Total Tayangan Halaman

Sabtu, 24 Desember 2011

Nasehat

Ajarilah anak-anak anda berenang sebelum menulis, sebab mereka bisa mudah menemukan orang yang bersedia menulis untuk mereka tapi tidak berenang untuk mereka
sesungguh nya akal pikiran manusia tersembunyi pada bawah lidahnya
kalau tidak karena kata kata aku tidak tahu yang menyebabkan aku tahu maka aku tidak mengatakan apa yang tidak aku tahu
ampunan adalah perbuatan unik ia dapat menghangatkan hati dan menyejukan jiwa serta mengobati luka lara
ancaman atau balas dendam adalah janji yang lebih baik bila tidak di tepati
orang yang baik adalah orang yang merendahkan dirinya di depan umum dan memuji dirinya di depan kaca
orang yang menderita adalah orang yang luas pengetahuannya tinggi cita citanya namun rendah kemampuannya

Rabu, 07 Desember 2011

TAFSIR AHKAM DAN KONTEKSTUALISASI HUKUM ISLAM

A. Pendahuluan

Al-Qur’an bukan hanya pedoman agar manusia menjadi orang yang bertaqwa (QS,2 : 3), ia juga merupakan pedoman bagi setiap manusia (QS. 2:185) serta ia merupakan kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS, 14:1).
Teks Al-Qur’an sudah jelas ia terkumpul dalam suatu mushhap yang berisi 114 surat dimulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas yang terdiri dari 30 juz. Nabi SAW yang diutus sebagai nabi terahir dan untuk seluruh umat telah wafat dan teks Al-Qur’an dengan sendirinya berhenti, namun al-waqa’i (kejadian-kejadian) akan terus berlangsung, maka untuk itu penafsiran terhadap Al-Qur’an akan sangat berperan.
Al-Qur’an selain berbentuk teks (tersurat), dalam perjalanannya juga memiliki konteks (tersirat). Menurut Chozin Nasuha([1])
1. Teks Qur’an memiliki kaitan dengan konteks dengan kitab-kitab samawi
2. Qur’an memiliki kaitan konteks dengan sunah rasulullh SAW
3. Qur’an turun dengan dilatar belakangi oleh kebutuhan yang terstruktur
4. Teks Qur’an banyak redaksinya yang berdekatan satu sama lain, dan beberapa ayat qur’an banyak yang memiliki multitafsir. Maka karena itu mufassir memerlukan pemikiran (ijtihad) yang dapat menyamakan satu penafsiran dengan penafsiran yang ada, atau mencari satu penafsiran baru yang dianggap lebih baik dan manfaat
5. Pemaknaan terhadap Al-qur’an memiliki konteks yang didorong oleh realitas.
Adapun Metode kontektualisasi “Ulum al-Qur’an” menurut beliau ([2]) adalah:
1. Mempelajari entittas kehidupan masyarakat, ketika ‘Ulum al-Qur’an itu dirumuskan . Dalam kaitan ini ‘Ulum al’Qur’an pada mulanya berdialog dengan kebutuhan masyarakat , sehingga terjadi rumusan yang diperlukan (das solen), Kini berbeda dengan kenyataan (das sein)
2. Tuntutan kontekstualisasi Ulum al-Qur’an bekenaan dengan faktor diterminan terhadap perubahan sosial, mencakup lingkungan alam fisik , kebudayaan, pola interaksi masyarakat dan teknologi.
3. Proses kontektualisasi dilakukan melalui musyawarah, atau diskusi, seminar dan sebagainya, sampai terjadi ijma kontemporer, atau terjadi rumusan yang berani meskipun akibatnya dia dituduh bid’ah, sekuler, atau aliran kiri dan lain sebagainya.
4. Bentuknya bisa berkaitan dengan tambahan, atau modifikasi, atau perubahan, sepertii nasikh-mansukh dirubah menjadi kontektualisasi , muhkan mutasyabaih dapat berubah karena ada paradigma baru dan lain sebagainya.
Metode penafsiran Al-Qur’an yang dapat ditempuh adalah metode Hermeneutis( [3]), bila diintegrasikan dengan metode penafsiran teks hukum, maka antara lain digunakan metode gramatis, ekstensif, sistematis, teleologis, atau sosio-historis (takwin) atau analogis (qiyas) dengan alat bantu ilmu ushul fiqh.([4])
Hukum-hukum yang dikandung dalan Al-Qur'an terbagi dalam tiga jenis yaitu; hukum-hukum tentang keimanan (i'tiqadiyyah), tentang keislaman ('amaliyah) dan tentang ke ihsanan (khuluqiyyah) ([5]). ketiga hal tersebut bisa disebut dengan : tauhid, fiqh dan tasawwuf dan hampir sejajar dengan; Iman, islam dan ihsan; Ilmu, Amal dan ikhlash al-niyat.([6])
Ketiga hukum kandungan Al-Qur'an itu di isyarahkan Allah Yang Maha Bijaksana dalam surat al-Fatihah, surat pertama atau "pendahuluan" dalam istilah yang digunakan oleh para penulis dalam tulisan ilmiahnya.
Masalah 'itiqadiyah digambarkan Allah dalam surat al-Fatihah ayat 1 s.d 4,
masalah 'amaliyah ayat 5 dan 6, sedang masalah khuluqiyyah diisyarahkan dalam
ayat ke tujuh.
Masalah amaliah dalam al-Qur'an terdiri dari dua jenis pertama masalah ibadah (hubungan manusia dengan Tuhan pencipta) dan masalah mu'amalah (hubungan antara sesama manusia).

B. Tafsir Ahkam
Tafsir menurut bahasa (lughat) mengikuti wazan taf'il, berasal dari akar kata al- Fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak([7]). Adapun tafsir menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah([8]): "Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur'an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Menurut az-Zarkasyi: "Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.([9])
Menurut Chazin Nasuha([10]): Tafsir secara etimologis ulama berbeda pendapat, tapi kesimpulannya sama yaitu tafsir ialah ungkapan sesuatu yang tersembunyi melalui medium yang dianggap sebagai tanda bagi mufasir, melalui tanda itu, ia dapat sampai pada sesuatu yang tersembunyi. Tafsir dan ta’wil yang baik adalah tafsiran yang dikontekstualisasikan pada kepentingan masyarakat umum.
Seorang mufassir sering terbentur pada pengertian tentang tafsir Qur’an, karena dilingkari oleh konteks yang sering berubah dan tidak tetap, sehingga mufassir membutuhkan kejelian ketika ia akan masuk didalamnya. Perubahan konteks dan sistem kehidupan masyarakat menjadikan makna penafsiran tidak satu, bahkan relatif, tergantung kapan dan siapa yang menyusun konsep.
Tafsir sebagai usaha manusia untuk bisa memahami pesan-pesan Allah dalam Al-Qur’an, telah mengalami perkembangan. Sebagai hasil karya manusia timbul aneka ragam corak penafsiran. Keaneka ragaman itu ditimbulkan dari berbagai hal, diantaranya perbedaan kecenderungan, motifasi penafsir, perbedaan
misi yang diemban, perbedaan ragam keilmuan yang dikuasai penafsir , perbedaan zaman dan lingkungan yang berada disekitar penafsir, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi, situasi politik saat itu dan lain sebagainya. Keadaan seperti itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam.
Kegunaan tafsir Qur’an ada dua, yaitu teoritika dan praktika. Kegunaan teorika adalah untuk mengembangkan metodologi tafsir Qur’an dalam rangka memberikan wawasan ke depan yang berkaitan dengan teori dan metodologi. Sedangkan kegunaan praktika adalah berhubungan langsung dengan penerapan tafsir Qur’an kepada person dan masyarakat. ([11])
Menurut M. Quraisy Shihab, ada dua bentuk metode penafsiran al-Qur’an: Pertama metode tahlili atau tajizi-i dan kedua metode maudhui (tematik) atau tauhidi (kesatuan). Metode maudhu’i , walaupun benihnya telah dikenal sejak masa Rasul SAW., namun ia baru berkembang jauh sesudah masa beliau. Metode tahlili lahir jauh sebelum metode maudhu’i. Metode tahlili dikenal sejak tafsir Al-Farra (W.206 H), atau Ibnu Majah (w. 273 H), atau paling lambat Ath-Thabari (w 310 H).([12])
Dilihat dari sumber penafsirannya, tafsir terbagi pada tafsir bi al-ma’tsur yang juga dikenal dengan tafsir riwayat atau manqul bila sumber penafsirannya adalah riwayat dan tafsir bi al-ra’yi yang juga dikenal dengan tafsir dirayah atau ma’qul bila sumber penafsirannya adalah ijtihad.([13])
Said Agil Husin Al-Munawwar( [14]), sama halnya dengan Nashruddin Baidan([15]), membagi metode tafsir dalam:
1. Tafsir Tahlili (analitis), yang terbagi dalam;
a. Tafsir bi al-ma’tsur
b. Tafsir bi al-ra’yi
c. Tafsir shufi
d. Tafsir falsafi
e. Tafsir “ilmi
f. Tafsir adabi
2. Tafsir ijmali (global)
3. Tafsir muqarran (perbandingan), dan
4. Tafsir Maudhu’i (tematik)
Prasyarat menerapkan metode maudhu’i, menurut Quraisy Shibab, beliau kutip sebagaimana yang dipesankan Arkaoun pakar Muslim Aljajair ternama adalah keharusan “rendah hati”, Penafsir hendaklah merendahkan diri dihadapan Allah Tuhannya, berusaha merasakan kebesaran dan keagunganNya, sebab hanya Allahlah yang tahu tentang maksud apa yang difirmankanNya itu.([16]), disamping terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir.
Manna Khalil al-Qattan mencatat ada 9 syarat bagi mufassir dan 11 adab yang sebaiknya dimiliki oleh mufassir,([17])
Persyaratan mufassirin
1. Akidah yang benar,
2. bersih dari hawa nafsu,
3. menafsisrkan lebih dulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
4. mencari penafsiran dari al-Sunah,
5. apabila tidak menemukan tafsiran dari Sunah, hendaklah mencari penafsiran dari Shahabat,
6. bila tidak ditemukan tafsiran baik dlam Al-Qur’an, Sunah maupun pendapat Shahabat, periksa pendapat tabi’in,
7. mufassir harus tahu pengetahuan bahasa arab dengan segala cabangnya,
8. pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an,
9. pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna, atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nah-nas syari’at
Adab Mufassir
1. Berniat baik dan bertujuan benar,
2. berakhlaq mulia,
3. taat dan beramal,
4. berlaku jujura dan teliti dalam penukilan,
5. tawaddu dan lemah lembut,
6. berjiwa mulia,
7. vokal dalam menyampaikan kebenaran,
8. berepenampilan baik sehingga berwibawa,
9. bersikap tenang dan mantap,
10. mendahulukan orang yang lebih utama dari diriny,
11. mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik,
bila tidak dipenuhi syarat-syarat dan adab-adab penafiran, kemungkinan
terjadi kesalah, bahkan penyimpangan dari tafsirannya.
Muhammad Husein Adz-dzahabi([18]) mencatat penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an, meliputi:
1. Penyimpangan dalam tafsir para sejarawan,
2. penyimpangan dalam tafsir dari para ahli tata bahasa arab,
3. penyimpangan dalam tafsir dari orang-orang yang tidak menguasai kaida-kaidah bahasa Arab,
4. penyimpangan dalam tafsir Mu’tazilah
5. penyimpangan dalam tafsir orang-orang Syi’ah
6. penyimpangan dalam tafsir di kalangan Khawarij
7. penyimpangan dalam tafsir di kalangan para sufi,
8. penyimpangan dalam tafsir di kalangan para ilmuwan,
9. penyimpangan dalam tafsir di kalangan para pembaharu Islam
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an menurut Abdul Wahab Khalaf([19]) terdiri dari: al-ahwal al-syakhsiyyah 70 ayat, madaniyyah 70 ayat, jinayat 30 ayat, murafa 'at 13 ayat, dusturiyat 10 ayat, dauliat 25 ayat, iqtishshdiyah maliyah 10 ayat, sedang menurut Jajuni ([20]) ketentuan hukum dalam All-Qur’an, persentasenya tidak banyak, dengan kriteria Hukum Barat, hanya sekitar 3% dari jumlah ayat Al-Qur’an yang berisi aturan hukum.
Kitab-kitab tafsir yang memberi nama kitabnya dengan mencantumkan kata hukum ( ahkam ) dan biasa disebut dengan tafsir fiqh, diantaranya:
1. Ahkam Al-Qur’an karangan Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali ar-Razi yang terkenal dengan sebutan al-Jassas (abad ke empat), madhab Hanafi.
2. Ahkam Al-Qur’an karangan Abu Bukar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’arifi al-Isybili terkenal dengan sebutan Ibn ‘Arabi, madhab Maliki.
3. Al-Jami li ahkam al-Qur’an karangan Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Ansari al-Khazraji al-Andulisi, madhab Maliki,
4. Al-Jami li ahkam Al-Qur’an Karangan imam Qurtubi,
5. Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Syekh Muhammad ‘Ali al-Sais
6. Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Syeikh Manna’ al-Qattan,
7. Rawa’i al-Bayan tafsir ayat al-Ahkam, karangan Muhammad ‘Ali al-Shabuni
Aturan-aturan hukum dalam al-Qur'an secara tafsili diturunkan setelah Nabi hijrah dari Makah ke Medinah (madaniyyah), sedangkan sebelum beliau hijrah (Makiyyah) Al-Qur'an berbicara sekitar; tauhid, pahala dan siksa, serta keutamaan akhlaq.
Penafsiran ulama mutaqadimin/ulama salaf yaitu mereka yang hidup sebelum tahun 300 H., sumber penafsiran diambil dari penafsiran Nabi SAW, penafsiran shahabat dan tabi’in yang dikelompokkan dalam tafsir bi al-ma’tsur, sedang ulama muta’akhirin/khalaf (hidup sesudah tahun 300 H), yaitu abad ke empat sampai abad ke 12, bukan hanya mengambil corak tafsir bi al-ma’tsur, tetapi mengembangkan dengan metode-metode kondisional.([21])
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tafsir di abad ke-1, ke-2 dan ke-3 (mutaqaddimin) dengan tafsir abad-abad selanjutnya. Penafsiran ulama mutaddimin senantiasa berpijak dan mengacu kepada inti dan kandungan Al-Qur’an itu sendiri.
Pada masa Rasul, shahabat menanyakan masalah-masalah yang tidak jelas pada beliau, setelah Rasul wafat shahabat-shahabat hususnya yang mempunyai kemampuan untuk ijtihad; seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Abbas, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab melakukan ijtihad sendiri.([22])
Pada masa tabi’in, mereka menafsirkan berdasarkan tafsir Nabi yang diriwayatkan oleh shahabat, hasil ijtihad shahabat , dan riwayat ahli Kitab, sedang dimasa Tabi’it tabi’in sama seperti masa tabi’in (tafsir Nabi yang diriwayatkan oleh shahabat, hasil ijtihad shahabat, riwayat ahli kitab) dan ijtihad serta atsar tabi’in.([23])

