sebagai tasyri>' yang pertama telah dibukukan, maka hadispun yang berfungsi sebagai interpretasi al-Qur'an, secara otomatis harus dibukukan pula.
Sehingga pada masa ini pula selain mereka terkonsentrasi pada al-Qur'an dan tafsir, sebagian para Muhaddisu>n mereka sudah aktif dalam pemeliharaan, penulisan dan pengumpulan Hadis. Kemudian ditingkatkan dengan adanya pen-tadwin-an hadis diselenggarakan untuk tujuan pemeliharaan Syari'at. Hal ini sebagaimana telah dinashkan dalam al-Qur'an:

انا نحن نزلنا الذكر وانا له لحا فظون ( الحجر 9)
Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Dzikr (al-Qur'an) dan sesungguhnya Kami ( pulalah) yang memeliharanya.(QS al-Hijr: 9)


3. Periode Ta>bi' al-Ta>bi’i>n
Periode Ta>bi' al-Ta>bi'i>n (generasi ketiga Kaum Muslimin) meneruskan ilmu yang mereka terima dari kaum Ta>bi'i>n. Mereka mengumpulkan semua pendapat dan penafsiran al-Qur'an yang dikemukakan oleh para ulama terdahulunya (masa sahabat dan Ta>bi'i>n) seperti yang dilakukan Sufya>n ibn Uyainah, Waki> ibn al-Jarrah, Syu'bah ibn al-H{ajja>j, Yazi>d ibn Ha>ru>n, 'Abd al- H{ami>d dan lain-lain.
Kitab-kitab tafsir yang mereka tulis pada umumnya memuat pendapat-pendapat apa yang dikatakan oleh para sahabat Nabi dan kaum Ta>bi'i>n. Di samping itu juga ada yang menafsirkan seluruh isi al-Qur'an, juga yang menafsirkan sebagian saja (satu juz), ada juga yang menafsirkan satu surat bahkan satu atau beberapa ayat khusus, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum. Semua pendapat dan penafsiran yang dituangkan ke dalam kitab-kitab tafsir, merupakan pembuka jalan bagi Ibnu Jari>r at-T{abari> dalam penafsiran al-Qur'an.
Al-T{abari>, dalam kitab tafsirnya menyebutkan beberapa segi tafsir riwayat, ia menyajikan pula sanad-sanad hadis dan menyusunnya secara serasi serta berurutan dan ia mengungkapkan pula tentang ketetapan nas}-nas} yang diperselisihkan tentang sanadnya. Sedangkan metode yang dipergunakan dalam menafsirkan al-Qur'an: pertama, Ia memberikan landasan al-Qur'an tentang periwayatan suatu nas} dari Nabi dengan mempergunakan bahasa Arab upaya memahami makna suatu kalimat yang tidak ada keterangan tafsirnya dari As\ar (hadis) yang sah}i>h. Syair-syair Arab, kisah israiliyat juga dijadikan pedoman untuk mengukur ketepatan pemahaman mengenai suatu lafaz dalam al-Qur'an dan Hadis. Tetapi ia terikat dengan prinsip-prinsip dasar yang tidak boleh bertentangan dengan hadis maus}u>q dan sah}i>h. Kedua, ia tidak menggunakan metode makna maja>zi> (metaforis) dan lebih mengutamakan pemahaman makna-makna dari segi pengertian kata-kata (lafaz{).
Pasca T{abari>, penafsiran al-Qur'an mengalami perkembangan yang cukup pesat yang ditandai dengan munculnya berbagai kitab tafsir seperti Ta'wi>la>t Ahl al-Sunnah karya Abu> Mansu>r al-Matu>ridi> (w. 944 M), Bahr al-Ulu>m karya Abu> Lais al-Samarqandi> (w. 983 M), dan al-Kasyf al-Baya>n an Tafsi>r al-Qur'a>n karya S|a'labi (w. 1035 M), di mana mereka merupakan para mufasir abad ke-4 dan ke-5 Hijriyah yang menunjukan bahwa "tafsir Tradisional" telah terbentuk. Pada masa ini juga mulai terbentuk sub kajian khusus dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan 'Ulu>m al-Qur'a>n khususnya yang berkaitan dengan sebab-sebab pewahyuan atau Asba>b al-Nuzu>l dengan karyanya al-Wa>hidi> (w.1075 M) dan disempurnakan oleh al-Suyu>t}i> (w. 1505 M) dalam karyanya Luba>b al-Nuqu>l fi> Asba>b al-Nuzu>l.