C. Kontekstualisasi Hukum Islam
Kontekstualisasi berarti mengontekstualkan, sedang kata konteks sendiri seperti dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ([24]) berarti: Apa yang ada didepan atau dibelakang ( kata, atau kalimat, ucapan) yang membantu menentukan makna (kata, kalimat, ucapan dlsb). Oleh karena itu penulis mamaknai judul makalah: “Tafsir Ahkam dan Kontekstualisasi Hukum Islam “ dengan: Bagaimana memahami ayat Al-Qur’an tentang hukum yang turun pada situasi dan kondisi saat turunnya ayat tersebut bisa diterapkan pada saat ini.
Kita diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk mengontekstualisasikan teks ayat-ayat al-Qur’an, sebab al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk orang Arab pada saat Rasul SAW masih hidup saja, tapi diturunkan untuk seluruh manusia di jagat raya ini dan untuk sepanjang masa, sebagaimana Allah telah menurunkan syari’atnya bagi seluruh nabi-nabiNya disesuaikan dengan zamannya, sedang hal-hal yang terkait dengan aqidah semuanya sama yaitu tauhidullah.
Kontekstualisasi adalah proses berkesinambungan yang melalui kontekstual tersebut,kebenaran dan keadilan Allah dapat diterapkan dan muncul dalam situasi-situasi historis yang kongkrit. Kontekstualisasi dapat mencakup semua aspek kehidupan manusia, dan oleh kerena itu hal yang sangat perlu diperhatikan untuk melaksanakan kontektualisasi terhadap ayat-ayat (hukum) Al-Qur’an adalah maqasid al-Syari’ah
Hukum Islam
Hukum Islam adalah sebuah kosa kata dalam bahasa Indonesia yang terdiri dari dua akar kata, yaitu hukum dan Islam. Kata hukum Islam digunakan sebagai padanan dari Islamic Law dalam tradisi akademik Barat. Berbeda dengan titik pijak hukum Islam, yang berasal dari wahyu, hukum dalam tradisi Barat berangkat dari kebutuhan masyarakat untuk menjembatani kebiasaan mereka agar terwujud ketertiban dan keteraturan.
Para akademisi Barat menggunakan kata Islamic Law , sebagai terjemahan dari kata syari’at maupun kata fiqh, namun kecenderungan utama, mereka menggunakan kata syari’at Islam sebagi bentuk lain dari “hukum ketuhanan” yang membedakannya dari sistem-sistem hukum yang didasarkan atas pertimbangan manusia.
Menurut Abdurrahman Wahid, Hukum Islam dalam pengertian yang sederhana adalah “keseluruhan tata kehidupan dalam Islam”. Atau seperti dikatakan oleh Mac Donald, hukum Islam adalah “the science of all things, human and divine (pengetahuan tentang semua hal, baik yang bersipat manusiawi maupun ketuhanan).([25])
Menurut Mohammad Daud Ali; Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.([26])
Hukum Islam menurut rumusan seminar/loka karya Hukum Islam 1975, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah:”hukum fiqh mu’amalah dalam arti yang luas, yakni pengertian manusia tentang kaidah-kaidah (norma-norma) kemasyarakatan yang bersumber pertama pada Al-Qur’an, kedua pada sunnah Rasulullah dan ketiga pada akal fikiran.([27])
Menurut A. Djazuli, kecenderungan terakhir yang dimaksud dengan hukum Islam adalah hukum yang sudah dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundangan di dalam negara tertentu.([28])
Tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.[29]
Abu Ishak al-Syatibi, (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Ke lima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-syari’ah ([30]).
Syari’ah
Menurut istilah para ulama, Syari’ah adalah:”Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh salah seorang nabi-Nya SAW., hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara-cara bertingkah laku, yaitu yang disebut dengan hukum-hukum cabang (furu’). Untuk hukum-hukum semacam ini dihimpunlah ilmu fiqh.[31]
Menurut A. Djazuli, syari’ah bisa diartikan dengan arti yang sangat luas, dan dapat pula diartikan dalam arti yang sempit. Hal ini penting diperhatikan, karena para ulama tidak selalu sama dalam mengartikan syari’ah. Ada yang menganggap syari’ah itu sama dengan fiqh dan ada yang menganggap bahwa syari’ah khusus untuk hukum yang didasarkan kepada dalil yang qath’i saja. Bahkan ada yang menganggap bahwa syari’ah itu adalah keseluruhan ajaran agama.
Menurut Juhaya S. Praja, pengertian syari’ah secara harfiah adalah“sumber air” atau “sumber kehidupan”, sedangkan syari’ah dalam kalangan ahli hukum Islam mempunyai pengertian umum dan khusus. Syari’at dalam pengertian umum ialah keseluruhan tata kehidupan dalam Islam, termasuk pengetahuan tantang ketuhanan. Syari’ah dalam pengertian ini sering kali disebut fiqh akbar, sedangkan syari’ah dalam pengertian khusus berkonotasi fiqh atau sering kali disebut fiqh ashgar, yakni ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tantang al-Qur’an dan suanah dengan menggunakan metode tertentu (Ushul Fiqh)[32]
Menurut Bismar Siregar; “Syariat adalah cara hidup yang berasal dri nilai-nilai abadi mutlak, diwahyukan dengan jalan keseluruhan amanat Qur’an, cara hidup yang didirikan atas iman kepada kesatuan Tuhan, kesatuan alam yang diciptakannya dan yang telah menjadikan manusia sebagai khalifahNya yang bertanggung jawab. Cara hidup didasarkan atas sikap tunduk tanpa syarat kepada ajakan Tuhan yang kita semua berkewajiban membuka kunci “ayat-ayatNya” dalam keterbukaan alam, dalam kejadian-kejadian sejarah, dan dalam kata-kata Nabi Muhammad.([33])

D. Penutup
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, ia bukan hanya bermanfaat bagi pemeluknya, berbahagia di dunia serta selamat di akhirat, juga Islam harus memberi kedamaian kepada seluruh umat manusia, baik ia muslim ataupun bukan.
Al-Qur’an sebagai panduan utama umat Islam , ia juga merupakan hudan (pedoman) bagi seluruh manusia. Jika Al-Qur’an menyatakan ma farratna fi al-kitabi min syain, salah satunya berarti bahwa segala sesuatu baik persoalan yang berkaitan langsung dengan dunia apalagi akhirat dapat diselesaikan dengan berpedoman pada Al-Qur’an. Masalahnya adalah dapatkah kita mengontektualkan ayat Al-Qur’an pada kehidupan kita sehari-hari, baik selaku individu, masyarakat dan bernegara.
Melihat syarat-syarat dan adab bagi seorang mufassir seperti yang dikemukakan oleh Manna Khalil al-Qattan seperti telah disebutkan di atas, kita (penulis) pesimis untuk bisa menafsirkan teks-teks ayat Al-Qur’an apalagi mengontekstualkan dengan kehidupan pada saat ini. Kita akan lebih pesimis lagi jika melihat penyimpangan-penyimpangan penafsiran dari berbagai kalangan seperti yang telah dikemukakan oleh Muhammad Husein Ad-dzahabi di atas.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk bisa memahami teks Al-Qur’an, kemudian memahami konteknya yang selanjutnya mengontektualkan untuk kehidupan sehari-hari, adalah bertanya atau bermusyawarah dengan orang yang ahli dalam hal tersebut.
Agar hasil penafsiran kita menjadi hukum Islam seperti pendapat mereka yang menyatakan bahwa “hukum Islam adalah hukum yang sudah dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundangan di dalam negara tertentu”, maka kewajiban kita selanjutnya adalah memperjuangkan melalui jalur eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR).

Definisi tafsir ahkam

Tafsir secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata tafsir ( تفســير ) yang berasal dari kata kerja فَسَّرَ yang mengandung arti: الإيضاح و البيان (keterangan dan penjelasan), yakni menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata “al-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil dan pelik. Sedangkan para Ulama berpendapat: tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).[1]
Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas mengenai makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an baik yang tersirat ataupun yang tersurat, menjelaskan sebab-sebab turunnya dan dapat mengambil hikmah dari ayat-ayat tersebut. Al-Jurjani mendefinisikan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab nuzul-nya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu Imam az-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayyan, sebagaimanan dikutip al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Sementara Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu “ayat” dan “ahkam”, ayaat adalah bentuk jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti tanda. Kata ayat kadang juga diartikan dengan pengajaran, urusan yang mengherankan dan sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud “ayat” dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yaitu bagian tertentu dari Al-Qur’an yang tersusun atas satu atau beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan) sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam sebuah surat.[2]
Sementara istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk jamaknya adalah al-ahkam. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu (itsbat asy-syai ‘ala syai), atau bisa juga diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adapaun hukum yang dipahami oleh ahli ushul fiqh adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا
“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum mengganti kalimat خطاب الله تعالى (tuntutan Allah ta’ala) dalam definisi di atas dengan خطاب الشرع (tuntutan syar’i), dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama.
Menurut ulama fiqh, hukm adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh). Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah.
Dari pengertian mengenai ayat-ayat hukum sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ayat hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu). Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah-masalah hukum.
Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat hukum) adalah tafsir Al-Qur’an yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat hukum.[3] Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai ciri khas dari tafsir ahkam dengan metode tafsir lainnya.

Corak Tafsir Qurtubi

A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti ataupun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.
"Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari pada apa yang anda lihat". Ilustrasi ini menggambarkan kepada kita bahwa al-Qur'an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufassir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasauf, sastra, kalam, dan lainnya.
Salah satu kitab tafsir karya ulama terdahulu yang bercorak fiqhi adalah tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” karya al-Qurthubi. Selain itu juga ada kitab tafsir yang bercorak fiqhi, di antaranya adalah kitab “ahkam al-Qur’an” karya al-Jassas dan juga kitab tafsir yang bercorak fiqhi karya Ibnu ‘Arabi. Oleh karena itu, pada makalah ini saya akan mengkaji tentang perbedaan kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” dengan kedua kitab tafsir itu yang sama bercorak fiqhi. Dan juga menjelaskan tentang biografi pengarang, latar belakang sejarah penulisan, corak, metode, bentuk dan karakteristiknya dari kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”.