Ketika kitab tafsir pada masa Ta>bi' al-Ta>bi'i>n sudah terkodifikasi, muncul beragam corak penafsiran al-Qur'an dengan berbagai permasalahannnya, hal ini telah mengundang perhatian banyak pengkaji penafsiran untuk menelaah berbagai corak penafsiran tersebut, sehingga muncul pengklasifikasian maz\hab-maz\hab (sekte-sekte) tafsir pada generasi awal (salaf). Abdul Mustaqim merinci sebab-sebab munculnya maz}hab-maz}hab tafsir, yang secara umum dibagi menjadi dua faktor: pertama, faktor internal (al-awa>mil al-da>khili>), faktor Internal dipicu oleh beberapa sebab: (i) Kondisi objektif teks al-Qur'an yang memungkinkan untuk dibaca secara beragam, karena al-Qur'an mempunyai berbagai versi bacaan yang dikenal sab'atu ah}ru>f. (ii) Kondisi objektif dari kata-kata (kalimah) yang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam. Seperti ayat-ayat mutasya>biha>t yang dita'wil dari berbagai segi sehingga mempunyai banyak arti. (iii) Adanya ambiguitas makna dalam al-Qur'an, yang disebabkan adanya kata-kata musytarak, seperti kata al-Quru (dapat bermakna suci, dan dapat pula haid). Sedangkan faktor eksternal (al-awa>mil al-kha>rijiyyah) adalah faktor-faktor yang berada di luar teks al-Qur'an, yaitu kondisi subyektif mufassir, seperti kondisi sosio-kultural, politik, prejudice-prejudice (pra-anggapan) yang melingkupi mufassir (reader).

C. Beberapa Kontribusi Lain Ulama Salaf dalam Studi Al-Qur'an
Karena penelitian ini terkonsentrasi pemahaman ulama salaf pada ayat-ayat mutasya>biha>t, penulis terlebih dahulu membahas pemahaman ulama salaf terhadap ayat-ayat al-Qur'an secara global sebagai kontribusinya dalam penafsiran. Pembahasan pemahaman secara umum ini berkaitan erat dengan pembahasan selanjutnya dan juga sebagai pengantar pada pembahasan ayat-ayat mutasya>biha>t tentang sifat Allah yang menjadi fokus penelitian ini. Juga disusun guna mengetahui peran ulama salaf dalam memberikan pondasi dan meletakkan dasar-dasar ilmu al-Qur'an selain seperti ilmu Tafsir, ilmu asba>b al-nuzu>l, ilmu tentang ayat-ayat yang turun di Mekkah dan yang turun di Madinah (Makkiyah dan Madaniyah), ilmu na>sikh mansu>h, ilmu ghari>b al-Qur'a>n (soal-soal yang memerlukan penta'wilan dan penggalian makna) dan ilmu muh}kam dan mutasya>bih.
Dalam sejarahnya, sekalipun bahasa Arab yang digunakan dapat dipahami, namun terdapat pula bagian-bagian al-Qur'an yang sulit untuk dipahami. Seperti terdapat ayat-ayat mutasya>biha>t dan ayat-ayat yang masih samar pengertiannya (al-ghumu>d) yang disebabkan oleh ke-mujmal-an al-Qur'an, seperti lafaz} musytarak (lafaz{ yang memiliki makna ganda), ghari>b al-lafz}i (lafaz{ yang masih asing), al-had\f (pembangunan lafaz{), ikhtila>f marji al-d}ami>r (adanya perbedaan tempat kembalinya yang diakhirkan), dan lain sebagainya. Hal inilah yang menjadi pemicu kajian di kalangan ulama salaf, dan tidak mengherankan jika sejumlah pengamat Barat, seperti Welch dan juga Watt memandang al-Qur'an sebagai suatu kitab yang tidak mudah untuk dipahami dan diapresiasi. Sehingga menurut mereka, kitab ini dari segi bahasa, gaya, dan aransemen telah menimbulkan masalah khusus bagi mereka.
Al-Qur'an di samping mengandung pemahaman muh}kama>t dan mutasya>biha>t, juga melahirkan berbagai konsep kajian ilmu al-Qur'an yang sangat luas. Ulama salaf banyak melahirkan kajian al-Qur'an, seperti sahabat Us\ma>n ibn 'Affa>n pertama kali memerintahkan reproduksi naskah al-Qur'an meletakkan dasar yang kemudian terkenal dengan nama 'ilmu rasm al-Qura>n atau juga ilmu rasm al-Us}ma>ni>. Kemudian 'Ali> ibn T{a>lib memerintahkan Abu> al-Aswa>d al-Duali> (wafat tahun 69 H ) untuk meletakkan kaidah pramasastra bahasa Arab guna menjaga corak keasliannya. Dengan perintah ini 'Ali> ibn T{a>lib adalah sahabat yang meletakkan dasar ilmu i'ra>b al-Qur'a>n.
Pada perkembangan selanjutnya, pada abad ke-3 H: 'Ali> al-Madani>, guru Ima>m al-Bukha>ri menulis kitab tentang asba>b al-nuzu>l. Abu> Ubai>d al-Qa>sim ibn Sala>m menulis tentang na>sikh mansu>kh qira>'at dan fad}a>il al-Qur'a>n. Muh}ammad ibn Ayyu>b al-Darwi>s (w. 294 H) menulis kandungan ayat yang turun di Mekkah dan di Madinah, juga Muh}ammad ibn Khalaf ibn Murzaban (w. 309 H) menulis kitab al-Ha>wi fi Ulu>m al-Qur'a>n.
Sedangkan secara sekilas, pada Abad ke-4 H: Abu> Bakar ibn Qa>sim al-Anbari> (w. 328 H) menulis kitab Aja>'ib ulu>m al-Qur'a>n. Dalam kitabnya ia berbicara tentang keutamaan dan keistimewaan al-Qur'an, tentang turunnya al-Qur'an dalam tujuh huruf, penulis mushaf, jumlah surat, ayat dan lafaznya. Kemudian Abu> H{asan al-Asy'ari> menulis kitab al-Mukhtazan fi> 'Ulu>m al-Qur'a>n (yang tersimpan dalam al-Qur'an). Abu> Bakar al-Sajista>ni> menulis tentang keanehan-keanehan al-Qur'an. Abu> Muh}ammad 'Ali> al-Kurkhi> (w. 360 H) menulis kitab Naqa>t} al-Qur'a>n al-Da>lah ala> al-Baya>n fi> Anwa> al-'Ulu>m wa al-Ah}ka>m al-Munabi'ah al-Ikhtila>f al-Ana>m (Titik-titik al-Qur'an Menunjukan Kejelasan tentang Berbagai Ilmu dan Hukum yang Memberitahukan Perbedaan Pikiran Insan). Kemudian Muh}ammad Ibn 'Ali> al-Afda>wi (w. 388 H) menulis kitab terdiri dari 20 jilid berjudul al-Istigna> Fi> Ulu>m al-Qur'a>n (Kebutuhan akan al-Qur'an).
Pada periode ini juga bermunculan berbagai tafsir dari berbagai kalangan seperti kalangan Syi'ah, Sunni dan Mu'tazilah. Dari kalangan Syi'ah muncul berbagai kitab tafsir seperti Tafsi>r al-Qur'a>n karya 'Ali Ibn Ibra>him al-Qummi> (w. 939 M), al-Tibya>n Fi Tafsi>r al-Qur'an karya Muh}ammad ibn H{asan al-Tu>si>(w. 1067 M), dan sebuah kitab tafsir yang dapat disejajarkan dengan karya al-T{abari karena banyaknya informasi yang ditunjukkan, yaitu Majma>' al-Baya>n Li'ulu>m al-Qur'a>n karya Abu> 'Ali al-T{abarsi (w. 1153 M). Semua kitab tafsir di atas berasal dari kalangan Syi'ah Dua Belas (asna 'asyriyah), sedangkan dari kalangan Syi'ah Isma'iliyah muncul kitab tafsir seperti Miza>n al-Tasni>m karya Ismail Ibn Hibat Allah (w. 1768 M). Berbagai kitab tafsir dari kalangan Syi'ah ini menggunakan pendekatan alegoris yang selaras dengan tafsir sufistik.