B. Pembahasan
1. Biografi pengarang
Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibnfarh al-Anshari al-Khazraji Syamsy al-Din al-Qurtubi al-Maliki. Ulama besar seorang faqih besar dan mufassir (ahli tafsir al-Qur'an) dari abad ke- 7 H yang terkenal, sebagai hamba Allah yang saleh dan warak. Beliau wafat tahun 671 H di kota Maniyya Ibn Hisab Andalusia. Ia dianggap sebagai salah seorang tokoh yang bermazhab Maliki.
Aktifitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya adalah al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn ‘Umar al-Qurtubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri. Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh al-Qurtubi adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran, al-Asna fi Syarh Asma Allah al-husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh al-Taqassi,Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa al-Qana’ah dan Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.

2. Latar Belakang penulisannya
Berangkat dari pencarian ilmu dari para Ulama' (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan berhasrat besar untuk menyusun kitab Tafsir yang jiga bernuansa fiqh dengan menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqh, hadis-hadis Rasulullah saw maupun pandangan para Ulama mengenai masalah itu.

3. Bentuk penafsirannya
Dari berbagai bentuk penafsiran yang ada, al-Qurthubi dalam tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” menggunakan bentuk penafsiran pemikiran (bi ra’yi). Walaupun di dalam penafsirannya terdapat hadits-hadits Rasul dan pendapat ulama terdahulu. Karna menurut al-Qurthubi penafsiran bi ra’y adalah penafsiran yang menggunakan pemikiran dan di dukung oleh hadits-hadits dan pendapat ulama yang terdahulu.

4. Metode penafsirannya
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat:
Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain.
Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya.
Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min, dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.

5. Corak penafsirannya
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i. Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Fatihah. al-Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam salat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalah Jahr. Terhadap ayat yang sama-sama dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab Qiraah al-Fatihah fi al-salah.
Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (٤٣
“dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”
Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:
إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
(anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)
Dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ....
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;...”
Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahsan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:
إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام
“Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi meggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadiakan tafsir ini termsuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam mazhabnya.

6. Karakteristiknya
Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurtubi dalam muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى قائله
(Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena dikataan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya).

7. Langkah-langkah penafsirannya
Langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b. Menyebutkan ayat-ayta lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d. Menolak pendapat yang dianggap tidak ssesuai dengan ajaran Islam.
e. Mendiskusikan pendapat ulaam dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurtubi ini masih meungkin diperluas lagi dengan melakuakan penelitian yang lebih seksama. Satu hal yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan panjang lebar mengenai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam tafsir ini.

8. Kelebihan dan kekurangan kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”
Imam Adz-Dzahabi pernah berkata, "Al Qurthubi telah mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat spektakuler, namun memiliki kelebihan dan kekurangan di dalam kitab tafsirnya".
Diantara kelebihanya.
a. Menghimpun ayat, hadits dan aqwal ulama pada masalah-masalah hukum. Kemudian beliau mentarjih salah satu di antara aqwal tersebut
b. Sarat dengan dalil-dalil 'aqli dan naqli
c. Tidak mengabaikan bahasa Arab, sya'ir Arab dan sastra Arab.

Diantara kekurangannya:
a. Banyak mencantumkan hadits-hadits dha'if tanpa diberi komentar (catatan), padahal beliau adalah seorang muhaddits (ahli hadits)
b. Penulis menta'wil beberapa ayat yang berbicara tentang sifat Allah SWT.

9. Sekilas tentang Kitab tafsir Fuqaha lainnya
Sebelum kita membahas perbedaan kitab tafsir karya al-Qurthubi ini, lebih baiknya kita sebutkan sedikit tentang kitab tafsir fuqaha lainnya. Yaitu tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi.
a. Tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash
Penulis kitab ini adalah Abu Baker Ahmad bin Ar-Razi,dikenal dengan nama Al-Jasshash, sebagai penisbatan kepada profesinya sebagai jashshash (tukang plester). Dia salah seorang imam fikih Hanafi pada abad 4 H. Akam Al-Qur’an itu adalah karyanya yang dipandang sebagai kitab tafsir fikih terpenting, khususnya bagi penganut madzhab Hanafi.
Dalam kitab ini penulis memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum furu’ ia mengemukakan satu atau beberapa ayat lalu mejelasakan maknanya secara ma’tsur, dengan perspektif fikih. Salanjutnya ia mengetengahkan berbagai perbedaan antar madzhab fikih tenteng hal berkenaan, oleh sebab itu, kitab ini di rasa oleh pembaca bukan lagi sebuah tafsir, tetapi kitab fikih.
Al-jasshash memiliki fanatisme yang kental terhadap madzhabnya, sehingga berefek pada penafsiran atau pentakwilan suatu ayat. Akibatnya, penafsiranya bias madzhab. Ia juga ekstrim dalam membantah pendapat yang berbeda dengannya.

b. Tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi
Penulis kitab ini adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Ma’arrifi Al-Andalusi Al-Isyibili yang lebih dikenal dengan Ibnu ‘Arabi, salah satu ulama Andalusia yang luas ilmunya. Dia bermadzhab Maliki. Kitabnya yang bertajuk Ahkam Al Qur’an, merupakan rujukan bagi tafsir fikih kalangan pengikut Maliki.
Dialah Ibnul ‘Arabi, orang yang cukup adil dan moderat dalam tafsirnya. Cukup halus dalam membantah lawan-lawan pendapatnya. Tidak seperti yang dilakukan Oleh Al-Jasshash. Namun Ibnul ‘Arabi kurang peduli atas kesalahan ilmiah yang dilakukan oleh ulama Maliki.
Dalam menafsirkan ayat, Ibnul ‘Arabi mengemukakan pendapat berbagai ulama, tetapi yang masih memiliki kaitan dengan ayat-ayat hukum, kemudian memaparkan berbagai kemungkinan makna ayat bagi madzhab lain selain Maliki.
Ia memisahkan setiap poin-poin permasalahan dalam tafsir dengan topik-topik tertentu. Misalnya ia mengatakan: ”Maslah pertama., masalah kedua..,” dan seterusnya. Seperti disebutkan sebelumnya, ia cukup halus dalam menghadapi lawan-lawan polemiknya.

10. Perbedaan dengan Kitab tafsir lainnya
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara tafsir al-Qurthubi dengan tafsir fuqaha lainnya. Seperti tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi.
Dari penelitian saya, saya dapatkan perbedaan yang mencolok antara ketiga tafsir bercorak fiqhi di atas adalah kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” lebih istimewa dari kitab-kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh Qurthubi.
Selain itu, perbedaan yang mencolok antara tafsir“al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” karya al-Qurthubi, tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi adalah bahwa di dalam penafsirannya al-Qurthubi tidak ta'assub dengan mazhab Maliki. Namun sebaliknya, setelah penelitian dan kajian terhadap kitab tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi, penulis mendapati bahwa al-Jashash telah berpegang teguh dengan mazhab Hanafi dan Ibnu ‘Arabi telah berpegang teguh dengan mazhab Maliki secara jelas dan terang, ketika menyelesaikan sesuatu permasalahan hukum. Terdapat beberapa petunjuk yang menunjukkan beliau banyak terpengaruh dan berpegang dengan mazhabnya yang boleh didapati dalam kitab tafsirnya. Disamping itu juga, beliau akan tetap mempertahankan pendapat mazhabnya secara terang-terang atau secara sindiran sama ada dalam perkara ilmu, fiqh, dan sebagainya. Beliau juga akan memilih pendapat mazhabnya sekiranya terdapat perselisihan pendapat tentang sesuatu isu.
Namun begitu walaupun beliau berpegang kuat dengan mazhabnya, ia tidak sampai ke tahap yang melampau atau taksub yang terlalu tinggi. Kadang-kadang beliau juga menerima pendapat yang bertentangan dengan mazhabnya sekiranya pendapat itu lebih tepat dan sesuai diamalkan serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang kukuh dari nas al-Quran atau as-sunnnah.

C. Penutup
Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa bab di atas dapat dicatat bahwa, pertama Al-Qurtubi pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di Andalus. Kedua, tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi, metode Tahlili, berbentuk tafsir ra’y dan bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan mazhabnya. Ketiga, adanya sejumlah keberatan terhadap model penafsiran yang dilakukan oleh ahli hukum, karena terlalu bersifat atomistis dan harfiah sehingga sering mengaburkan program besar al-Quran sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan.
Dan perbedaan yang mencolok antara kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dengan kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya adalah kitab tafsir ini lebih istimewa karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh Qurthubi. Dan juga al-Qurthubi di dalam penafsirannya tidak ta'assub dengan mazhab Maliki.

Daftar Pustaka
Al-Qurthubi. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikri. 1995
Adz-Dzahabi. Muhammad Husein. At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Juz I. Kairo: Dar al-Kutub. 1961
Al-Jashshash. Ahkam al-Qur'an. ed. 'Abd al-Salam Syahin. al-'Ilmiyyat. II. cet. Ke-I. 1994
Al-Qatthan. Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Citra Antar Nusa. 1994
Baidan. Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
Basuni Faudah. Mahmud. Tafsir-tafsir al-Qur’an (perkembangan dengan metodologi tafsir). Bandung: Pustaka. 1987

Kamis, 01 Desember 2011

Kisah Kesabaran Nabi Ayub

Tersebutlah kisah di dalam Al-quran,
Seorang Nabi menjadi ikutan,
Darjatnya tinggi penuh kesabaran,
Menempuhi dengan pelbagai dugaan.

Itulah Ayyub serorang nabi yang sabar dan mempunyai martabat tinggi. Nabi Ayyub adalah putera ’Ish dari keturunan Nabi Ibrahim. Ibunya adalah seorang puteri Nabi Lut. Baginda dilahirkan di Negeri Syam.Nabi Ayyub mendapat didikan yang sempurna daripada kedua ibu bapanya yang beriman kepada Allah. Baginda mempunyai budi pekerti yang terpuji serta akal yang cerdas dan pintar.

Baginda menghabiskan usianya dengan menyeru manusia supaya beriman kepada Allah serta mengalami pelbagai ujian yang amat perit dari Allah. Baginda adalah hamba Allah yang dianugerahkan dengan harta yang melimpah ruah, dalam kenikmatan duniawi, tenggelam dalam kekayaan yang tidak ternilai besarnya serta isteri yang baik dan anak-anak yang ramai di awal kehidupannya. Baginda dan keluarganya memiliki jiwa yang baik serta suka menolong orang yang memerlukan .

Iblis berasa iri hatinya,
Melihat Ayyub dalam imannya,
Lalu meminta Allah yang Esa,
Untuk merosakkan iman yang ada.

Masyarakat sekelilingnya merasa dengki dan iri hati dengan sifat kemuliaan Nabi Ayyub itu. Mereka berkata ‘ Ah…….! Ayyub itu menyembah Allah kerana dia memperolehi harta dan anak-anak yang ramai, jika Allah mencabut kurniaan itu, nescaya dia tidak akan mahu menyembah Allah.Lantaran itu Allah menguji Nabi Ayyub dengan bermaksud sebagai contoh dan tauladan kepada manusia.

Ujian pertama baginda lalui ialah baginda diuji dengan kematian haiwan ternakannya satu persatu, kemudian ladang dan kebun tanamannya rosak menjadi kering kontang. Seterusnya Iblis menguji Nabi Ayyub dengan gedung-gedungnya terbakar habis sehingga dalam waktu yang singkat itu Nabi Ayyub telah menjadi miskin. Baginda tidak memiliki apa-apa lagi selain hatinya yang penuh dengan keimanan dan taqwa.Rasa cinta dan taatnya kepada Allah adalah merupakan benteng yang kuat daripada serangan iblis. Seperti dalam firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 156 :

Maksudnya : Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan kami akan kembali kepadanya.

Pengajarannya ialah kita hidup di dunia ini hanyalah sementara, segala harta kekayaan yang dimiliki adalah pinjaman daripada Allah semata. Oleh itu kita hendaklah bersyukur dengan apa sahaja kurniaan yang Allah berikan kepada kita.

Akan tetapi iblis bukanlah iblis jika ia berputus asa dari kegagalannya memujuk Ayyub... Lalu Iblis bersama kuncu-kuncunya menuju ke tempat tinggal putere-putera Nabi Ayyub dan menggoyangkan rumah mereka sehingga roboh dan menimbuskan semua penghuninya. Kemudian cepat-cepat iblis mengunjungi Nabi Ayyub sambil berkata “ Hai…..! Ayyub, sudahkah engkau melihat putera-putera mu mati tertimbun di bawah runtuhan gedung yang roboh akibat gempa bumi. Aku kira wahai Ayyub Tuhan tidak menerima ibadahmu selama ini dan tidak melindungimu sebagai imbalan yang amal solehmu dan sujud rukukmu siang dan malam”. Mendengar kata-kata iblis itu, menangislah Ayyub tersedu-sedu seraya berucap “ Allahlah yang memberi dan Dia pulalah yang mengambil kembali, Segala puji bagi Allah Tuhan yang Maha Pemberi dan Maha Pencabut”. Sekali lagi iblis kecewa.
Seperti dalam firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 156 :

Maksudnya : Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan kami akan kembali kepadanya.

Pengajarannya ialah segala musibah yang terjadi adalah satu dugaan semat-mata daripada Allah. Oleh itu kita hendaklah sentiasa bersabar apabila menerima sebarang ujian daripada Allah sama ada ujian dalam bentuk kesenangan ataupun kesusahan seperti berlakunya banjir di Negeri Kelantan dan Kedah baru-baru ini.

Sekali lagi Nabi Ayyub diuji dengan di timpa sakit yang amat parah sehingga tidak mampu berjalan dan bergerak, makin lama makin kurus, tenaganya makin lemah dan wajahnya pucat tidak berdarah serta kulitnya menjadi berbintik-bintik. Baginda akhirnya dijauhi oleh orang kampung dan kaum kerabatnya. Penyakit yang dideritainya semakin parah sekali sehinggakan daging tubuh baginda menjadi busuk. Lantaran itu keluarga serta sahabatnya menjauhkan diri, kecuali isterinya yang tetap mendampinginya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan rasa kasih sayang, melayani segala keperluannya tanpa mengeluh atau menunjukkan tanda kesal hati. Namun begitu lama kelamaan isterinya merasa penat dan lelah menguruskan baginda, sehinggakan satu hari beliau mengeluh di depan Ayyub. “ Wahai Ayyub, sampai bilakah engkau diseksa oleh tuhan mu ini? Di manakah kekayaanmu, putera-puteramu, sahabt-sahabat karibmu dan kawan-kawan terdekat mu ? Oh, alangkah syahdunya masa lampau kami, usia muda, badan sihat, segala kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Oh, dapatkah kiranya berulang kembali masa yang manis itu? Belum cukupkah lagi ujian ini menimpa kita … ! kenapa engkau tidak mahu berdoa supaya Allah menghapuskanm bala ini …” ujar isterinya. Baginda menjawab “ Wahai isteriku yang kusayangi, Aku hendak bertanya kepadamu, berapa lama kita telah menikmati masa hidup yang mewah, makmur dan sejahtera itu”. “Lapan tahun” jawab si isteri. “ Lalu berapa lama kita telah hidup dalam penderitaan ini?” Tanya lagi Ayyub. “ Tujuh tahun”, jawab si isteri. “ Aku malu”, Ayyub melanjutkan jawapannya, “memohon dari Allah membebaskan kita dari kesengsaraan dan penderitaan yang telah kita alami belum sepanjang masa kekayaan yang telah Allah kurniakan kepada kita.” Nabi Ayyub diam seketika, kemudian dia berkata lagi “ Wahai isteriku…! Aku sangat sedih dengan sikap engkau, aku lihat imanmu mulai menipis dan sekarang pergilah jauh-jauh dariku, dan jika aku diizinkan sembuh, nescaya aku akan menyebatmu seratus kali.” Dengan demikian berjayalah iblis untuk memisahkan baginda dengan isterinya. Tinggallah baginda keseorangan dalam penuh penderitaan yang amat sangat. Ia bermunajat kepada Allah dengan sepenuh hati memohon rahmat dan kasih sayangNya.
Berdoalah Ayyub kepada yang Esa,
Memohon melenyapkan segala derita,
Allah berkenan dengan permohonannya,
Sembuhlah Ayyub dari sengsara.

Firman Allah dalam surah Shaad ayat 42 yang berbunyi ;





Yang bermaksud ; Allah berfirman : Hantamkanlah kakimu ; inilah air sejuk untuk mandi dan minum.

Dengan izin Allah, sembuhlah segera Nabi Ayyub dari penyakitnya dan baginda kelihatan lebih sihat dan lebih kuat.Pengajaranya ialah Allah Maha Berkuasa melakukan apa sahaja yang dikehendakinya. Oleh itu kita hendaklah sentiasa beriman kepada Allah.

Maka Allah berfirman lagi dalam surah Shaad ayat 43 yang bermaksud ( dan kami anugerahi dia ( dengan mengumpulkan kembali ) keluarganya dan kami tambahkan mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran).

Setelah baginda kembali seperti sediakala baginda meningkatkan lagi kesyukurannya terhadap Allah. Kemudian secara diam-diam isterinya kembali menemuinya, lalu isterinya membongkok dan tunduk di antara kaki baginda sambil menangis teresak-esak. Maka Allah berfirman yang berbunyi :


Dalam surah Shaad ayat 44 yang bermaksud ( ambillah dengan tanganmu seikat rumput, maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpahmu).
Ketika itu juga Nabi Ayyub menunaikan sumpahnya dahulu, dengan demikian kembalilah isterinya dalam keadaan bersih, benar dan ikhlas kepadanya semula.
Demikianlah kisah kesabaran seorang hamba Allah yang sangat sabar menempuh dugaan dan ujian semasa hidupnya. Demikianlah juga hal kita pada masa sekarang. Di mana Allah menguji kita dengan segala bentuk kemewahan, kemudahan hidup dan juga pelbagai penyakit sosial dan juga penyakit yang merbahaya seperti Aids, kanser, sakit jantung dan sebagainya.Tetapi sekiranya kita tidak terjebak dan dapat menilai segala yang terjadi itu adalah sebagai ujian dari Allah seperti mana apa yang berlaku terhadap Nabi Ayyub itu. Seperti contoh yang dapat kita kaitkan pada hari ini ialah ibu bapa, guru dan pemimpin hari ini hendaklah berusaha mengatasi gejala sosial dan penuh kesabaran kerana ianya adalah satu bentuk ujian dari Allah.

Semoga kita tergolong dalam orang yang berpegang teguh pada peringatan Allah.

Kamis, 24 November 2011

SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM PADA MASA KENABIAN

B AB I

PENDAHULUAN

Awal tapak langkah kita untuk menelusuri system pemerintahan Islam akan kita mulai dari pertama hadirnya embrio pemerintahan Islam, tepatnya pada saat pencetusnya masih hidup atau biasa disebut dengan era kenabian. Era ini walaupun berjalan relative singkat, adalah era terbaik atau era ideal dalam segala aspek, baik dalam bidang budaya, social, moral ataupun politik. Pada masa ini tertanam pondamen yang begitu kokoh untuk ditiru dan dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya hingga sampai pada era moderen ini
Era ini dapat kita kelompokkkan dalam dua fase; yaitu fase pra hijrah dan fase pasca hijrah. Pada fase pertama telah berhasil ditetapkan kaidah-kaidah pokok secara general. Dan fase kedua mulai terbentuk komunitas masyarakat Islam dan telah mampu menjabarkan secara detail kaidah-kaidah general tersebut. Disempurnakan lagi dengan pendeklarasian prinsip-prinsip baru serta usaha pengaplikasiannya sehingga Islam dapat mencapai independensi politik baik dalam tataran teori maupun dalam praktik.

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah system pemerintahan Islam pada masa kenabian?


B A B II

PEMBAHASAN

A. MASA KENABIAN
Tradisi jahiliyah yang telah mendarah daging dalam kepercayaan kaum Quraisy terus mendapat gempuran dari Islam sebagai agama penyempurna dari agama-agama samawi yang dibawa oleh para Nabi terdahulu.
Dalam menjalankan misi kerasulannya para Nabi tidak dapat terlepas dari kancah politik, mau ataupun tidak mereka harus berhadapan dan bergelut dengan hal yang satu ini, seperti halnya yang pernah dialami oleh Nabi Musa. Nabi Musa telah mengibarkan bendera revolusi politik dan keagamaan. Untuk itu, ia banyak melakukan usaha pembebasan kaumya dari penindasan kaum Qibti, juga pembebasan dari penyembahan terhadap fir'aun (Ramses II) yang mengatakan " Akulah Tuhanmu yang tertinggi"
Begitu juga dengan Nabi Muhammad SAW. Beliau juga melakukan reformasi menentang paganisme. Secara terang-terangan beliau menghujat Hubal, Lat, Uzza dan berhala-berhala lain yang telah menjadi sesembahan kaum Quraisy. Tujuannya tak lain adalah mengajak mereka menuju agama tauhid guna menggapai hubungan dengan dzat yang maha tinggi dan jauh dari mata rantaio ilusi.
Disisi lain Nabi Muhammad memiliki misi yang tidak dimiliki oleh para Nabi sebelumnya, yaitu untuk mendirikan pemerintahan dengan mewujudkan negara yang independen terbebas dari intervensi kekuasaan lain. Pelaksanaan misi ini sangat memungkinkan bagi beliau, karena beliau hidup dalam wilayah yang disana sama sekali beluim pernah terbentuk sebuah sistem kenegaraan. Berbeda dengan Kristen dan Yahudi, yaitu kerajaan Romawi dan Mesir. Seluruh pelaksanaan tugas kenabian Muhammad dapat dikelompokkan dalam dua fase yang dipisahkan oleh satu garis hijrah. Fase pertama adalah periode Mekkah yaitu masa sebelum Nabi hijrah ke Yatsrib. Dan fase yang kedua adalah periode madinah, yaitu masa pasca hijrah.

B. Periode Makkah
Pada saat usia Nabi menjelang empat puluh tahun, beliau sering berkontempelasi di gua Hira yang berjarak kira-kira 3,5 mil atau hampir 6 km di sebelah utara Makkah. Ditempat itulah wahyu pertama turun sebagai pembuka babak baru atas kenabiannya. Pada periode awal yang berjalan kira-kira belasan tahun ini, dakwah mula-mula dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan lebih terfokus pada ajakan untuk mengesakan Tuhan, mensucikan jiwa dan anjuran untuk melakukan shalat. Dan Nabi pun melaksanakan shalat secara sembunyi-sembunyi bersama para sahabatnya.
Tiga tahun setelah kerasulan beliau, turunlah perintah untuk mengumumkan ajaran Islam secara terang-terangan. Berdasarkan perintah tersebut beliau mengundang kerabat-kerabat beliau untuk menghadiri jamuan makanan sambil berdakwah mengajak mereka untuk menyembah kepada Allah. Pada hari pertama, Abu Lahab memangkas pembicararaan itu dengan mengajak kaumnya pergi meninggalkan tempat itu. Dan pada hari kedua setelah jamuan Nabi bersabda " saya tidak melihat ada seorang manusia dikalangan Arab ini dapat membawakan sesuatu ketengah-tengah mereka lebih baik dari apa yang saya bawakan kepadamu sekalian ini. Kubawakan kepada kamu dunia dan akhirat yang terbaik. Tuhan telah menyuruh aku mengajak kamu sekalian. Siapa diantara kamu ini yang mau mendukungku dalam hal ini? Mreka semua menolak ajakan Nabi, kecuali Ali yang masih berusia belia.
Setelah menyeru keluarga-keluarganya, objek seruan Islam diperluas lagi dengan menyeru seluruh penduduk kota Makkah yang dilakukannya di atas bukit Shafa. Nabi juga gigih menyebarkan ajarannya kepada penduduk negeri lain dengan menghimbau orang yang datang ke Makkah ketika melaksanakan ibadah haji. Dari usahanya yang tak mengenal lelah akhirnya jumlah pengikut Muhammad terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan semakin menambah kegusaran kaum Quraisy. Dari kegusaran itu mereka terus berupaya menentang Islam dan mengintimidasi pengikutnya.
Kenyataan ini mendorong Nabi untuk memberi intruksi kepada sahabat untuk melakukan eksodus ke Abisinia (Ethiopia) yang mayorias agamanya beragama Kristen. Nabi berkata " tempat itu diperintah seorang raja dan tak ada orang yang dianiyaya disitu. Itu bumi jujur, sapai nanti Allah membukakan jalan bagi kita semua." Hijrah ini dilakukan dalam dua gelombang. Gelombag pertama diikuti oeh sebelas pria dan empat wanita. Sedangkan gelombang kedua diikuti delapan puluh orang pria tanpa kaum istri dan anak-anak. Kaum muslimin ini mendapatkan perlindumngan yang baik dibawah kekuasaan raja najasyi (Negus). Hijrah ini adalah salah satu usaha beliau untuk melindungi para pengikutnya, lantaran Rasul sendiri belum memiliki kekuatan yang cukup untuk memberi perlindungan.
Sekilas gambaran di atas dapat menunjukkan bahwa situasi di Makkah pada periode ini belum dapat menunjukkan atas terbentuknya masyarakat politik dalam frame negara. Karena pada kenyataannya mereka digunakan untuk menerapkan undang-undang yang mereka sepakati bersama. Atau dapat kita katakan bahwa pada era ini orang-orang Islam belum dapat memperoleh kedaulatannya secara penuh. Didukung lagi dengan faka bahwa ayat-ayat yang bersifat praktis dan politis nyaris tidak ada yang diturunkan pada era ini.


C. Periode Madinah.
Studi sosiologis terhadap sejarah Nabi Muhammad Saw. Cenderung memberikan kesimpulan bahwa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Dibedakan atas kedudukannya sebagai kepala Negara. Demikian ini karena memang terdapat perbedaan sosiologis dalam dua periode perjuangan Nabi Muhammad Saw. Yang mana periode pertama lebih ditanggapi sebagai pemimpin agama pembawa risalah, sebaliknya dalam periode Madinah kegiatan dan usaha yang paling dominan adalah menata masyarakat Islam. Karena itu beliau ditanggapi sebagai pemimpin Negara (negarawan).
Mengenai masalah asas operasional kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. Itu meliputi kepada :
1. Iman yang kokoh. Asas ini dipetik dari peristiwa-peristiwa yang dialami rasul seperti intimidasi Quraisy melalui Abu Thalib ataupun tawaran-tawaran dari Utbah bin Rabi'ah. Namun beliau tidak goyah sedikitpun dari segala ancaman dan bujukan musuh-musuhnya. Iman yang kokoh membuhkan kesetiaan dan kedisiplinan, dua sikap mental yang sangat diperlukan dalam suatu perjungan besar bahkan merupakan syarat mutlak untuk mencapai kesuksesan.
2. Keterampilan dalam Siyasah. Yang dimaksud adalah kemampuan dalam menganalisa situasi dan kondisi serta arif dalam mengambil kebijakan sehingga indikasinya, cita-cita akan tercapai dengan usaha-usaha yang efisien dan efektif. Keterampilan siyasah tampak pada peristiwa sejarah kehidupan rasul, antara lain ketika keluar dari Makkah, beliau tidak langsung ke Madinah, tetapi terlebih dahulu ke gua tsur selama 3 malam. Setelah itu baru melanjutkan perjalannya ke Madinah pada hari brikutnya. Demikian pula siyasah yang terkandung dalam perjanjian Hudaiybiah menjadi data akan adanya asas operasional ini.
3. Potensi dan Kekuatan fisik. Dua hal ini juga merupakan asas operasional perjuangan Nabi Muhammad Saw. Dalam menegakkan agama Islam. Kekuatan tidaklah mutlak harus purna dalam segala bidang, Akan tetapi kekuatan yang memadai akan menjadi modal bagi usaha-usaha perjuangan. Kekuatan mental sebagai buah dari iman belumlah mencukupi, demikian pula halnya ilmu pengetahuan semata belum memadai. Dari sejarah diketahui bahwa, potensi material dan fisik juga sangat mempengaruhi jalannya dakwah Nabi Muhammad Saw.

D. Sistem Pemerintahan Negara Madinah.
Peran Nabi Muhammad Saw. di Madinah bukan hanya sebagai seorang penyeru semata, melainkan juga sebagai seorang pemimpin masyarkat dan kepala negara. Dalam rangka menuai sukses di dua bidang tersebut, ada beberapa langkah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw.
1. Mendirikan masjid sebagai sentral dan perkembangan kebudayaan. Selama perjalan hijrah Nabi Muhammad Saw. sempat singgah di Quba selama empat hari. Ditempat itu beliau membangun masjid yang pertama kalinya. Setiba di Madinah Nabi Muhammad Saw. juga membangun masjid yang berdampingan dengan rumah beliau.Didalam masjid itulah Nabi dan para sahabat melakukan shalat, musyawarah, aktifitas social dan lain-lain.
2. Mempersatukan Kaum Muslimin dalam Ikatan Persaudaraan. Persaudaraa yang dirilis oleh Nabi adalah persaudaraan yang berdiri diatas agama, bukan fanatisme ras dan kekabilahan. Usaha untuk memepersatukan kaum Muhajirin dan kaum Anshar ini dilakukan di rumah Anas bin Malik. Mereka berjumlah Sembilan puluh orang, separuh dari golongan Muhajirin dan separuh dari golongan Anshar. Dalam ikatan ini mereka diperintahkan untuk saling menolong dan bisa saling mewaris. Untuk pemberlakuan hukum waris ini berakhir hingga perang Badar dengan turunnya surat al-Anfal : 75.
3. Membangun Masyarakat Bernegara dengan Dukungan Seluruh Elemen Masyarakat dengan Tanpa Menghiraukan garis keturunan dan agama. Setelah berhasil menyatukan Yatsrib, Nabi melakukan manufer politik yang cukup bagus dengan melakukan persetujuan dengan pihak Yahudi sekitar Madinah. Dalam perjanjian ini mereka para ahli kitab dan monoteis mendapat perlindungan agama dan harta benda dengan syarat timbal balik. Dengan perjanjian ini, diharapkan mereka bisa hidup bersama berdampingan dan berafiliasi secara damai guna mewujudkan cita-cita bersama. Cita-cita dan kesepakatan ini mereka tuangkan dalam sebuah kontrak sosial yang kemudian dengan supremasi atau undang-undang. Supremasi itu baru terbentuk dengan adanya piagam Madinah yang dibuat sebelum perang badar ( 2 H/624 M).
Tujuan yang hendak dicapai dalam perjanjian Madinah yaitu terjaminnya hak-hak yang dilindungi olh hukum sehingga terwujud rasa kedamaian. Dalam term al Qur'an pernah disebuta negara ideal, yaitu Baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur, yakni negeri yang sejahtera dan sentosa. Sekalipun sifat ini tidak langsung ditujukan kepada negeri Madinah, namun dari berbagai ayat dapat disimpulkan bahwa sifat itu juga merupakan gambaran ideal negeri yang dikehendaki al Qur'an.

E. Corak Kepemimpinan Nabi Muhammad Saw.
Ada beberapa hal yang patut kita perhatikan tentang corak kepmimpinan nabi. Diantaranya adalah :
1. Adanya musyawarah yang dilaksanakan oleh Nabi bersama para sahabat baik secara terbuka maupun secara terbatas, terutama hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat umum dan tidak diatur oleh wahyu.
2. Dalam melaksanakan keputusa-kputusan hukum, misalnya eksekusi hukuman, memeberi pengajaran kepada masyarakat dan juga dalam memimpin perang, beliau memeberi kuasa kepada sahabat-sahabatnya.
3. Apabila beliau keluar kota untuk beberapa lama, misalnya untuk keperluan peperangan, beliau senantiasa mengangkat 'amil atas kota Madinah. Kadang-kadang beliau mengangkat dua orang, seorang wali dan seorang lagi untuk memimpin shalat, tetapi lebih banyak menunjuk 'amil tunggal, terutama apabila 'amil ini memeiliki reputasi dalam bidang kepemimpinan masyarakat dalam bidang keagamaan.

Dengan data tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa :
a. Pemerintahan Nabi saw. bukanlah pemerinthan otokrasi, sekalipun ditangannya terletak kekuasaan tertinggi.
b. Dalam menjalankan pemerinthan, ia dibantu oleh staf yang berfungsi sebagai anggota musyawarah dan juga sebagai eksekutor.
c. Nabi Muhammad Saw. Memberi kemugkinan pemisahan kekuasaan pemerintahan.


F. Keberhasilan Misi Nabi Saw.
Thomas W. Arnold menyebutkan, hijrahnya Rasullulah dari mMakkah ke Madinah merupakan kehidupan kekuargaan dalam Islam. Dia menjelaskan bagaimana Rasulullah dalam strateginya adalah seorang yang berhjasil mengembangkan agam dan Negara Islam di Madinah, dan keberhasilan Nabi dalam meltakkan dasar untuk mewujudkan persatuan di kalangan masyarakat madinah baik antara muhajirin dan anshar maupun antara orang Islam dengan orang yahudi.
Jirji Zaydan dalam Tarikh Tamadun al Islami memberi kesimpulan yang menyatakan hasil usaha yang diperoleh oleh Nabi Muhammad baik sewaktu di Makkah maupun di Madinah, Yaitu :
1. Muhammad menemukan bangsa yang kasar dan biadab yang kemudian diangkatlah martabat merka menjadi bangsa yang berkebudayaan serta berperadaban tinggi.
2. Muhammad berhasil mendirikan Negara yang disebut dengan Negara Arab Islam yang dapat mempersatukan semenanjung arabiah. Padahal sebelumnya mereka hidup dalam suasana permusuhan, sehingga bentuk Negara ini pun namanya Negara kota , yang konsepnya beda dengan Negara polis di Yunani dan Negara Utopia menurut Thomas Moore.
3. Untuk membina kehidupan masyarakat beribadah kepada Allah SWT maka Muhammad berdasarkan wahyu dari allah telah meletakkan dasar-dasar hukum syari'at Islam yang kemudian dari dasar-dasar tersebut membuka kesempatan bagi para penganutnya untuk melakukan reinterpretasi terhadap dasar itu menurut kebutuhan, situasi dan kondisi.

DAFTAR PUSTAKA


Haikal, Muhammad Husain, Hayatu Muhammad
Kurdi, Abdurrahman Abdulkadir , Tatanan Sosial Islam.
PP Lirboyo , Purna Siswa Aliyah 2007 M. : Simbiosis Negara dan Agama.
Permono, Sjechul Hadi, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan.

REMAJA DAN PERGAULAN BEBAS

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Manusia dalam kehidupannya selalu membutuhkan orang sebagai teman hidup, karena manusia tidak dapat hidup sendirian. Dalam menjalani kehidupannya manusia menempati lingkungan tertentu, sehingga manusia tersebut dapat melakukan peranannya dan dapat memenuhi kebutuhannya, yang menyebabkan manusia berbuat dan bertindak sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan pergaulan dengan orang lain, agar mencapai taraf tingkah laku yang baik dalam hidupnya. Setiap individu bereaksi atau berinteraksi satu dengan yang lainnya, baik kelompok maupun dalam masyarakat. Dengan adanya interaksi ini akan menyebabkan adanya pergaulan antar individu dalam kelompok ataupun dalam masyarakat.
Dalam interaksi sosial ini terjadi proses pengaruh mempengaruhi, imitasi dan identifikasi, yang akhirnya akan terjadi perubahan sosial. Perubahan sosial yang tidak disertai dengan kesiapan diri dan peningkatan kehidupan spiritual menyebabkan mudah terjadinya pergaulan bebas antara laki-laki dan perempuan.
Dengan kebutuhannya terhadap orang lain maka manusia harus saling kenal mengenal agar dapat bergaul satu dengan yang lain seperti Firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 13 :
Artinya: Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS Al-Hujurat ayat 13)

Menurut Simanjuntak dalam Catur, pergaulan yang dilakukan oleh manusia akan mengakibatkan timbulnya persamaan dan perbedaan kepentingan, kewajiban dan hak. Kalau hal ini tidak diatur akan timbul kekacauan dan kerusakan. Pada hakikatnya pergaulan manusia harus tertuju pada keamanan. Ketentraman dan keselamatan maka akan menimbulkan suatu pergaulan yang hampir meremehkan moral, yang dengan kata lain disebut pergaulan bebas.

A. Remaja dan Kehidupannya
Remaja merupakan masa transisi kehidupan antara masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan-perubahan fisik dan psikologisnya. Dalam penelitian ini penulis menekankan pada remaja yang berusia 12 sampai 22 tahun.
Dalam kehidupan remaja selalu datang kebudayaan yang belum tentu positif pengaruhnya bagi kehidupan remaja. Remaja yang selektif akan mempelajari dan menerima kebudayaan yang baru untuk menambah wawasan bagi dirinya, dan sebaliknya remaja yang berkonsep diri negatif akan mudah terbawa arus sehingga akan terjerumus dalam kebudayaan yang merusak kepribadiannya dan remaja tersebut akan mengalami keguncangan jiwa yang menjerumus kearah kenakalan remaja atau pergaulan bebas yang tidak Islami.
Remaja dalam menghadapi tantangan hidupnya perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Namun demikian sebagai remaja mereka harus menyadari bahwa masa depan mereka ada ditangan mereka sendiri. Masa depan banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, kebudayaan dan keluarga, akan tetapi faktor yang paling menentukan masa depan bagi remaja adalah remaja itu sendiri.
Masalah yang dihadapi remaja sangat kompleks karena pertumbuhan fisik dan mentalnya. Remaja harus menyesuaikan diri terhadap tuntutan dirinya dan harapan lingkungan yang mengakibatkan adanya perubahan pada kepribadiannya oleh karena itu remaja terkadang merasa gelisah dan cemas. Lingkungan yang baru dan norma yang ada pada lingkungan sering dirasa sebagai suatu keadaan yang menghambat remaja di dalam menyatakan dirinya secara wajar. Kondisi remaja yang seperti ini mengakibatkan kegagalan dalam menyesuaikan diri dan pencapaian konsep diri yang mantap karena ketidakmampuan dirinya berperilaku sebagai remaja yang bertanggungjawab. Oleh karena itu diperlukan konsep diri sebagai benteng pertahanan diri


B. Pengertian Pergaulan Bebas
Menurut Gunarsa dalam Catur menyatakan pergaulan bebas adalah suatu pergaulan yang luas antara pemuda-pemudi pergaulan yang terbatas antara muda mudi yang berarti adanya suatu kekhususan, sehingga orang mengatakan bahwa kedua muda mudi tersebut berpacaran.
Pengalaman berpacaran berpengaruh terhadap pergaulan bebas antara lawan jenis pada remaja. Hal ini disebabkan karena pacaran merupakan proses yang secara pasti dan perlahan-lahan menuju kearah keintiman yang lebih jauh sehingga berakibat semakin meningkatnya keinginan-keinginan seksual.
Menurut Sarwono pergaulan bebas merupakan pergaulan yang tidak mengenal batas norma dan adat yang ada dilingkungannya. Dalam pergaulan bebas yakni bergaul dengan siapa saja tidak pandang laki-laki ataupun perempuan.

C. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pergaulan Bebas Pada Remaja
Menurut Gunarsa fakta-fakta yang mempengaruhi pergaulan bebas , yaitu :
1) Waktu, dengan adanya waktu luang yang tidak bermanfaat akan lebih mudah menimbulkan adanya pergaulan bebas. Dalam arti remaja putra-putri yang mementingkan hura-hura dan berkumpul dan bergadang akan lebih mudah terbawa arus pergaulan bebas.
2) Kurangnya pelaksanaan ajaran agama secara konsekuen, terutama sekali bagi remaja yang kurang melaksanakan ajaran agama yang dianutnya.
3) Kurangnya pengawasan terhadap remaja, orang tua terlalu ketat dan tidak memberikan kebebasan serta orang tua terlalu sibuk di luar rumah sehingga remaja kurang perhatian dan pengawasan.
4) Adanya faham seks sekuler, yang sudah membudaya dalam pergaulan remaja dan masyarakat, misalnya :
a) Cara-cara berpakaian yang tidak langsung menutupi bagian tubuh yang rahasia.
b) Sistem pacaran atau tunangan yang tidak mengenal batas lagi. Dimana hubungan pria dan wanita sudah intim dan bebas layaknya suami istri yang sah.
c) Pemilihan ratu-ratu kecantikan dan bermacam-macam kontes.
5) Pengaruh norma baru dari luar, kebanyakan anggota masyarakat beranggapan bahwa setiap norma yang baru datang dari luar itulah yang benar, sebagai contoh ialah norma yang datang dari barat, baik melalui film, televisi, pergaulan sosial, model dan lain-lain. Remaja dengan cepat menelan apa saja yang dilihat dari film barat, contohnya pergaulan bebas.
Akhir-akhir ini melalui berbagai alat komunikasi, baik melalui bacaan maupun film di televisi, remaja banyak dijadikan objek pembahasan. Pergaulan bebas pada layar televisi maupun bioskop dapat merangsang remaja untuk turut membaca dan melakukan pergaulan bebas dan kenakalan remaja.

D. Bentuk-bentuk Pergaulan Bebas

Remaja yang terjerumus ke pergaulan bebas karena ketidak mampuan remaja dalam memanfaatkan waktu luang dan tidak dapat mengendalikan diri terhadap dorongan meniru dan kurangnya pengetahuan tentang agama. Remaja yang terjerumus ke pergaulan bebas mempunyai perilaku seperti melakukan hubungan seks di luar nikah, minum-minuman keras, ataupun berjudi. Diantara bentuk-bentuk Pergaulan Bebas diantaranya adalah :
1) Kumpul kebo yaitu pergaulan yang menjerumus ke arah seksual antara jenis kelamin yang berbeda tanpa adanya ikatan perkawinan atau hidup bersama sebelum menikah.
2) Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan sehingga mudah menimbulkan tindakan-tindakan yang kurang bertanggung jawab atau amoral dan asosial.
3) Ikut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomi maupun tujuan lain.
4) Keluyuran pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, akan menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.
5) Pelecahan seksual (sexual harassment) berarti perilaku yang menyangkut pernyataan seksual. Berbentuk komentar-komentar, gerakan isyarat hingga kontak fisik yang dilakukan dengan sengaja dan berulang-ulang yang tidak bisa diterima oleh penderita. Ragam tindakan pelecehan ini dapat berupa siulan nakal, gurauan dan olok-olokan seks, pernyataan mengenai tubuh atau penampilan fisik, nyolek atau mencubit, memandang tubuh dari atas hingga bawah, memegang tangan, meletakkan tangan di atas paha, mencuri cium, memperlihatkan gambar porno ataupun mencoba memperkosa.
6) Pacaran yang bukan sekedar berkumpul untuk belajar, akan tetapi ada unsur rasa senang dan perasaan bergelora dengan disertai peracikan bunga api cinta.

E. Konsep diri Positif, Benteng Pertahanan Remaja
Ciri khas individu yang berkonsep diri positif adalah pengetahuan tentang dirinya sendiri yang luas dan bervariasi, harapan-harapan yang realistik dan harga diri yang tinggi. Individu yang berkonsep diri positif juga mempunyai pengetahuan yang seksama tentang dirinya sendiri dan ini menjadikan individu mempunyai penerimaan diri.
Remaja yang berkonsep diri positif menetapkan tujuan-tujuannya secara masuk akal. Dia dapat mengukur kemampuannya secara objektif dalam meraih tujuan yang hendak dicapainya. Remaja berkonsep diri positif mempunyai kemampuan mentalnya, hal ini menyebabkan evaluasi remaja terhadap dirinya sendiri sebagaimana adanya.
Individu yang berkonsep diri positif akan mampu untuk bertindak mandiri, mampu bertanggung jawab, merasa bangga akan prestasi yang dicapainya dan mampu mempengaruhi orang lain.


Artinya: Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang sholeh. (Al-Maaidah:93)

Hamachek dalam Catur Budi Siswantik memberikan karakteristik individu yang memiliki konsep diri positif antara lain :
a) Ia meyakini betul nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat.
b) Mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihan atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak setuju dengan tindakannya.
c) Tidak menghabiskan waktu untuk hal yang tidak perlu.
d) Merasa sama dengan orang lain.
e) Memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalannya.
f) Sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain.
g) Dapat menerima pujian tanpa pura-pura rendah hati.
h) Cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya.
i) Sanggup mengaku pada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan.
j) Mampu menikmati dirinya secara utuh, dalam berbagai kegiatan meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan atau sekedar mengisi waktu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri positif akan membawa kepribadian yang mantap, penerimaan diri sebagai seseorang yang sama berharga dengan orang lain, memberi kepuasan dalam kehidupannya dengan dunia sekitarnya tanpa harus menimbulkan gangguan mentalnya.

BAB IV
PENUTUP
Saran
1. Bagi remaja
Dengan adanya konsep diri yang sedang ataupun rendah diharapkan pada remaja untuk lebih meningkatkan konsep dirinya agar sikap terhadap pergaulan bebas menjadi lebih rendah. Remaja diharapkan selalu berfikir positif, menerima segala kekurangannya.

2. Orang tua
Orang tua diharapkan dapat ikut lebih meningkatkan pengawasan terhadap anaknya supaya konsep diri remaja menjadi lebih baik dan pergaulan bebas remaja menjadi lebih rendah.

DAFTAR PUSTAKA



Catur budi Siswantik, Hubungan Antara Konsep Diri dan Anomie Dengan Pergaulan Bebas Pada Mahasiswa Kos, Skripsi, tidak diterbitkan, Solo: Fakultas Psikologi, UMS,2000.

T.M Hasbi Assidiqi dkk, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah atau Pentafsir Al-Qur’an, 1971.

Wahyu Srihananto, Pengaruh Pergaulan Bebas Terhadap Perilaku Seksual di Kalangan Remaja, Makalah, tidak diterbitkan, Solo: Fakultas Psikologi UMS, 2001.

Senin, 21 November 2011

Media Alat Dakwah

A. PENDAHULUAN

Media / alat dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah kepada orang yang diajak ( mad'u)
Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah dapat menggunakan berbagai media. Hamzah Ya'qub membagi wasilah dakwah menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan, lukisan, audio visual, dan akhlak.
1. lisan, inilah wasilah dakwah yang paling sederhana yang menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wailah ini dapat berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan sebagainya.
2. Tulisan, buku majalah, surat kabar, suart menyurat ( korespondensi ), spanduk, Flash card, dan sebaginya.
3. lukisan, gambar, karikatur, dan sebaginya.
4. Audio visual, yaitu alat dakwah yang merangsang indra pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televise, film, slide, ohap, internet, dan sebagainya.
5. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan ajaran islam dapat dinikmati serta didengarkan mad'u.

Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula upaya pemahaman ajaran Islam pada masyarakat yang menjdi sasaran dakwah.
Media telah meningkat intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakuakn umat manusia begitu luas sebelum adanya media massa seperti pers, radio, televise, internet dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat trsebut telah melekat tak terpisahkan dengan kehidupan manusia di abad ini.
Dari segi pesan penyampaian dakwah di bagi tiga golongan yaitu:
a. The Spoken Words ( yang berbentuk ucapan )
Yang termasuk kategori ini ialah alat yang dapat mengeluarkan bunyi. Karena dapat di tangkap oleh telinga, disebut juga dengan the audial media yang bisa dipergunakan sehari-hari sperti telepon, radio, dan sejenisnya termasuk dalam bentuk ini.
b. The Printed Writing ( yang berbentuk tulisan )
Yang termasuk di dalamnya adalah barang-barang tercetak, gambar-gambar tercetak, lukisan-lukisan, buku, surat kabar, majalah, brosut, pamphlet, dan sebagainya.
c. The Audio Visual ( yang berbentuk gambar hidup )
Yang merupakan penggabungan dari golongan di atas, yang termasuk ini adalah film, televise, video, dan sebaginya.
Di samping penggolongan diatas, wasilah dakwah dari segi sifatnya juga dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1. Media tradisional, yaitu berbagai macam seni pertunjuikan yang secara tradisional dipentaskan di depan umum ( khalayak ) terutama sebagai sarana hiburan yang memiiki sifat komunikatif, seperti ludruk, wayang, drama, dan sebagainya.
2. Media modern, yang diistilahkan juga dengan " media elektronik" yaitu media yang dilahirkan teknologi. Yamg termasuk media modern ini antara lain televise, radio, pers, dan sebagainya.

B. PEMBAHASAN
Melihat kenyataan budaya bangsa Indonesia yang memiliki beraneka ragam media tradisional, maka dapat dipahami mengapa para Wali Songo menggunakan media ini sebagai media dakwah dan ternyata pilihan media yang di gunakan Wali Songo tersebut menghasilakan masyarakat Muslim yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia.
Media tradisional berupa berbagai macam seni pertunjuan, yang secara tradisional dipentaskan di depan khalayak terutama sebagai sarana hiburan memiliki sifat komunikatif dan ternyata mudah di pakai sebagai wasilah dakwah yang efektif.
Ada lebih dari 500 macam media tradisonal diseluruh Indonesia sebagai pertunjukan rakyat, namun tidak semua media tersebut dapat dipergunakan sebagai wasilah dakwah. Untuk pemilihan media tradisional sebagai wasilah dakwah, harus dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. Aspek efektivitas komunikasinya.
b. Aspek ksesuaiannya dengan masyarakat setempat.
c. Aspek legalitas dari sudut pandang ajaran Islam.
Dalam abad informasi sekarang ini, dakwah tidak bisa tidak semaksimal mungkin menggunakan media massa modern seperti: Radio, TV, Film, Pers, Internet, dan sebagainya. Tak ada yang dapat membantah kemampuan media massa ini dalam suatu penyebaran agama.
Media massa yang mutlak harus dipergunakan dalam pelaksanaan dakwah Islam, yang memiliki efektivitas yang tinggi antara lain:
1. Pers ( Surat kabar )
Wasilah dakwah ini amat besar manfaatnya, sebab ia termasuk dari beberapa media massa pembentuk opini masyarakat ia hampir bisa di sebut sebagai " makanan pokok" masyarakat mendambakan informasi dan selalu dapat mengikuti perkembangan dunia. Dakwah melalui wasilah ini dapat berbentuk berita-berita Islam, penulisan artikel-artikel Islam, dan sebagainya.
Efektivitas wasilah ini dikemukakan oleh :Lazarfeld Dodo dan Breslon, mengatakan bahkan kelebihan-kelebihan dari media massa ini adalah:
a. The Readerd Control the Exposer
Medium ini memberikan kesempatan untuk memilih materi-materi yang sesuai dengan kemampuannya dan kepentingannya. Bahkan pembaca lebih lanjut dapat membacanya setiap kali dia ingin dan kapan ia ingin berhenti membcanya. Juga dapat membuat resume jika ia perlu.
b. Exposer may be and often be repeated
selanjutnyna medium yang diwakili oleh pers ini tidaklah terikat oleh suatu waktu dalam mencapai khalayaknya. Bahkan mereka secara bebas dapat melihat kembali material yang telah dibacanya untuk mengingatkannya, atau meningatkan ingatannya. Atau dengan kata lian pembaca dapat tetap menyegarkan ingatannya, dan dapat menikmati suatu kepuasan yang pernah dinikmati sebelumnya. Maka ia dapat menimbulkan efek berganda yang bertumpu pada akumulative effect. Hal ini dapat dijumpai pada medium-medium yang lain.
c. Tretment may be fuller.
Medium yang berbentuk tulisan ini juga dapat mengembangkan suatu topik yang diinginkan. Maksudnya topic yang ada dapat dikembangkan dengan melalui medium yang lain misalnya radio, film, dan televisi.
d. Specialized appearance is posibble
Medium ini selanjutnya hidup dan berkembang dalam keadaan yang tidak di ikat oleh standar tertentu dalam hal content keseluruhan disbanding dengan medium-medium yang lainnya. Ia memiliki kelebihan lebih luas dan kebebasan gaya yang lebuih besar dalam memenuhi selera pembaca. Demikian juga materi yang bagaimanapun juga keadannya dapat lebih lancar disalurkan pada pemabaca melalui cetakan, dibandingkan melalui film.
e. Possible Greaater Presrige
Akhirnya medium yang dapat di tangkap oleh mata ini, dapat memiliki prestise yang tinggi, justru karena dalam pembentukan prestise yang bersifat khusus, dapat membentuk aplikasi khsus, berdasarkan kepada kebiasaan pembaca yang didalamnya trcakup perhatian dan kesenangan untuk membaca. Dan dasar ini pula maka seorang akan sangat mudah dipengaruhi oleh bacaannya.
2. Radio
Kelebihan-kelebihan media radio sebagai wasilah dakwah adalah:
a. Bersifat langsung
Untuk mencaapaikan dakwah melalui radio, tidak harus melalui proses yang kompleks sebagaimana penyampaian materi dakwah melalui pers, majalah umpamanya. Dengan mempersiapkan secarik kertas, da'i dapat secara langsung menyampaikan dakwah di depan mikrofon.
b. Siaran radio tidak mengenal jarak dan rintangan
Factor lain yang menyebabkan radio dianggap memiliki kekuasaan ialah bahwa radio tidak mengenal jarak dan rintangan selain waktu, ruang pun bagi radio siaaran tidak merupakan masalah, bagaimanapun jauhnya sasaran yang dituju. Daerah –daerah terpencil yang sulit dijangkau dakwah dengan media lain dapat diatasi dengan wasilah radio ini.
c. Radio siaran mempunyai daya tarik yang kuat
Faktor lain yang menyebabkan radio memiliki kekuasaan adalah daya tarik yang kuat yang dimilikinya. Daya tarik ini ialah disebabkan sifatnya yang serba hidup berkat tiga unsur yang ada padanya, yakni: musik, kata-kata, dan efek suara.
d. Biaya yang relative murah
Di banyak Negara didunia ketiga Asia, Afrika, dan Amerika latin, radio umumnya telah menjadi media utama yang dimiliki setiap penduduk, baik yang kaya maupun yang miskin. Bedanya, Cuma kecanggihan dari radiio itu sendiri.
e. Mampu menjangkau tempat-tempat terpencil
Di beberapa Negara, radio bahkan merupakan satu-asatunya alat komunikasi yang efektif untuk menghubungi tempat-tempat terpencil.
f. Tidak terhambat oleh kemampuan baca dan tulis
Di samping keuntungaan-keuntungan diatas radio juga memiliiki keuntungan yang lain. Siaran radio tidak terhambat oleh kemampuan baca dan tulis khalayak. Di beberapa Negara Asia tingkat kemampuan baca dan tulis populasinya lebih dari 60%. Jutaan orang tersebut tidak disentuh oleh media massa lain kecuali bahasa radio dalam bahasa mereka.
3. Film
Kalau pers bersifat visual semata dan radio bersifat audio visual semata, maka film dapat dijadikan media dakwah dengan kelebihan sebagai audio visual. Keunikan film sebagai wasilah dakwah ini antara lain:
- Secara psikologis, penyguhan seacara hidup dan tampak yang dapat berlanjut dengan animation memiliki kecendrungan yang unik dalam keunggulan daya efektifnya terhadap penonton. Banyak hal yang abstrak, dan samar-samar dan sulit ditrangkan dapat disuguhkan kepada khalayak lebih baik dan efesien oleh wasilah ini.
- Bahwa media film yang menyuguhkan pesan yang hidup dapat mengurangi keraguan aapa yang disuguhkan, lebih mudah diingat dan mengurangi kelupaan.
- Khusus bagi khalayak anak-anak, sementara kalangan dewasa cenderung menerima secara bulat tanpa lebih banyak mengajukan pertanyaan terhadap seluruh kenyataan situasi yang disuguhkan oleh film.
Film yang dapat mengambil emosi penonton ini memang amat mengesankan seperti filam tentang "The Massage" yang pernah di tanyangkan seolah-olah menghidupkan kembali kenangan sejarah Islam dengan lebih hidup dan segar, yang wasilah dakwah lainnya tidak mampu melakukannya.
Di sampan itu, dalam perkembangan sekarang pengajaran shalat dan manasik haji, serta ibadah-ibadah praksis lainnya akan dapat lebih mudah diajarkan SD dan video. Sisi kekurangan dakwah melalui ini adalah memerlukan biaya yang tidak sedikit.
4. Televisi
Sebagaimana film, media TV ini juga merupakan media yang bersifat audiovisual, artinya bisa didengar sekaligus bisa dilihat. Televisi kebanyakan masyarakat Indonesia dijadikan arena hiburan dan sumber informasi utama. Di beerapa daerah terutama di Indonesia masyarakat banyak menghabiskan waktunya untuk melihat televisi. Kalau dakwah Islam dapat memanfaatkan media ini dengan efektif, makna secara otomatis jangkauan dakwah akan lebih luas dan kesan kagamaan yang ditimbulkan akan lebih mendalam.
Sesungguhnya televisi ini adalah merupakan penggabungan antara radio dan film, sebab media ini dapat meneruskan pristiwa dalam bentuk gambar hidup dengan suara bahkan dengan warna, ktika peristiwa itu berlangsung, oleh karena itu kekurangan dalam film mengenai aktualitasnya dapat di tutupi.
Pendek kata kunikan-keunikan pada radio dan film, mengumpul seluruhnya dalam televisi dan sebaliknya kekurangan-kekurangan pada radio dan film, pada televisi sudah tidak dijumpai. Kecuali kelebihan-kelebihan yang terdapat dalam surat kabar, atau barang cetak lannya, kita tidajk dapat jumpai dalam televise ini.
Saat ini tidak ada satu detik pun yang lewat tanpa tayangan televisi, baik nasiomal dan internasional dengan bebagai alat-alat komunikasi yang canggih, dan tidak ada satu wilayah pun yang bisa dikaver dengan ini. Sampai-sampai alat ini telah mengubah duniaq yuang luas ini menjadi dusun besar ( global village ). Namun umat Islam terutama di Negara kita belum maksimal untuk memanfaatkan wasilah ini karena terbentur oleh high cost yang harus di invertasikan.
5. Internet
internet berasal dari kepanjangan International Connection Networking. International berarti global atau seluruh dunia, Connection berarti hubungan komunikasi, Networking berarti jaringan. Dengan demikian, Internet adalah "suatu system jaringan komunikasi yang terselubung di seluruh dunia".
Sebuah fenomena di mana saat ini kita memasuki suatu abad komunikasi canggih dimana manusia modern di tuntut untuk lebih kreatif dalam memanfaatkan ilmu dan teknologi bagi kehidupannya. Perkembangan teknologi komunikasi yang semakin canggih mmbawa kemajuan dalam berbagai bidang. Saat ini tidak ada lagi pelosok dunia yang tidak lagi terjanngkau dan luput dari kecanggihan komunikasi. Seluruh dunia menjadi tembus pandang membuka diri dan siap untuk berubah. Proses penyampaian hasil teknologi komunikasi canggih merupakan kejadian atau perubahan besar yang tidak mmberikan kemungkinan kepada semua Negara untuk menolaknya. Dengan kecanggihan teknologi komunikasi seolah-olah tidak saling terpisah lagi, bagi dunia yang satu terkait dengan dunia lainnya. Disamping itu, perkembangan dalam bidang komnikasi telah memperpendek jarak antar wilayah. Dan salah satu kecanggihan komunikasi tesebut yang saat ini lagi tren adalah apa yang dinamakan internet.
Dan saat ini perkembangan internet mulai merambah dan menempatkan posisi yang kuat di deretan media massa yang lebiih dulu ada. Ketika internet mulai dikenal masyarakat sepuluh tahun yang lalu, sudah dapat diramalkan bahwa media ini akan menjadi sangat populer dikemudian hari. Hal itu pun terlihat ketika perangkat-perangkat komputer baik hardware maupun software terus berkembang, terus disempurnakan tiap menit di computer, sejauh ini pulasambutan masyarakat sanagt antusiasdalam pasaran.
Menanggapi hal tersebut Ziauddin Sardar menyatakan bahwa, " informasi kini dengan cepat menjadi komoditi primer dan sumber kekuatan". Sementara itu Parid Gaban berkkomentar bahwa kehadiran internet sebagai hasil teknologi memang telah membawa revolusi informasi, melalui jaringan ini arus komunikasi mengalir begitu pesatnya merobek-robek batas sebuah wilayah negara. Seluruh pengakses internet yang terdiri dari berbagai bangsa yang multikuktural berkomunikasi dan bertukar informasi sehingga tidak adanya sebuah batas negara (borderless). Jarinigan dunia ini melibatkan hampir separuh penduduk dunia, dimana kian berkembangnya pemakaian internet yang ditandai dengan meledaknya pengguna (user) internet.
Seharusnya dengan media ini dakwah dapat memainkan peranannya dalam menyebarkan informasi tentang Islam keseluruh penjuru, dengan keluasan akses yang dimilikinya yaitu tanpa adanya batasan wilayah, kultural, dan lainnya. Menyingkapi fenomena ini Nurcholish Madjid mengatakan " pemanfaatan internet memegang peranan amat penting, maka umat Islam tidak perlu menghindari internet, sebab bila internet tidak dimanfaatkan dengan baik, maka umat Islam sendiri yang akan rugi. Karena selain bermanfaat untuk dakwah, internet juga menyediakan informasi dan data yang kesemuanya memudahkan umat untuk berkerja.
Begitu besarnya potensi dan efisiennya yang dimiliki oleh jaringan intrnet dalam membentuk jaringan dan pemanfaatan dakwah, maka dakwah dapat dilakukan dengan membuat jaringan-jaringan informasi tentang Islam atau yang sering disebut dengan cybermuslim, atau cyberdakwah. Masing-masing cyber tersebut menyajikan dan menawarkan informasi Islam dengan berbagai fasilitas dan metode yang beragam variasinya.
Dari uraian tentang wasilah diatas tampak dengan jelas begitu besar pengaruh emosi dan perilaku keagamaan yang ditimbulkan oleh media massa tersebut diatas, akan tetapi kesadaran untuk memiliki dan menggunakannya apalagi medi-media tersebut (sebagai produser) dikalangan umat Islam masih rendah. Umat islam masih puas dengan dakwah yang berbentuk ceramah agama dihadapan langsung kelompok agama yang tentunya amat sempit jangkauannya. Jika lau umat Islam tidak memanfaatkan media-media tersebut dizaman modern dunia dan globalisasi yang ditandai dengan kecanggihan komunikasi, maka dakwah Islam akan semakin terasing dari umat manusia dan teruluing oleh persaingan ideologi dengan agama-agama besar lainnya.

C. KESIMPULAN

Media / alat dakwah adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan materi dakwah kepada orang yang diajak.
Media massa yang mutlak harus dipergunakan dalam pelaksanaan dakwah Islam, yang memiliki efektivitas yang tinggi adalah :
1.Pers ( Surat kabar ),
2. radio,
3. film,
4. televisi, dan
5. internet.
Demikianlah media-media yang bisa digunakan untuk berdakwah, sebagai umat islam haruslah memahami alat-alat tersebut, sehingga dakwah Islam akan semakin terasing dari umat manusia dan teruluing oleh persaingan ideologi dengan agama-agama besar lainnya.





.MEDIA / ALAT DAKWAH
Tugas Makalah ini untuk memenuhi
Mata kuliah ILMU DAKWAH
Hasan Basri Mag Dosen pengampu:












Disusun oleh:
Nama : Bukhori
Nim : 903300509


Prodi Tafsir Hadits Jurusan Ushulludin
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM [STAIN]
KEDIRI 2010

Fana', baqa' dan ittihad

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dikalangan sufi, Abu Yazid al-Bustami adalah orang pertama yang mencetuskan konsep al-fana’, al-baqa’ dan al-hulul. Karena untuk memasuki alam tasawuf yang disebut dengan ittihad harus terlebih dahulu melewati tangga itu. Selama belum dapat mencapai ityu, maka tidak akan bisa menyatu dengan Tuahn. Konsep fana’ merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Kalau seorang sufi ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana’ ini merupakan bagian yang tidak dapat ditinggalkan oleh seorang Sufi. Segolongan penganut tasawuf menyebutkanm bahwa tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalahs ampai pada zat al-Haqq dan bahkan bersatu dengan Tuhan. Jad semua aktifitas ketasawufan langsung atau tidak langsung pasti berkaitan dengan penghayatan fana’ dan ma’rifat pada zat Allah. Jadi ma’rifat itu bukan tanggapan atau pengalaman kejiwaan, yakni suatu tanggapan atau pengalaman kejiwaan sewaktu mengalami fana’. Dengan sampainya seseorang sufi ketingkat ma’rifat, ia pada \hakikatnya telah dekat benar dengan Tuhan, sehingga akhirnya ia bersatu dengan Tuhan yang disebut dengan istilah ittihad. Tetapi sebelum seroang sufi bersatu dengan Tuhan, ia harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya, dalam tasawuf disebut dengan istilah fana’.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan fana’, baqa’ dan ittihad?
2. Bagaimana pandangan al-Qur’an tentang fana’, baqa’ dan ittihad?
3. Bagaimana pemikiran Abu Yazid al-Bustami tentang fana’, baqa’ dan ittihad?


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fana’ dan Baqa’
Fana’ berasal dari kata Fana-yafna-fana’ yang berarti hilang, hancur. Yang dimaksud dengan al-fana’ ialah penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinya dan tentang makhluk lain di sekitarnya. Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian juga makhluk lain tetap ada, tetapi ia tidak sadar lagi tentang wujud mereka, bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Disini pulalah tercapainya al-ittihad. Sedangkan al-baqa’ berarti tetap, terus hidup, merupakan kelanjutan wujud yang merupakan satu mata rantai dengan al-fana’ yang senantiasa diikuti oleh al-baqa’, hak ini dapat dilihat dari faham-faham sufi: “Para sufi mensaratkan dengan kata al-fana sebagai hilangnya sifat-sifat tercela dan kata al-baqa adalah terbitnya sifat-sifat terpuji”.

B. Ajaran Sufi tentang Fana’ dan Baqa’
Bagi sufi, fana’ adalah tidak dikenalinya sifat-sifat seseorang oleh yang bersangkutan sendiri. Dan baqa’ adalah pengenalan hal serupa dengan sifat Tuhan. Di dalam al-fana’ seseorang tidak memiliki kesadaran tentang dirinya, artinya bagi dirinya sendiri yang bersangkutan tidak merasa ada, tetapi ia hanya menyadari sekedar sebagai yang mewujudkan, yang diwujudkan dan perwujudan. Dalam fana’, “Pada awalnya lenyap kesadaran akan diri dan sifat-sifat pribadinya lantaran telah menghayati sifat-sifat Allah, lalu lenyapnya kesadaran akan penghayatan terhadap sifat-sifat Allah, lantaran telah mulai menyaksikan keindahan zat Allah, kemudian akhirnya lenyap kesadaran akan ke-fana’-annya itu sendiri lantaran telah merasa lebur menyatu dalam wujud Allah”.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa fana’ itu ada tiga tingkatan yaitu:
a. Perubahan moral, yaitu suatu peralihan moral dari sifat-sifat tercela dengan jalan mengendalikan nafsu-nafsu dengan segala keinginannya.
b. Penghayatan kejiwaan, yaitu lenyapnya kesadaran terhadap segala sesuatu yang ada di alam sekelilingnya baik pikiran, perbuatan dan perasaan, Lantaran kesadaran telah berpusat dengn penghayatan pada Tuhan.
c. Lenyapnya kesadaran dirinya lantaran terhisap kepada kesadaran serba Tuhan, yaitu lenyapnya kesadaran akan keberadaan dirinya,. Puncak tertinggi pada fana’ ini tercapai ketika kesadaran akan ke-fana’-annya itu sendiri telah lenyap.

C. Al-Ittihad
Dengan tercapainya orang pada fana’ dan baqa’ maka sampailah ia kepada al-Ittihad. Al-Ittihad berasal dari kata ittahada-yattahidu-ittihad, yaitu: menyatukan. Dalam bahasa tasawuf ittihad diartikan sebagai suatu tingkatan dimana seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan: suatu tingkatan dimana yang mencintai dan apa yang dicintai telah menjadi satu, Sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata “ya ana” (wahai aku).
Dalam al-ittihad yang dilihat hanya satu wujud. Sebenarnya ada dua wujud yang terpisah dari yang lain, karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad “identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”.
Abu Yasid al-Bustami sebagai tokoh yang memperkenalkan faham al-ittihad (kesatuan antara manusia dengan Tuhan). Abu Yasid dinilai mencapai penghayatan manunggal dengan Tuhan. Hal ini lantaran beliau mengungkapkan syatahat yang menunjukkan bahwa Abu Yasid mengalami atau menghayati hal a-wahdah. Diceritakan, sejak kecil Abu Yasid mempelajari al-Qur’an, ketika sampai pada surah Luqman ayat 14 ia segera minta izin ke gurunya dan ibunya untuk mengembara, Ibunya mengizinkannya dan menjawab “Pergilah nak, dan jadilah kamu milik Allah” setelah itu al-Bustami pergi mengembara untuk berguru dan mengalami kehidupan sufi, ia mengunjungi kurang lebih 113 guru dalam masa 30 tahun. Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat Subuh Abu Yasid berkata pada orang-orang yang mengikutinya. Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa Abu Yasid telah gila. Menurut pandangan sufi, ketika mengucapkan kata-kata itu Abu Yasid sedang berada dalam keadaan Ittihad. Abu Yasid mengatakan “Aku” bukan sebagai gambaran dari diri Abu Yasid, tetapi sebagai gambaran Tuhan karena Abu Yasid telah bersatu dengan diri Tuhan. Dalam kata lain Abu Yasid dalam Ittihad berbicara dengan nama Tuhan, atau lebih tepat lagi Tuhan “berbicara” melalui lidah Abu Yasid. Oleh karena itu ia mengucapkan kata-kata yang kelihatannya mengandung pengakuan bahwa Abu Yasid adalah Tuhan.

D. Para Baqa’ dan Ittihad dalam Pandangan Al-Qur’an
Paham fana’ dan baqa’ yang ditunjukan untuk mencapai ittihad itu dipandang oleh Sufi sebagai sejalan dengan konsep menemui Tuhan. Fana’ dan baqa’ merupakan jalan menuju berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang berbunyi:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا (١١٠)
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-kahfi: 110)
Faham ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Isa ingin melihat Allah. Musa berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu”. Tuhan berfirman: Tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu), baru kamu kemari (bersatu). Ayat dan riwayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah dan bathiniyah, yang caranya antara lain dengan beramal shalih dan beribadah semata-mata karena Alllah, menghilangkan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri dengan sifa-sifat Allah, yang kesemuannya ini tercakup dalam konsep fana dan baqa’.

E. Pemikiran Abi Yazid al-Bustami tentang Fana’, Baqa’ dan Ittihad
Menurut Ab Yazid, manusia pada hakikatnya seesensi dengan Allah. Dapat bersatu dengan-Nya apabila dia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya). Sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana’ an-nafs), adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu kepada irodah Allah.
Fana’nya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, dan demikian pula makhluk lain ada, tetapi ia tak sadar lagi pada mereka dan pada dirinya.
Dari pengertian ini terlihat bahwa yang lebur dan fana’ itu adalah kemampuan atau kepekaan menangkap yang bersifat materi dan indrawi sedangkan materi atau jasad manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia. Apabila seroang sufi telah berada dalam keadaan fana’ dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu maka ia telah dapat menyatu dengan Tuhan sehingga wujudnya kekal dan baqa’. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat-hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan itulah yang dimaksud dengan ittihad, paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari nur illahi, AKU-nya manusia itu adalah pancaran dari Yang Maha Esa. Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriyah, atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadaran sebagai insan, maka ia akan meperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan tunggal, atau mampu meniadakan pribadina kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Keadaan seperti itulah yang disebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut tajrid fana attauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantari suatu apapun.
Tapi ciri yang mendominasi kefana’an Abu Yazid adalah sinarnya kepada segala sesuatu yang selain Allah dari pandangannya, dimana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali hakikat yang satu, yaitu Allah. Bahkan dia tidak lagi menyaksikan karena dirinya terlebur dengan dia, yang disaksikannya. Inilah yang diungkapkannya dengan “pengabaian aturan-aturannya sendiri, kefana’an identitas dan keghaiban bekas-bekas”. Dan pada keadaan inilah terjadinya penyatuan dengan Yang Maha Benar.
Berbicara ana’ dan baqa’ ini erat akitannya ak-ittihad, yakni penyatuan batin rohaniah dengan Tuhan, karena tujuan dari fana’ dan baqa’ itu sendiri adalah ittihad itu. Hal yang demikian sejalan dengan pendapat Mustafa Zuhri yang mengatakan bahwa faa’ dan baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan membicarakan dengan paham ittihad. Dalam ajaran ittihad sebagai salah satu metode tasawuf. Sebagai dikatakan oleh al-Badawi, yang dilihat hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya yang ada ada dua wujud yang terpisah dari yang lain. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang dicintai (Tuhan) atau tegasnya antara sufi dan Tuhan. Dalam situasi ijtihad yang demikian itu, seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, saat suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicipta telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka, dapat memanggil yang satu.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pokok-pokok ajaran Tasawufnya adalah fana berasal dari kata fabiya yang berarti musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Sedangkan baqa’ berasal dari kata baqiya. Arti dari sgi bahasa adalah tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Sedangkan ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia menempuh tahapan fana’ dan baqa’.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Khalik, Abdurrahman. Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf. Jakarta: Robbani Press, t.t.

Ibrahimm Gazur Illahi. Mengungkap Misteri Sufi Besar al-Halaj dan al-Haq, Terj. Jakarta: Rajawali Press, 1986.