Dari kalangan Sunni muncul berbagai kitab tafsir seperti Mafa>tih} al-Ghai>b atau disebut pula al-Tafsi>r al-Kabi>r karya Fakhr al-Di>n al-Ra>zi (w. 1209 M) yang sarat dengan pembahasan teologis dan filosofis, dan Anwa>r al-Tanzi>l wa Asra>r al-Ta'wi>l karya Nasr al-Di>n al-Baid}a>wi> (w. 1291 M) yang merupakan penafsiran teologis dan karya tafsir terbaik dari masa sebelumnya di kalangan Sunni. Sedangkan dari kalangan Mu'tazilah muncul kitab tafsir al-Kasysya>f al-Haqa>'iq Gawa>mid} al-Tanzi>l karya Abu> al-Qa>sim al-Zamakhsari> (w. 1143 M) yang merupakan puncak tafsir rasionalistik teologi Mu'tazilah. Dalam kitabnya, al-Zamakhsyari> berusaha menafsirkan al-Qur'an dengan menafsirkan ilmu ketatabahasaan, leksikografi, penilaian yang logis dan pendekatan filologi bahasa Arab.
Bersamaan dengan itu muncul pula berbagai kitab tafsir ensiklopedis sebagaimana yang dirintis al-T{abari> seperti Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m karya ibn Kas\i>r (w. 1373 M), Fath} al-Qadi>r karya al-Syau>ka>ni (w. 1839 M), Ru>h al-Ma'a>ni> karya al-Alu>si> (w. 1854 M), dan Tafsi>r Jala>lain karya Jala>l al-Di>n al-Mah}ali> (w. 1459 M) dan Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i> (w. 1505 M). Dalam periode ini juga muncul tafsir Sufi yang terkait dengan tafsir di kalangan Syi'ah tetapi berbeda, seperti Haqa>'iq al-Tafsi>r karya Abu 'Ubai>d al-Rahma>n al-Sulai>mi (w. 1012 M). Dan tafsir Ibn 'Arabi yang pada awalnya ditulis oleh 'Abd al-Razza>q al-Kasyani> (w. 1330 M) tapi kemudian secara keliru dinisbatkan pada gurunya Ibn 'Arabi>. Dalam hal ini masih banyak ulama lain yang tidak penulis sebutkan dari abad ke-5 hingga seterusnya yang melahirkan berbagai ilmu sebagai pengantar dalam memahami al-Qur'an.
Melihat dari berbagai karya ulama salaf yang begitu dominan terhadap kajian al-Qur'an, menunjukkan bahwa pemahaman mereka terhadap al-Qur'an tidak terfokus kepada satu kajian saja, tetapi kepada seluruh cakupan makna yang terkandung dalam al-Qur'an yang sangat luas dan memiliki kemungkinan multi interpretasi. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, sebab umat Islam pada umumnya ingin senantiasa menjadikan al-Qur'an sebagai "mitra dialog" dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradabannya. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah sesungguhnya pemicu dan pemacu bagi perkembangan penafsiran, seperti halnya dalam sejarah penafsiran dan pemahaman al-Qur'an masa salaf.
Menurut Komaruddin Hidayat, teks al-Qur'an dengan kehadirannya di tengah umat Islam khususnya melahirkan pusat pusaran wacana keislaman yang tak pernah berhenti, bahkan gelombang geraknya semakin membesar, yaitu sebuah gerak sentripetal dan sentrifugal. Gerak sentrifugal dimaksud adalah karena teks-teks al-Qur'an itu ternyata mempunyai dorongan yang sangat kuat bagi umat Islam untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya yang untuk selanjutnya terjadilah pengembaraan intelektual karena dorongan al-Qur'an tersebut. Sedangkan maksud gerak sentripetal adalah seluruh wacana Islam yang telah berlangsung belasan abad melahirkan sekian banyak tafsir dan komentar mengenai berbagai bidang persoalan hidup yang sekular.
Dari perkembangan kajian al-Qur'an sejak periode salaf hingga kontemporer sekarang ini, dapat disimpulkan bahwa kajian al-Qur'an mengalami perkembangan yang pesat dan dinamis serta telah melewati berbagai zaman, tempat dan generasi pemikiran. Meskipun pemaparan perkembangan sejarah al-Qur'an di atas sangat terbatas dan dikhususkan dalam lingkup para intelektual generasi awal--dan itupun belum cukup semua perkembangan yang ada--namun hal ini menurut penulis sudah cukup membuktikan bahwa kajian al-Qur'an tidak pernah "mati" dan usang dalam perkembangan zaman. Dari berbagai perkembangan kajian al-Qur'an dalam lintas sejarah tersebut, bukan berarti lepas dari berbagai problem yang cukup menarik dan menantang untuk diteliti dan dikaji lebih lanjut.

1 komentar: