Total Tayangan Halaman

Minggu, 30 Oktober 2011

HUKUM-HUKUM MASJID

Masjid adalah tempat ibadah yang sangat dimuliakan Allah, karena masjid merupakan sarana taqarrub (mendekatkan diri) kepada sang khaliq (Allah), seperti dzikir, i'tikaf dan lain-lain. Tapi tentunya tidak setiap masjid mempunyai derajat yang mulia di sisi Allah, akan tetapi masjid yang mempunyai posisi istimewa di sisi-Nya adalah masjid yang dibangun atas dasar taqwa, yakni semata-mata karena mengharap ridlo Allah, bukan atas dasar hasud (dengki), iri hati, riya' (pamer) atau sifat-sifat yang dapat mengurangi derajat ikhlas, serta masjid tersebut dibangun dari dana yang halal dan bersih. Ketentuan ini sesuai dengan yang digariskan Allah dalam firmannya surat At -Taubah : 108 :
قَالَ اللهُ تَعَالَى: لَمَسْجِدٌ أُسِّسَ عَلَى التَّقْوَى مِنْ أَوَّلِ يَوْمٍ أَحَقُّ أَنْ تَقُومَ فِيهِ فِيهِ رِجَالٌ يُحِبُّونَ أَنْ يَتَطَهَّرُوا وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُطَّهِّرِينَ (التوبة : 108)
Artinya: Allah berfirman "Sesungguhnya masjid yang dibangun atas dasar taqwa mulai dari awal pembangunannya itu lebih berhak (utama) dibuat ibadah di dalamnya, dimasjid itu ada orang-orang yang suka membersihkan diri, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang membersihkan." ( QS. At-Taubah : 108)
Membangun masjid sangat dianjurkan oleh syari'at Islam, baik membangun dengan dana milik pribadi ataupun dana kolektif dari masyarakat. Pernyataan ini telah ditegaskan Rasulullah di dalam hadistnya yang meriwayatkan bahwa seseorang yang semasa hidupnya membangun masjid atau turut serta dalam pembangunannya, kelak di hari kiamat ia akan diberi fasilitas istana di surga, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim :
رَوَى هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ أَنَّهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَنَى مَسْجِدًا لِلَّهِ تَعَالَى قَالَ بُكَيْرٌ حَسِبْتُ أَنَّهُ قَالَ يَبْتَغِي بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ تَعَالَى لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ . متفق عليه .
Artinya : Diriwayatkan dari Harun Bin Sa'id Al Ailiy bahwa Rasullah bersabda : "Barang siapa yang membangun masjid karena (mencari ridlo) Allah Ta'ala". Shohabat Bukair berkata "Saya menyangka Nabi bersabda "Membangun masjid karena mencari ridlo Allah," "Maka Allah akan membangunkan baginya istana di surga". (HR Bukhori-Muslim)
Definisi masjid secara etimologi adalah tempat bersujud, sedangkan secara terminologi adalah suatu tempat yang diwakafkan menjadi masjid, baik berupa sebidang tanah maupun yang lainnya.
Pada klasifikasi masjid, ulama memiliki istilah masyhur, yaitu "masjid jami' ",yakni suatu predikat bagi masjid yang difungsikan untuk melaksanakan shalat Jum’at. Sedangkan untuk masjid yang tidak difungsikan untuk tempat Jum’atan, ulama tidak memberikan istilah khusus. Syaratnya sesuatu dapat berubah status menjadi masjid harus melelui proses pewakafan, seperti dengan mengucapkan kata-kata : وَقَفْتُ هَذَا اْلأَرْضَ مَسْجِدًا "Saya wakafkan tanah ini menjadi masjid ". Kata-kata tersebut berbeda dengan : وَقَفْتُ هَذَا اْلأَرْضَ لِلْمَسْجِد "Saya wakafkan tanah ini untuk kepentingan masjid", perbedaan dari dua kalimat di atas, kalau kata pertama (وَقَفْتُ هَذَا اْلأَرْضَ مَسْجِدًا) tanah yang diikrarkan sebagai wakaf secara dzatiyahnya menjadi masjid, dengan konsekwensi hukumnya tanah tersebut sah dibuat i'tikaf, diharamkan bagi orang yang junub, haidl atau nifas memasuki areal (masjid) tersebut, dan juga diharamkan bagi siapapun mengotorinya (membawa najis, membiarkan najis di dalamnya).. Berbeda dengan kalimat yang kedua (وَقَفْتُ هَذَا اْلأَرْضَ لِلْمَسْجِد), maka tanah yang diikrarkan sebagai wakaf secara dzatiyahnya menjadi wakaf biasa, tidak menjadi masjid, hanya saja tanah tersebut menjadi hak milik masjid baik dzatiyahnya atau hasilnya yang harus dialokasikan untuk kepentingan masjid. Oleh karena ikrar yang kedua ini tidak dapat merubah status wakafan menjadi masjid, maka orang yang junub, haidl atau nifas boleh untuk memasuki areal tersebut dan tidak ada keharusan menjaganya dari kotoran dan najis.
Status kepemilikan masjid
Masjid merupakan salah satu sarana milik umum yang secara pemanfaatannya tidak di batasi konsumennya dan secara dzatnya tidak berhak dimiliki siapapun, karena dzatiyah masjid sepenuhnya milik Allah. Hal ini dipicu oleh keberadaan masjid merupakan barang wakafan, dan konsekwensi wakafan berupa masjid adalah untuk jihah 'ammah (khalayak umum) yang tidak tertentu siapa maukuf 'alaihnya (pihak yang diwakafi). Dan ketika wakaf sudah sah secara syara', maka kepemilikan pindah dari seseorang kepada Allah, umat manusia hanya berhak mengatur, memanfaatkan dan menjaga sesuai dengan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan syara'.
Masjid tingkat
Seiring dengan perkembangan zaman, kwantitas penghuni jagad raya ini terus melejit naik, sedangkan areal tanah yang tersedia merupakan tempat tinggal tidak bertambah. Kondisi semacam inilah manusia sebagai khalifah di bumi dituntut untuk dapat mengatasi segala problematika yang dihadapi, termasuk permasalahan di atas. Kita (Ahlussunnah Wal Jama'ah) sebagai umat yang meneruskan perjuangan ulama' salaf dan pengembang syari'at yang mereka ajarkan harus bisa mengatasi problematika ini secara profesional sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, salah satu contoh adalah membangun masjid tingkat. Secara ringkas bangunan masjid tingkat dibagi menjadi dua :
1. Ketika membangun pertama hanya satu lantai (belum tingkat), seiring dengan tuntutan perkembangan zaman di atasnya ditambah satu lantai lagi dengan cara lantai dasar (bangunan lama) tidak dibongkar, atau lantai dasar dibongkar dan dibuat bangunan baru dengan dua lantai atau lebih. Dari beberapa proses pembangunan tersebut, keseluruhan bangunan (mulai lantai dasar sampai lantai paling atas) secara otomatis hukumnya menjadi masjid, tanpa harus ada shighot (ucapan) wakaf, karena hukumnya areal tanah yang telah diwakafkan, mulai dari permukaan bumi sampai ke dasarnya dan bagian atasnya sampai langit ke tujuh menjadi barang wakaf secara keseluruhan, Sehingga apapun yang dibangun di atas tanah tersebut secara otomatis menjadi wakaf, meskipun tidak ada sighot wakaf.
2. Membangun masjid dengan format satu lantai, dua atau lebih di areal tanah yang tidak di wakafkan menjadi masjid, kemudian setelah bangunan tersebut berdiri baru di diwakafkan. Prakrek demikian terdapat perincian hukum sebagai berikut:
a. Totalitas bangunan menjadi masjid (mulai lantai dasar sampai lantai atas) apabila dalam sighot wakafnya diumumkan, seperti contoh : وَقَفْتُ هَذَا اْلبِنَاءَ كُلَّهُ مَسْجِدًا "Saya wakafkan keseluruhan bangunan ini menjadi masjid ".
b. Yang statusnya menjadi masjid hanya yang diikrarkan wakaf saja, tidak yang lainnya, apabila wakafnya ditentukan pada bagian bangunan tertentu, seperti ucapan وَقَفْتُ هَذَا اْلبِنَاءَ اْلأَوَّلَ فَقَطْ مَسْجِدًا " Saya wakafkan bangunan lantai satu menjadi masjid".
c. Totalitas tanah dan bangunan yang ada di atasnya menjadi wakaf, apabila keseluruhan tanah dan bangunan diwakafkan menjadi masjid, seperti ucapan وَقَفْتُ هَذَا الأَرْضَ وَ اْلبِنَاءَ مَسْجِدًا "Saya wakafkan tanah dan bangunannya menjadi masjid ".
Catatan :
Masjid tingkat (lebih dari satu lantai) bisa dianggap satu masjid apabila lantai satu dengan lainnya ada penghubungnya, seperti tangga, dengan syarat tangganya berada di areal tanah yang diwakafkan menjadi masjid. Posisi tangga tidak disyaratkan harus di depan, namun boleh disamping atau dibelakang.
Tidur di dalam masjid
 Versi Imam Hanafi
Tidur di dalam masjid hukumnya makruh, kecuali bagi orang yang i'tikaf dan orang yang sedang merantau, karena prioritas masjid adalah tempat ibadah, bukan tempat tidur. Namun ketika seseorang beri'tikaf, kemudian dia tidur dikarenakan kondisi badan tidak stabil, misalnya terlalu payah, maka baginya tidak ada hukum makruh, sebab tujuannya yang utama bukan tidur, tapi i'tikaf.
 Versi Imam Maliki
Tidur di dalam masjid hukumnya jawaz (boleh) ketika pada waktu qoilulah (istirahat), yaitu berkisar antara jam 10.00- 11.30 siang. Karena pada waktu jam 10.00-11.30 adalah waktu yang umumnya masjid tidak digunakan beribadah ( shalat, dzikir dan lain-lain ). Untuk selain waktu di atas hukumnya makruh bagi selain orang yang mempunyai hajat, seperti orang yang berdomisili jauh dari masjid.
 Versi Imam Syafi’i
Tidur di dalam masjid hukumnya jawaz (boleh) dengan tanpa ada batasan waktu, dengan catatan tidak mengganggu terhadap orang lain, seperti tidurnya tidak mendengkur, dan tidak mengganggu orang yang sedang shalat, dzikir atau ibadah lainnya.
 Versi Imam Hambali
Tidur di dalam masjid hukumnya jawaz (boleh) selama posisi tidurnya bukan dihadapan orang yang sedang shalat, karena tidur pada posisi demikian hukumnya makruh dan bisa mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat.
Catatan :
Al hasil, secara global Madzahib Al Arba'ah sepakat bahwa prioritas masjid adalah tempat ibadah, sehingga kalau digunakan selain ibadah hukumnya sebagai berikut:
 Haram :Bila mengganggu orang yang shalat.
 Makruh :Bila tidak mengganggu orang yang shalat dan tidak ada hajat.
 Boleh :Bila tidak mengganggu orang yang shalat dan ada hajat.
Makan di dalam masjid
 Versi Imam Hanafi
Beliau memerinci hukum makan di dalam masjid sebagai berikut :
 Makruh tahrim : Bila memakan sesuatu yang berbau tidak enak, seperti : Pete, jengkol, bawang merah, bawang putih dll.
 Makruh tanzih : Bila memakan sesuatu yang beraroma enak atau sesuatu yang tidak memiliki bau sama sekali.
 Versi Imam Maliki
Beliau memerinci hukum makan di dalam masjid sebagai berikut :
 Haram : Bila memakan sesuatu yang berbau tidak enak, seperti : Pete, jengkol dll. atau tidak berbau akan tetapi berdampak pada kotornya masjid. Karena masjid harus dijaga kebersihan dan kesuciannya.
 Boleh : Bila memakan sesuatu yang tidak berbau dan tidak berdampak mengotori masjid.
 Versi Imam Syafi’i
Beliau memerinci hukum makan di dalam masjid sebagai berikut :
 Haram : Bila berdampak mengotori masjid, meskipun hal tersebut suci dan tidak berbau.
 Makruh : Bila mengakibatkan masjid tidak nyaman dipandang mata, namun tidak sampai mengotori masjid menurut khalayak umum, meskipun barang yang dimakan suci dan tidak berbau.
 Versi Imam Hambali
Beliau memerinci hukum makan di dalam masjid sebagai berikut :
 Makruh tahrim : Bila memakan sesuatu yang berbau tidak enak, seperti : Pete, jengkol, bawang merah, bawang putih dll.
 Jawaz : Bila memakan sesuatu yang tidak memiliki bau, namun jika berdampak mengotori masjid wajib membersihkannya.
Catatan :
a. Makruh tahrim adalah makruh yang bila dilakukan, si pelaku mendapatkan dosa. Makruh tanzih adalah sesuatu yang bila dilakukan, si pelaku tidak mendapatkan dosa akan tetapi hal itu dianggap kurang baik.
b. Bedanya haram dengan makruh tahrim : Haram adalah hukum yang berdasarkan dalil yang jelas (tidak bisa diarahkan ke hal-hal yang lain). Makruh tahrim adalah sesuatu yang berdasarkan dalil yang masih bisa diarahkan ke hal-hal lain.
c. Perincian hukum diantara Madzahib Al Arba'ah di atas berlaku dalam kondisi biasa, apabila dalam kondisi dlarurat (terpaksa) atau hajat maka dengan sendirinya hukum akan berubah.
Bersuara keras di dalam masjid
 Versi Imam Hanafi
1. Dzikir
Mengeraskan suara untuk bacaan dzikir, jika mengganggu orang shalat atau orang yang tidur hukumnya makruh. Namun mengeraskan bacaan dzikir dapat menjadi keutamaan apabila dapat memotifasi kesemangatan orang-orang untuk berdzikir.
2. Selain dzikir
Mengeraskan suara untuk selain dzikir, jika kata-kata tersebut merupakan hal-hal yang diharamkan syara’ untuk diucapkan seperti kata-kata kotor, maka hukumnya makruh tahrim, dan jika yang diucapkan adalah hal-hal yang diperbolehkan syara’, namun dapat mengganggu orang shalat seperti membaca syair, maka hukumnya makruh.
 Versi Imam Maliki
Secara universal dzikir atau lainnya, mengeraskan suara di dalam masjid hukumnya makruh kecuali hal-hal berikut :
 Boleh :
 Apabila adanya hajat.
 Membaca talbiyah di masjid Makkah.
 Menjadi rabith (penyambung) ketika shalat berjama’ah.
Bahkan ketiga hal tersebut dianjurkan untuk mengeraskan suara.
 Haram : Bila mengganggu orang yang shalat dan tidak ada alasan salah satu dari tiga hal di atas.
 Versi Imam Syafi’i
1. Dzikir
Mengeraskan suara untuk bacaan dzikir di dalam masjid hukumnya makruh jika mengganggu orang shalat atau orang tidur yang tidak disunahkan untuk dibangunkan seperti tidur setelah sholat.
2. Selain dzikir
Mengeraskan suara untuk selain dzikir, jika kata-kata tersebut merupakan hal-hal yang diharamkan syara’ untuk diucapkan hukumnya haram, namun jika yang diucapkan adalah hal-hal yang diperbolehkan syara’ dan tidak mengganggu orang shalat hukumnya jawaz (boleh).
 Versi Imam Hambali
Mengeraskan suara di dalam masjid hukumnya makruh, baik berupa dzikir atau lainnya.
Transaksi di dalam masjid
 Versi Imam Hanafi dan Maliki
Menurut Imam Hanafi dan Imam Maliki hukumnya makruh praktek transaksi jual beli di masjid, namun dengan syarat bisa menjaga kebersihan, kesucian dan tidak menimbulkan kesan menjadikan masjid sebagai pasar. Jika tidak memenuhi syarat tersebut maka hukumnya haram, sedangkan akad jual belinya tetap sah.
 Versi Imam Syafi'i dan Hambali
Menurut Imam Syafi'i dan Imam Hambali hukumnya haram secara mutlak praktek transaksi jual beli di dalam masjid, karena secara pengadatan akad jual beli berdampak terbengkelainya kondisi kebersihan, kesucian masjid dan mengesankan merubah masjid dari fungsi aslinya (tempat ibadah) menjadi pasar. Sedangkan akad jual beli yang dilakukan hukumnya sah.
Akad nikah di dalam masjid
Madzahib Al Arba'ah sepakat hukumnya akad nikah di dalam masjid sunah, dikarenakan akad nikah tergolong ibadah.
Hukum mengukir dan menghias masjid
 Versi Imam Hanafi
 Makruh : Mengukir atau menghias masjid dengan harta yang halal dan bukan harta wakafan, meskipun menggunakan emas atau perak.
 Haram : Mengukir atau menghias masjid dengan harta haram atau dengan harta wakafan yang bukan untuk dibuat mengukir atau menghias masjid.
 Versi Imam Maliki
Hukumnya makruh mengukir atau menghias masjid, meskipun menggunakan emas atau perak, alasannya karena untuk menjaga kemuliaan masjid.
 Versi Imam Syafi’i dan Hambali
 Makruh : Mengukir atau menghias masjid dengan menggunakan selain emas dan perak.
 Haram : Mengukir atau menghias masjid dengan menggunakan emas atau perak.
Menghias dinding masjid
Menghias adalah istilah bagi segala upaya perubahan terhadap sesuatu dengan motif keindahan, baik berupa pengecatan, lukisan, tulisan di dinding atau di atap masjid, ataupun bentuk-bentuk yang lain. Ulama sepakat diperbolehkannya menghias masjid selain pada dinding bagian dalam masjid, bahkan dapat menjadi sunah dengan tujuan untuk memotifasi supaya orang-orang semangat beribadah di masjid. Sedangkan hukum menghias dinding bagian dalam masjid terdapat perbedaan pendapat para ulama.
 Versi Imam Hanafi
Imam Hanafi berpendapat menghias masjid dengan tulisan-tulisan arab yang dimuliakan oleh syara' hukumnya kurang baik, apabila ada kehawatiran tulisan-tulisan tersebut jatuh dan terinjak-injak. Kalau tidak demikian hukumnya boleh asalkan tidak mengganggu kekhusyu'an (konsentrasi) orang shalat. Apabila mengganggu kekhusyukan orang yang sedang sholat, maka hukumnya makruh
 Versi Imam Maliki
Imam Maliki berpendapat menghias dinding dalam masjid dengan tulisan, gambar atau lainnya hukumnya sebagai berikut :
 Makruh : Apabila hiasan tersebut berada di arah qiblat, karena bisa mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat.
 Boleh : Apabila hiasannya berada di selain arah qiblat.
 Versi Imam Syafi'i
Imam Syafi'i berpendapat menulis, mengukir atau menggambar di dinding atau di atap masjid hukumnya makruh secara mutlak, karena hal-hal tersebut bisa mengganggu konsentrasi shalat.
 Versi Imam Hambali
Imam Hambali berpendapat menghias masjid dengan cara menulis, menggambar di dinding dalam masjid hukumnya makruh apabila tidak menggunakan dana wakaf, apabila menggunakan dana wakaf yang tidak untuk menghias masjid hukumnya haram dan wajib menggantinya.
Meludah di dalam masjid
 Versi Imam Hanafi
Hukumnya makruh tahrim meludahi masjid, sebagai konsekwensinya pelaku diwajibkan membersihkannya.
 Versi Imam Maliki
Meludahi masjid hukumnya makruh bila sedikit dan haram bila banyak. Ukuran sedikit atau banyaknya ludah sesuai dengan penilaian masyarakat setempat.
 Versi Imam Syafi’i
Meludahi masjid hukumnya haram jika ludahnya sampai tampak, baik sedikit atau banyak.
 Versi Imam Hambali
Meludah di dalam masjid hukumnya haram apabila tidak dibersihkan.
Catatan:
Yang dikehendaki masjid yaitu semua komponen masjid baik lantai, dinding, atap, dll.
Sedekah pada peminta di dalam masjid
 Versi Imam Hanafi
Masjid merupakan sarana munajat kepada Allah 'Azzawajalla, karena itu sangat tidak layak memfungsikan masjid untuk segala aktifitas yang bersifat duniawi. Dari fakta inilah Imam Hanafi mengklaim hukum haram meminta sedekah di dalam masjid, dan hukum makruh bagi orang yang memberikan sedekah pada peminta tersebut.
 Versi Imam Maliki
Imam Maliki berpendapat hukumnya haram (sebagaimana Imam Hanafi) meminta sedekah dan juga memberinya, namun menurut Imam Maliki sedekah di masjid hukumnya boleh ketika diberikan kepada orang yang tidak meminta.
 Versi Imam Syafi’i
Menurut Imam Syafi'i meminta dan memberikan sedekah di dalam masjid kepada orang yang memintanya hukumnya makruh. Namun Beliau juga menyatakan hukum haram praktek tersebut jika berdampak mengganggu orang lain, seperti mengganggu orang yang sedang shalat.
 Versi Imam Hambali
Menurut Imam Hambali meminta dan memberi sedekah pada orang yang meminta-minta di dalam masjid hukumnya makruh. Sedangkan memberikan shodaqoh pada orang yang tidak meminta-minta hukumnya boleh(jawaz)
Belajar di dalam masjid
Madzahib Al Arba'ah sepakat bahwa belajar ilmu agama adalah hal yang sangat penting dalam syari'at Islam, sehingga para ulama salaf menghukumi wajib bagi setiap pribadi insan untuk mempelajarinya. Berkenaan dengan fakta ini, tidak jarang masjid difungsikan sebagai sarana untuk memperdalam ilmu syari'at, seperti ilmu tauhid, tafsir, hadits, fiqh, tasawwuf dan ilmu-ilmu yang lain. Hukum menggunakan fasilitas masjid sebagai tempat mengkaji atau mendalami syari'at Islam adalah sunah, karena belajar ilmu tersebut tergolong ibadah, hal ini singkron dengan keberadaan masjid, yakni dibangun untuk sarana ibadah, seperti shalat, dzikir dan lain-lain. Hukum kesunahan tersebut tentu dengan syarat tidak mengganggu orang yang sedang shalat, bisa menjaga kebersihan dan kesucian masjid.
Menutup pintu masjid
Masjid adalah baitullah, yang merupakan fasilitas ibadah milik umum yang tidak bisa dikuasai oleh pribadi, artinya siapapun berhak memanfaatkannya untuk ritual ibadah, kapanpun waktunya. Berdasarkan realita ini bukan berarti mengunci masjid, sebagaimana pada mayoritas masjid perkotaan hukumnya haram sebab mencegah orang lain untuk memanfaatkannya, karena yang lebih diprioritaskan pada penguncian ini adalah menjaga keseterilan masjid. Oleh karena itu, Imam Maliki, Syafi'i dan Hambali memperbolehkan mengunci masjid di luar waktu shalat, sedangkan menurut Imam Hanafi hukumnya makruh, kecuali ada kekhawatiran hilangnya barang-barang milik masjid. Sebenarnya ulama-ulama kita ada kesepakatan diperbolehkan mengunci masjid di luar waktu shalat, bahkan bisa menjadi wajib jika ada alasan-alasan yang menuntutnya.
Perbedaan skala keutamaan masjid
Bila meninjau dari dzatiyah masjid sebenarnya syari'at Islam tidak membeda-bedakan keutamaan antara satu masjid dengan lainnya, namun fakta menyatakan adanya perbedaan skala keutamaan antara satu masjid dengan lainnya yang disebabkan adanya unsur lain yang bersifat ‘aridli (baru datang), adakalanya dari segi tempat atau hal lain. Karena perbedaan skala keutamaan tersebut dikarenakan oleh sesuatu yang bersifat ‘aridli, tentu hal ini rentan adanya perbedaan pendapat para ulama di dalam memberikan penilaian tingkatan masjid, sebagaimana keterangan di bawah ini :
 Tingkatan masjid versi Imam Hanafi
1. Masjid Al Haram, Makkah
2. Masjid Nabawi, Madinah
3. Masjid Al Aqsha, Palestina
4. Masjid Quba', Madinah
5. Masjid yang dibangun lebih dahulu
6. Masjid yang lebih besar
7. Masjid yang lebih dekat dengan orang yang hendak shalat
8. Masjid yang digunakan untuk mengkaji ilmu syara'
 Tingkatan masjid versi Imam Maliki
1. Masjid Nabawi, Madinah
2. Masjid Al Haram, Makkah
3. Masjid Al Aqsha, Palestina
4. Masjid yang terdekat dengan orang yang hendak shalat

 Tingkatan masjid versi Imam Syafi'i
1. Masjid Al Haram, Makkah
2. Masjid Nabawi, Madinah
3. Masjid Al Aqsha, Palestina
4. Masjid yang lebih banyak jama'ahnya
 Tingkatan masjid versi Imam Hambali
1. Masjid Al Haram, Makkah
2. Masjid Nabawi, Madinah
3. Masjid Al Aqsha, Palestina
Catatan :
1. Masjid Al Haram lebih diutamakan karena di masjid tersebut terdapat ka'bah yang menjadi central ritual shalat bagi umat muslim sedunia, serta kiblat merupakan satu-satunya tempat yang sah untuk melakukan ritual thawaf (Qudum, Ifadhoh, Wada') yang notabene thawaf tidak sah dilaksanakan di tempat lain.
2. Masjid Nabawi diutamakan karena Nabi pernah menerima wahyu di masjid tersebut, serta masjid ini difungsikan sebagai pusat pendalaman dan penyebaran syari'at Islam pada zaman Nabi SAW.
3. Masjid Al Aqsha diutamakan karena masjid tersebut pernah dilalui oleh Rasulullah ketika Isro' Mi'roj untuk menerima kewajiban shalat lima waktu dan juga nama ini telah disebut oleh Allah di dalam firman-Nya yang menjelaskan Isro' Mi'roj.
4. Semua Masjid (selain di atas) diutamakan karena melakukan ibadah di masjid pahalanya lebih banyak dari pada ibadah di selain masjid, lebih lagi adanya nilai plus dari i'tikaf yang pahalanya tidak bisa didapatkan di selain masjid.
Pembangunan masjid
"Membangun" dalam kalangan Fuqoha dikenal dengan istilah insya' yang bermakna mewujudkan, jadi yang dikehendaki dalam pembahasan ini adalah membangun masjid di areal yang sebelumnya bukan berupa bangunan masjid atau lahan kosong, beda halnya dengan tarmim (memperbaiki), yaitu istilah ulama terhadap kegiatan merenofasi masjid secara total maupun hanya sebagian saja. Merupakan kebutuhan yang bersifat primer di dalam membangun masjid adalah tersedianya material bangunan yang ahirnya semuanya akan berstatus menjadi masjid, karena semua komponen bangunan masjid dengan sendirinya statusnya berubah menjadi masjid, meskipun tidak ada ucapan wakaf dari pihak penyumbang atau yang membangunnya. Dengan demikian, apapun bentuknya dan darimanapun asalnya, semua barang yang telah menjadi komponen masjid berlaku hukum kemasjidan, yakni tidak boleh dikotori, dirusak, diganti barang lain dan dibongkar, kecuali ketika kondisi dlarurat (terpaksa) atau dengan pertimbangan yang mu'tabar (dibenarkan) menurut syara', seperti masjidnya sempit sementara jama'ahnya banyak.
Pembongkaran masjid
Versi Madzahib Al Arba'ah
Bangunan yang statusnya masjid memiliki hak-hak istimewa, seperti tidak boleh dibongkar, dijual, di alih fungsikan, seperti dijadikan sekolahan, pasar atau yang lain, kecuali dalam kondisi dlarurat (terpaksa), seperti bangunan masjid yang terkena pelebaran jalan, atau kondisi hajat (kebutuhan), seperti kondisi bangunan rapuh dan hendak diganti dengan yang baru, dengan syarat harus melalui pertimbangan yang matang dengan cara musyawarah dengan kelompok masyarakat. Komponen-komponen masjid yang telah dibongkar harus diamankan supaya tidak tersia-siakan dengan cara:
1. Memfungsikan komponen masjid tersebut pada posisi yang sama ketika di bangunan lama atau memindahnya pada posisi yang lain, hal ini dilakukan ketika masjid hendak dibangun kembali dan masih mungkin memfungsikan komponen masjid lama sesuai dengan kegunaannya.
2. Dibuat barang lain, seperti asalnya pintu dibuat menjadi jendela.
3. Dengan cara dijual dan uangnya dibelikan bahan bangunan, hal ini dilakukan jika masjid dibangun kembali dan bongkaran tidak layak digunakan.
4. Kalau kesemua cara di atas tidak mungkin, bila komponen lama berupa batu bata atau sejenisnya maka barang tersebut ditimbun di tanah masjid, dan jika berupa kayu maka difungsikan sebagai kayu bakar untuk keperluan yang berhubungan dengan proses pembangunan tersebut.
Merubah masjid
Memasuki era modernisasi dan kian meningkatnya jumlah penduduk bumi, tentu hal ini menuntut terpenuhinya segala fasilitas yang menunjang kebutuhan sehari-hari dengan format yang tidak terkesan ketinggalan zaman. Diantara langkah penanganan problematika tersebut adalah dengan merehabilitasi, memperluas bahkan menambah bangunan sarana-sarana pembelanjaan, masjid, sekolah, perkantoran, jalan dan fasilitas lainnya yang kesemuanya merupakan kebijakan Imam (pemerintah). Kebijakan pemerintah ini telah diatur dan dilindungi undang-undang sekaligus dilegalkan kebolehannya serta dijamin kebenarannya oleh syara', sebagaimana yang tertera dalam maqalahnya ulama :
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya : "Kebijakan pemimpin atas rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan rakyat".
Berdasarkan argumen di atas, salah satu dampak dari kebijakan tersebut adalah realita sering adanya pembongkaran masjid akibat dari pelebaran jalan, pembangunan pusat pembelanjaan atau lainnya yang secara otomatis masjid akan berubah fungsi menjadi hal lain. Fakta ini di satu sisi dibenarkan syara' dengan dalih kebijakan yang bermaslahat, namun di sisi lain bertentangan syara' karena merubah masjid menjadi bentuk lain. Problematika semacam ini harus diselesaikan dengan mencari solusi syari'at dengan menyodorkan keputusan hukum yang bisa diterima oleh semua pihak tanpa mengorbankan atau menyalahkan kelompok tertentu.
Dalam mencari solusi permasalahan di atas, langkah yang harus ditempuh adalah menela'ah pemikiran serta argumen para ulama terdahulu (salaf) tentang hal ini, secara garis besar pendapat ulama salaf terbagi menjadi dua :
 Versi Imam Hanafi, Maliki dan Syafi'i
Beliau berpendapat bahwa perubahan masjid menjadi fungsi lain hukumnya tidak diperbolehkan, karena tanah atau bangunan yang sudah diwakafkan menjadi masjid status hukumnya tidak bisa berubah, meskipun secara dzahir (kasat mata) telah berubah fungsi atau bentuk. Berdasarkan pertimbangan wakaf tidak bisa dirubah maka, masjid yang sudah berubah menjadi bentuk dan fungsi lain tetap berstatus masjid yang konsekwensi hukumnya sah dibuat i'tikaf, harus dijaga kebersihan dan kesuciannya, orang yang junub, haidl dan nifas tidak boleh berdiam diri di lokasi tersebut, serta hukum-hukum lainnya.
 Versi Imam Hambali
Menurut Imam Hambali perubahan masjid menjadi jalan raya, pasar atau lainnya hukumnya diperbolehkan, karena perubahan tersebut tergolong hal yang tidak bisa dihindarkan (dlarurat). Masjid yang telah berubah menjadi bentuk lain dengan sendirinya akan berubah pula hukumnya, karena masjid tersebut dianggap khorob (rusak). Meskipun Beliau bertiga memperbolehkan praktek demikian, tetapi tetap harus mempertimbangkan kemaslahatan.
Barang milik masjid
Secara umum barang-barang yang ada di masjid diklasifikasikan menjadi tiga bagian :
1. مَوْقُوْف مَسْجِدًا (Maukuf masjidan), yaitu barang yang diwakafkan menjadi masjid, seperi tanah, batu bata, kayu dan lain-lain.
2. مَوْقُوْف ِللْمَسْجِدْ (Mauquf lil masjid), yaitu barang yang diwakafkan untuk kemaslahatan masjid, seperti tikar, pengeras suara, lampu dan lain-lain.
3. مِلْكُ الْمَسْجِدْ (Milk al masjid), yaitu barang yang diberikan untuk masjid tanpa adanya ikrar menjadi wakaf, seperi sapu, tikar, pengeras suara, lampu dan lain-lain.
Dari ketiga bagian di atas, dalam segi penggunaan, perawatan dan penjagaan mempunyai hukum yang sama, yaitu hanya digunakan untuk kepentingan dan kemaslahatan masjid, seperti tikar hanya dipasang di dalam masjid dan tidak boleh difungsikan di luar masjid. Ketika tiga golongan komponen masjid di atas (mauquf masjidan, mauquf lilmasjid, milkun lilmasjid) tidak bisa digunakan seperti semula (rusak), maka konsekwensi hukumnya sebagai berikut :
a) Apabila mauquf masjidan maka tidak boleh dijual selama masih bisa dimanfaatkan dengan selain menjual, seperti pintu dibuat jendela.
b) Apabila mauquf lil masjid maka sekiranya sudah tidak layak difungsikan sesuai dengan kegunaannya boleh dijual, meskipun masih bisa dimanfaatkan selain dengan menjualnya.
c) Apabila milk al masjid maka boleh dijual secara mutlak apabila ada hajat, seperti menjual tikar untuk dibelikan yang lebih menarik (baik).
Catatan :
Ketika tiga (maukuf masjidan,maukuf lilmasjid,milku lilmasjid)barang di atas telah dijual dengan tata cara yang sesuai dengan prosedur syara', maka hasil penjualannya harus dialokasikan untuk kepentingan masjid, baik diwujudkan dalam bentuk barang yang sama atau berbeda.
Menggunakan masjid atau barang milik masjid
Menggunakan fasilitas masjid atau peralatan milik masjid yang tidak sesuai dengan prosedur syara' hukumnya haram, contoh : Memfungsikan masjid sebagai ajang resepsi pernikahan seperti layaknya gedung pertemuan, memasang tikar di luar masjid. Konsekwensi hukum dari penggunaan fasilitas atau peralatan masjid yang tidak dibenarkan syara', apabila barangnya rusak wajib mengganti. Apabila tidak rusak maka wajib ganti rugi sejumlah uang untuk masjid.
Menggunakan uang masjid
Menjaga, mengatur dan menggunakan fasilitas masjid kesemuanya telah diatur oleh syara', tak terkecuali menggunakan dan membelanjakan uang masjid. Para ulama (Madzahib Al Arba'ah)berpendapat bahwa menggunakan uang masjid dalam hal yang tidak ada kepentingan atau kemaslahatan yang kembali pada masjid, serta berhutang atau menghutangkannya hukumnya haram. Hal ini disebabkan karena uang masjid adalah milik umum yang tidak boleh dihutang oleh siapapun dan untuk kepentingan apapun, kecuali ada kemaslahatan yang kenbali pada masjid. Syaratnya diperbolehkan menghutangkan uang masjid harus mendapatkan izin masyarakat secara keseluruhan karena keuangan masjid merupakan milik umum, dan hal ini tidak mungkin bisa dilakukan. Semoga kita dijaga dari menggunakan uang masjid dan segala aktifitas yang bertentangan dengan prosedur syari'at Islam.
Catatan :
Sebagai seorang muslim yang mengemban amanah dari Allah SWT harus selalu berhati-hati dalam memberikan hukum ketika di sekeliling kita ketika kita temukan sebuah bangunan masjid yang termakan usia dan penduduk sekitarnya ingin membongkar dan merenovasi sesuai dengan keadaan zaman. Dengan demikian, kita tidak terjebak dan tidak mengorbaankan syariat Islam sebagai pedoman kita bersama dalam menentukan segala langkah, harapan kita, ikutilah ketetapan-ketetapan hukum sesuai dengan apa yang difatwakan oleh ulama-ulama kita terdahulu ( salafuna al shaleh ). Dan semoga kita semua selalu dalam bimbingan dan ridlaNya.

Senin, 24 Oktober 2011

Najasah

Definisi Najis
Najis adalah suatu perkara yang dianggap kotor oleh syara’ yang dapat mencegah keabsahan sholat, seperti darah, air air seni, kotoran manusia atau hewan dll. Dari definisi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa barang kotor yang ada disekitar kita, belum tentu dihukumi najis karena tidak semuanya mencegah keabsahan sholat, seperti tanah, lumpur, sampah dll.

Macam-macam Perkara Najis
Pada dasarnya seluruh benda yang ada dimuka bumi ini hukumnya suci, kecuali beberapa hal dibawah ini ;

1. Benda cair (secara dzatiah) yang dapat memabukkan (menghilangkan akal) sedikit atau banyak, contoh : Minuman keras. Berbeda dengan ganja, ganja tidaklah najis walaupun sudah dilebur dan dicampur dengan benda lain sehingga menjadi cair karena bentuk aslinya adalah sebuah benda padat , oleh karena itu sedikit ganja boleh dicicipi apabila tidak membahayakan badan atau akal.

2. Anjing dan babi serta semua anaknya meskipun hasil kawin silang dengan hewan lain yang suci.
3. Bangkai ,
4. Darah.
Semua darah adalah najis, kecuali :
a Hati dan Limpa.
Pada mulanya, keduanya adalah darah, lalu membeku. kecuali hati dan limpa dari bangkai yang najis maka hukumnya juga najis.
b Misik.
Yaitu darah kijang jantan yang berada didalam kantong kulit yang terletak dibawah pusar, lalu berubah baunya menjadi amat harum. Setelah sempurna mengalami perubahan, kantong tersebut jatuh dengan sendirinya .
c ‘Alaqah (segumpal darah) dan Mudlghah (segumpal daging).
Keduanya adalah cikal bakal manusia yang keluar dari rahim seorang wanita ketika gagal proses penyempurnaanya dalam rahim tersebut.
d Darah yang terdapat pada telur yang belum membusuk.

5. Nanah.
Yaitu darah kotor berwarna putih kekuningan yang keluar dari dalam luka. Susu dan sperma, walaupun keduanya berasal dari darah, tapi hukumnya suci, karena telah mengalami perubahan menjadi sesuatu yang yang lebih baik.

6. Muntahan.
Baik dari makanan, minuman atau lainya yang kembali keluar setelah sampai pada lambung, walaupun belum banyak berubah bentuknya. Semua muntahan hukumnya najis kecuali madu. Meskipun keluar dari mulut lebah, madu tetap suci dan halal dikonsumsi.

7. Kotoran yang keluar dari anus
Baik kotoran manusia ( tinja ) maupun hewan. Perlu diketahui, benda yang tidak mengalami perubahan sama sekali akibat proses dalam lambung, hukumnya tetap suci dzatnya, hanya saja karena terkena najis yang ada dalam perut, hukumnya menjadi mutanajjis. Oleh karena itu, benda tersebut bisa menjadi suci kembali setelah dibersihkan dari najis.

8. Air seni.
Hukumnya najis dan tidak boleh diminum, kecuali untuk pengobatan, apabila tidak ditemukan obat suci untuk menyembuhkannya.

9. Madzi .
10. Wadzi .
11. Air liur yang dipastikan keluar dari dalam perut (iler; jawa)
Air liur ini biasanya berwarna kuning keruh dan berbau busuk. Bagi mereka yang selalu mengeluar-kan air tersebut, tidak wajib membasuh mulutnya, karena najis air tersebut dima'fu, sehingga ketika bangun dari tidur, boleh baginya langsung minum air.

12. Air susu hewan yang tidak halal dikonsumsi .
13. Bagian tubuh hewan yang terpotong/dipotong ketika masih hidup.
Seperti cakar harimau hidup yang terlepas, karena bangkainya najis. Begitu juga cakar ayam, gigi kerbau atau bagian lainnya yang terpisah, kecuali bulu atau rambut hewan yang halal dimakan.

Basah-basah (cairan) pada kemaluan wanita selain air seni, madzi dan wadzi hukumnya suci apabila keluar dari bagian kemaluannya yang wajib dibasuh (bagian yang terlihat disaat wanita jongkok) tapi apabila dipastikan bahwa cairan tersebut keluar dari bagian dalam, maka hukumnya najis, karena keluar dari tempat air seni atau perut. Kepastian tersebut tentunya dengan tanda-tanda tertentu, misalnya keluarnya terasa dari bagian dalam atau baunya seperti air seni atau kotoran.

Dari seluruh najis yang telah disebutkan, yang dapat menjadi suci kembali hanya ada dua :

1. Khomer yang telah berubah menjadi cuka
Khomer adalah perasan anggur murni yang kemudian berubah menjadi minuman yang memabukkan setelah didiamkan dalam waktu tertentu. Khomer yang telah berubah menjadi cuka hukumnya suci, dengan syarat perubahan tersebut terjadi secara alami (tanpa dicampur dengan barang lain). Apabila tercampur dengan benda suci yang lain, maka cuka tersebut dihukumi najis apabila ; 1] tidak segera diambil sebelum menjadi cuka, 2] benda tersebut segera diambil, namun masih menyisakan serpihan-serpihan yang tertinggal . Sari kurma atau tebu yang memabukan juga bisa menjadi suci dengan proses sebagaimana khomer.

2. Kulit bangkai selain anjing dan babi.
Selain kulit anjing dan babi dapat menjadi suci dengan cara disamak. Manyamak adalah mengilangkan segala sesuatu yang masih menempel pada kulit, baik lendir, darah, daging atau lainnya yang dapat membuat kulit membusuk dan berbau dengan menggunakan benda yang masam ( sepet-jawa), meskipun benda tersebut najis, seperti kotoran burung merpati. Kesempurnaan penyamakan dapat dibuktikan dengan merendam kulit yang telah disamak dalam air. Apabila kulit tersebut tidak tercium bau busuk atau membusuk maka penyamakan dianggap selesai. Apabila masih tercium bau busuk maka penyamakan harus diulangi kembali.


Macam-macam najis dan cara menyucikannya

Melihat kekuatan dan sumbernya, najis dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :
a) Najis Mugholladzhoh
b) Najis Mukhoffafah
c) Najis Mutawassithoh

a. Najis Mugholladhoh adalah najis dari anjing, babi dan segala keturunannya. Seluruh bagian hewan tersebut najis hukumnya, oleh karena itu jika hewan tersebut bersentuhan dengan suatu benda, maka bagian yang tersentuh menjadi najis, apabila bagian yang saling bersentuhan tersebut basah salah satu atau keduanya.

Adapun cara menyucikan bagian suatu benda yang terkena najis mugholladhoh adalah :
• Basuhlah daerah yang terkena najis Mugholladhoh dengan air sebanyak 7 kali yang salah satunya dicampur dengan debu.
• Sebelum dibasuh, dzat najis tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu, seperti kotoran anjing yang mengenai lantai, haruslah dihilangkan terlebih dahulu, baru setelah itu dibasuh.

Bisa juga dengan memasukkan benda yang terkena najis tersebut kedalam sungai yang keruh dan menggerakkannya sebanyak tujuh kali. Namun, sebaiknya debu tersebut dicampur pada basuhan yang pertama.

Perlu diperhatikan, membasuh benda yang terkena najis mugholladzoh haruslah hati-hati, diusahakan jangan sampai percikannya mengenai benda lain disekitarnya. Apabila sampai mengenai benda lain disekitarnya maka bagian yang terkena najis itu harus disucikan pula.

Apabila percikan tersebut dari basuhan yang pertama, maka, benda yang terkena percikan tersebut harus dibasuh sebanyak enam kali. Apabila dari basuhan yang kedua, maka, harus dibasuh sebanyak lima kali, dan seterusnya.

Basuhan untuk menyucikan benda yang terkena percikan tersebut tidak perlu dicampur debu, apabila percikan tersebut tidak perlu dicampur dengan debu atau sebelumnya telah dicampur dengan debu. Apabila tidak demikian, maka perlu mencampurnya dengan debu.

b. Najis Mukhoffafah adalah najis yang berupa air seninya anak laki-laki yang belum genap umur 2 tahun dan belum pernah mengkonsumsi selain susu (hewan atau manusia) murni sebagai makanan pokok. Berbeda dengan air seni anak wanita, walaupun masih bayi dan hanya minum susu ibu, air seninya termasuk najis mutawassithoh , begitu juga air seni bayi laki-laki yang minuman pokoknya susu kaleng atau bubuk, maka, hukumnya najis mutawassithoh karena susu tersebut sudah tidak murni lagi.

Apabila anak laki-laki tersebut minum obat untuk penyembuhan, maka hal tersebut tidak merubah status air seninya (tetap mukhoffafah), karena selain susu, yang ia minum bukan sebagai makanan utama tapi untuk penyembuhan .

Najis mukhoffafah merupakan najis yang ringan dalam menyucikannya, caranya adalah :
• Hilangkanlah terlebih dahulu dzat dan sifat-sifat air seni tersebut dengan cara dilap dengan semisal kain.
• Selanjutnnya, percikkan air keseluruh tempat yang terkena najis hingga betul-betul merata, walaupun tidak mengalir.

Perlu diingat, tempat tersebut dapat menjadi suci, apabila percikan air dapat menghilangkan bau dan bekas air seni tersebut. Apabila tidak, maka tempat tersebut belum menjadi suci dan perlu dipercikan air kembali agar bau dan bekasnya betul-betul hilang.

c. Najis Mutawassithoh adalah Najis selain bentuk yang telah disebutkan diatas, seperti : kotoran hewan, darah, bangkai dll. Najis kategori ini terbagi menjadi dua :

1. Najis Hukmiyyah
yakni najis yang tidak terdapat dzat, bau, warna maupun rasanya.
Contoh : Lantai yang terkena air seni kucing, setelah lama dibiarkan, air seni tersebut mengering tanpa meninggalkan bau dan bekas. Nah, air seni kucing yang tidak berbekas itulah salah satu bentuk najis hukmiyyah.

Cara menyucikannya cukup dengan menyiramkan air pada tempat yang terkena najis tersebut.

2. Najis ‘Ainiyyah
Najis ‘ainiyyah adalah kebalikan dari najis hukmiyyah, yaitu najis yang masih terdapat dzat atau salah satu sifatya, seperti bau, warna dan rasa. Contohnya banyak sekali, seperti air seni orang dewasa, darah dll.

Sedangkan cara menyucikan najis ‘ainiyyah adalah dengan menghilangkan dzat, bau, warna dan rasanya. Apabila bau atau warna sulit untuk dihilangkan dengan cara dikerok, digosok, bahkan dikasih sabun sekalipun, maka hukumnya dima’fu (diampuni). Berbeda apabila yang tersisa adalah rasanya, maka tempat tersebut tetap dihukumi najis.
Contoh : setelah tempat yang terkena najis tersebut dibersihkan dengan cara diatas, lalu dia merasa yakin bahwa rasa najis sudah tidak ada, boleh baginya menjilat tempat tersebut, apabila dia masih merasakan rasanya najis, maka tempat tersebut belum dianggap suci, begitu pula apabila bau beserta warnanya tidak dapat (sulit) dihilangkan, maka tempat tersebut belum dianggap suci.

Perlu diketahui, tidak boleh menyucikan benda yang terkena najis dengan cara memasukkannya kedalam air yang kurang dari dua qullah, karena air tersebut akan ikut manjadi najis, sebab air yang kurang dari dua qullah akan menjadi najis apabila kejatuhan najis, walaupun tidak berubah.[]

Jama'ah

Pendahuluan
Shalat Jama’ah adalah hubungan dan ikatan dalam shalat antara imam dan ma’mum. Oleh karena itu dalam prakteknya harus terdiri minimal dua orang, satu sebagai imam dan yang satunya sebagai ma’mum.
Hikmah yang terkandung dari shalat jama’ah adalah menjalin ikatan persaudaraan, merajut benang kasih sayang dan memperkokoh barisan antara muslim tanpa membeda-bedakan status sosial mereka, dan masih banyak lagi hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya.

Hukum Shalat Jama'ah
Hukum shalat jama'ah adalah sunnat muakkadah (sangat dianjurkan), berdasarkan firman Allah:
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ [النساء : 102]
Artinya : Dan apabila Kamu berada ditengah-tengah qoum, maka (kemudian) kamu mendirikan shalat untuk mereka, maka hendaknya golongan dari qoum tersebut ikut mendirikan shalat bersamamu ( QS. An-Nisa':102 )
Dan hadits Nabi Muhammad SAW :
صَلاَةُ الجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً { متفق عليه }
Artinya : shalat berjama’ah lebih utama dari pada shalat sendirian dengan selisih 27 derajat.( Muttafaq 'alaih )

Dalam hadits diatas disebutkan bahwa shalat jama'ah mempunyai dua puluh tujuh derajat dibanding shalat sendirian. Derajat yang dimaksud disini adalah keutaman atau yang biasa disebut fadhilah. Dalam kenyataannya, fadhilah tersebut terbagi pada beberapa kesunnatan yang hanya terdapat dalam jamaah. Fadhilah tersebut bisa diperoleh seseorang selama dia tercatat telah mengikuti jama'ah, atau dengan kata lain, selama dia belum ketinggalan salam pertama imam.

Syarat-syarat Menjadi Ma’mum :
1. Niat berjama'ah
2. Tidak mendahului tempat imam
3. Mengetahui gerakan imam
4. Berkumpul dalam satu tempat
5. Tidak terjadi Fuhsy al-mukhâlafah (ketidakserasian yang sangat mencolok antara shalat imam dan ma’mum)

Uraian dan Teknis Pelaksanaan
1. Niat Berjama'ah.
Niat berjama’ah harus disebutkan oleh ma’mum bersamaan dengan Takbîratul ihrâm . Secara prinsip, yang terpenting dalam niat berjamaah adalah niat (tujuan) menghubungkan shalat ma'mum dengan shalat imam. Adapun bentuk-bentuk niat berjamaah bermacam-macam yaitu : niat berjama’ah, niat mengikuti imam, niat shalat bersama imam, niat menjadi ma’mum dll. Contoh :
أُصَلِّي فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَأْمُوْمًا ِللهِ تَعَالى
Artinya : saya niat shalat maghrib, tiga rokaat, menghadap kiblat, menjadi ma’mum karena Allah Ta’ala

2. Tidak mendahului tempat imam
Yang menjadi tolak ukur dalam hal ini adalah tumit, bukan jari-jari kaki, dalam arti, tumit ma'mum tidak boleh lebih depan dari tumit imam. Apabila hanya sejajar, hukumnya makruh namun tidak membatalkan shalat.
Adapun format posisi (tata letak) imam dan ma’mum yang dianjurkan ketika jama’ah diperinci sbb:
1) Ketika ma’mum hanya lelaki
a. Apabila ma'mum hanya satu orang, disunnatkan berdiri disamping kanan imam dengan sedikit mundur, sampai jari kakinya berada dibelakang tumit imam.
 Kemudian apabila datang ma’mum kedua, maka ma’mum tersebut menempat disamping kiri imam dengan sedikit mundur sama seperti ma’mum pertama, kemudian setelah ma’mum kedua takbir, kedua ma’mum disunnatkan membuat shof (barisan) dibelakang imam. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara : ma'mum mundur bersamaan atau imamnya maju
b. Apabila ma'mum lebih dari satu dan datang bersamaan, hendaknya langsung membentuk barisan kanan dan kiri dibelakang imam (tidak berada disamping imam)

2) Ketika ma'mum hanya perempuan
Baik hanya satu orang maupun lebih, disunnatkan membelakang agak jauh dari imam.

3) Ketika ma’mum terdiri dari laki-laki dan perempuan
Urutan dari imam sbb:
1. Laki-laki (dewasa maupun anak-anak)
2. Huntsa (banci - kalau ada)
3. Perempuan
3. Mengetahui gerakan imam,
Gerakan imam yang dimaksud disini adalah perpindahan rukun fi'ly (rukun gerakan) imam. Untuk mengetahui gerakan imam, bisa ditempuh dengan berbagai cara, baik secara langsung misalnya melihat imam (ketika ma’mum berada tidak jauh dari imam), ataupun tidak langsung asalkan ma'mum yakin dan bisa membedakan rukun fi'ly yang sedang dijalani imam misalnya melihat ma’mum lain atau mendengarkan suara imam ataupun dengan bantuan mediator, seperti mendengarkan suara muballigh (perantara suara imam), suara imam dari spiker (pengeras suara) atau melihat tayangan shalat imam dari monitor dll

4. Berkumpul dengan imam dalam satu tempat
Melihat penbahasan ini bisa di gambarkan pada macam-macam tempat, maka hukumnya diperinci sbb:
1. Imam dan Ma'mum sama-sama di masjid.
Hal ini bisa dihukumi sah, asalkan keberadaan ma'mum dalam suatu ruangan masih memungkinkan untuk berjalan menuju imam dengan mudah, meskipun ma'mum berada dalam ruangan yang berbeda, dan jaraknya dengan imam melebihi 144 m. Sebaliknya apabila ma'mum berada dalam suatu ruangan yang sulit atau tidak mungkin bisa berjalan menuju imam, maka jama'ahnya tidak sah karena tidak dianggap (dihukumi) berkumpul dengan imam dalam satu tempat,.
Contoh :
 Ma'mum berada dalam ruangan yang tidak ada pintunya.
 Ma’mum berada di kamar yang disegel atau berada di loteng yang tidak ada tangganya

2. Imam dan Ma'mum tidak bersama dalam satu masjid.
Secara terperinci, bentuknya ada tiga :
 Imam dimasjid, ma'mum diluar masjid
 Imam diluar masjid, ma'mum dimasjid
 Imam dan ma'mum sama-sama diluar masjid
Hal ini bisa dihukumi sah dengan catatan :
 Jarak antara imam dan ma'mum tidak lebih dari 144 m
 Tidak terdapat hâ'il (penghalang) yang mencegah untuk melihat imam atau berjalan menuju posisi imam, kecuali ada râbith (penghubung) yang berada di tengah-tengah hâ'il tersebut

5. Tidak terjadi Fuhsy al-mukhâlafah (ketidakserasian yang sangat mencolok antara imam dan ma’mum)
Esensi dari jama'ah adalah mutâba'ah, artinya ma'mum harus selalu mengikuti imam dalam melakukan atau tidak melakukan suatu pekerjaan, disamping itu pekerjaan yang dilakukan ma'mum harus setelah pekerjaan imam dengan tenggang waktu yang tidak lama. Oleh karena itu apabila ma'mum melakukan pekerjaan yang mengesankan tidak serasi dengan imam maka jama'ahnya batal karena tidak terjalinnya mutâba'ah yang semestinya.

Hal-hal yang menyebabkan Fuhsy al-mukhâlafah (tidak serasi dalam jama'ah yang sangat mencolok) adalah :
1. Terlambat mengikuti gerakan imam melebihi dua rukun fi’ly (rukun yang berupa gerakan) secara berturut-turut meskipun rukun pendek dan dalam hal ini keterlambatan ma'mum tanpa adanya suatu udzur.
Contoh : Imam sudah turun untuk melakukan sujud, sedangkan ma’mum masih berdiri -> (belum rukû' dan i’tidâl)
2. Terlambat mengikuti gerakan imam melebihi tiga rukun panjang, dikarenakan ada adzur .
Contoh : Imam sudah berdiri dalam rokaat kedua (atau rokaat setelah rokaatnya ma’mum) sedangkan ma’mum masih berdiri dalam rokaat sebelum imam -> (ketinggalan rukû', sujud pertama dan sujud kedua).
3. Mendahului imam melebihi dua rukun (meskipun rukun pendek)
Contoh :
 Imam masih dalam keadaan berdiri, ma’mum sudah turun untuk melakukan sujud -> (mendahului dalam rukû' dan i’tidâl)
 Imam masih berdiri, ma’mum sudah rukû' namun ketika imam hendak melakukan rukû', ma’mum sudah sujud (tidak bersamaan dengan imam dalam rukû' dan i’tidâl)
4. Melakukan atau tidak melakukan sunnat fi'ly (gerakan sunnat) tertentu sehingga terkesan antara shalat imam dan ma’mum tidak ada keserasian yang sangat mencolok. Sunnat fi'ly yang dimaksud disini adalah tahiyyat awal, qunût dan sujud tilawah. Namun menurut qawl yang mu’tamad (yang bisa dijadikan pegangan), kesunnatan - kesunnatan diatas tidak mutlak akan membatalkan shalat ma’mum apabila tidak sama dengan imamnya, namun ada beberapa pemilahan. Perinciannya sebagai berikut :
 Dalam sujud tilâwah, ma'mum harus mengikuti imam dalam melakukan atau meninggalkannya, artinya apabila imam mengerjakan, ma’mum harus ikut mengerjakan, begitu juga apabila imam meninggalkan, ma’mum harus meninggalkan. Apabila tidak sama, maka shalat ma’mum batal.
 Dalam qunût, ma’mum tidak ada keharusan mengikuti imam, baik dalam mengerjakan atau meninggalkannya. Artinya, ketika imam melakukan qunût, ma’mum boleh melakukan atau tidak melakukannya (langsung sujud), begitu juga apabila imam tidak melakukan qunût, ma’mum boleh melakukannya apabila dia yakin bisa menyusul imam sebelum sujud kedua (sebagaimana keterangan diakhir bab)
 Dalam tahiyyat awal, ma’mum harus mengikuti imamnya dalam meninggalkan saja. Artinya apabila imam meninggalkan tahiyyat awal, ma’mum harus ikut meninggalkannya. Namun apabila imam melakukannya, ma’mum tidak wajib melakukannya (boleh meninggalkannya, dan menunggu imam pada rukun berdiri).

Semua hukum yang telah disebutkan diatas berlaku apabila ma’mum melakukannya secara sengaja dan tahu bahwa hal tersebut dilarang. Apabila tidak sengaja, shalatnya tidak batal namun harus mengejar atau menyusul imam.

Orang Yang Tidak Sah Menjadi Imam :
1. Seseorang yang sudah menjadi ma’mum pada imam lain (meskipun hanya dugaan atau diragukan)
2. Seorang ummy yang menjadi imam bagi Qâri’
3. Perempuan yang menjadi imam bagi laki-laki (meskipun anak kecil) atau huntsa (banci)

Orang Yang Makruh Menjadi Imam :
1. Orang fâsiq yaitu orang yang pernah melakukan dosa besar atau orang yang berulang-ulang melakukan dosa kecil dan belum bertaubat
2. Orang ahli bid’ah (orang yang melakukan hal baru yang negatif dan tidak terdapat dalam syari’at Nabi) yang tidak sampai menyebabkan kufur
3. Orang yang selalu waswas
4. Orang yang belum dihitan

Udzur Jama’ah
Udzur yang memperbolehkan seseorang tidak melakukan jama’ah adalah :
1. Hujan yang sampai membasahi bajunya
2. Cuaca yang sangat panas
3. Cuaca yang sangat dingin
4. Malam yang sangat gelap
5. Sakit yang menyebabkan tidak bisa shalat dengan khusyû'
6. Menahan hadast (kencing, berak, kentut)
7. Tidak menemukan baju yang layak (meskipun sudah ada yang bisa menutup aurot)
8. Khawatir tertinggal rombongan bagi orang yang hendak melakukan perjalanan yang diperbolehkan
9. Khawatirkan terjadi penganiayaan pada orang ma’shûm apabila dia meninggalkannya
10. Tidak kuat menahan kantuk ketika menunggu jama’ah
11. Sangat haus dan lapar




Muwâfiq Dan Masbûq

Muwâfiq adalah ma'mum yang setelah takbir mempunyai sisa waktu yang cukup untuk menyempurnakan bacaan fâtihah dengan kecepatan baca sedang (tidak terlalu cepat dan lambat) sebelum imam rukû'.

Sedangkan Masbûq adalah sebaliknya, yaitu : ma'mum yang setelah takbir hanya mempunyai sedikit waktu yang tidak cukup untuk menyempurnakan bacaan fâtihah sebelum imam rukû'.
Contoh : Anggap saja standart bacaan fâtihah dengan kecepatan sedang, berdurasi dua menit. Apabila ketika ma'mum mengikuti imam masih ada waktu dua menit, maka dia berstatus Muwâfiq, sebaliknya apabila kurang dari dua menit maka statusnya masbûq.

Dari pengertian ini dapat diambil kesimpulan, bahwa status masbûq tidak hanya untuk rokaat pertama saja, namun bisa pada rokaat kedua dan seterusnya, bahkan bisa jadi, ma'mum tersebut menjadi masbûq dalam seluruh rokaatnya.
Termasuk dalam kategori masbûq adalah ma'mum yang ketika dia takbir, imam sudah selesai berdiri, baik waktu itu imam dalam keadaan rukû', I'tidâl, sujud dan sebagainya.

Untuk mengantisipasi keterlambatan bacaan fâtihah ma'mum, menurut ulama', apabila ma'mum telah melaksanakan takbîratul ihrâm, dia disunnatkan langsung membaca fâtihah tanpa membaca do'a atau dzikir sunnat terlebih dahulu, kecuali dia mempunyai dugaan bisa menyelesaikan fâtihahnya sebelum imam rukû'.


Hukum-hukum Ma'mum Muwâfiq
1. Harus menyempurnakan fâtihah.
2. Dalam menyelesaikan fâtihahnya, dia diperbolehkan tertinggal dari imam sampai dua rukun pendek apabila tidak ada udzur dan tiga rukun panjang apabila ada udzur (sebagaimana udzur diatas)

Fase-fase Rukun fi'ly
ketika Ma'mum Masbûq Mengikuti Imam

a) Ketika mengikuti imam dalam rukun berdiri
Yang harus dilakukan ma'mum, pertama kali adalah takbîratul ihrâm, lalu langsung membaca fâtihah tanpa menunda-nundanya dengan do'a, dzikir sunnat, atau diam terlebih dahulu. Kemudian apabila sebelum dia menyelesaikan fâtihahnya, imam sudah melakukan rukû', maka dia harus langsung rukû' mengikuti imam, sedangkan kekurangan fâtihah sudah dalam tanggungan imam dan tidak perlu diselesaikan


b) Ketika mengikuti imam dalam rukun rukû'
Setelah takbîratul ihrâm, ma'mum langsung menyusul imam yang masih rukû' (tanpa membaca fâtihah terlebih dahulu). Kemudian apabila ketika ma’mum rukû' bersamaan dengan imam masih ada waktu tuma’nînah bersama, maka apa yang telah dia lakukan tercatat sebagai roka’at, sebaliknya, apabila ketika ma’mum rukû', imam sudah mulai berdiri untuk I’tidâl, maka apa yang telah dia lakukan tidak tercatat sebagai roka’at.

c) Ketika mengikuti imam dalam rukun i’tidâl atau seterusnya
Setelah takbîratul ihrâm, ma’mum langsung menyusul imam sesuai dengan keadaan imam waktu itu, artinya ketika imam sedang sujud, ma’mum langsung sujud, ketika imam sedang duduk, ma’mum langsung duduk, begitu seterusnya.

Selanjutnya, apabila imam melakukan salam dan ma’mum masih mempunyai sisa roka'at yang belum diselesaikan, maka ketika hendak berdiri, dia disunnatkan melakukan takbir intiqâl dengan mengangkat tangan sebatas pundak (seperti takbîratul ihrâm). Hal ini apabila duduk yang dilaksanakan beserta imam merupakan duduk yang mestinya dilakukan (untuk tasyahhud) andaikan ma'mum tersebut shalat sendirian.
Contoh : Dalam shalat isyâ' (misalnya) ma’mum telah ketinggalan dua roka’at, ketika imam melakukan tahiyyat akhir, ma’mum pun melakukan tahiyyat, ketika imam telah salam dan makmum hendak berdiri, ia disunnatkan takbir dengan mengangkat tangannya, karena duduk tahiyyat yang dia lakukan bersamaan dengan imam adalah duduk yang mestinya dia lakukan sebagai tahiyyat awal andaikan dia shalat sendirian. Berbeda apabila dia ketinggalan satu atau tiga roka’at, ketika imam telah salam, dia tidak disunnatkan takbir ataupun mengangkat tangan, karena duduk tahiyyat yang dia lakukan bersamaan dengan imam adalah bukan duduk yang semestinya ia lakukan.

Imam Melakukan Tindakan yang Tidak semestinya
Apabila ditengah-tengah shalatnya, imam melakukan tindakan yang tidak semestinya, maka hal yang harus dilakukan ma'mum dapat diperinci sebagai berikut :

1. Ketika imam menambah roka'at
Sikap ma'mum -> mengingatkan dengan membaca tasbîh yang disertai dengan niat dzikir, apabila imam tetap melanjutkan kesalahannya, lebih baik menunggu sampai selesai atau boleh untuk mufâraqah
Contoh : Ketika imam dan ma'mum dalam tahiyyat akhir, tanpa sengaja imam berdiri lagi untuk menambah roka'at yang telah selesai, dalam keadaan tersebut, ma'mum disunnatkan mengingatkan imam dengan membaca subhânallâh (dengan niat dzikir). Apabila imam sadar akan kesalahannya, dia harus kembali duduk lalu sujud sahwi dan kemudian salam. Apabila setelah dingatkan, imam tetap melanjutkannya, maka ma'mum boleh menunggunya dengan duduk sampai imam selesai dan kemudian melakukan salam setelah imam salam. Apabila dia tidak ingin menunggu imam, dia boleh mufâraqah, caranya dengan niat lepas dari jama'ah dengan imam, lalu salam tanpa menunggu imam.


2. Ketika imam melakukan hal-hal membatalkan shalat
Sikap ma'mum -> apabila masih ada kemungkinan shalat imam tidak batal, ma'mum seyogyanya berbaik sangka, dalam arti menganggap apa yang dilakukan imam tidak sampai membatalkan shalat. Apabila ma'mum yakin, imam telah batal shalatnya, dia harus mufâraqah.
Contoh : Imam tidak membaca basmalah ketika fâtihah, apabila antara takbir dan ayat setelah basmalah yang dibaca imam, masih ada tenggang waktu yang mungkin bisa digunakan membaca basmalah, seyogyanya ma'mum berbaik sangka, dalam arti, anggap saja imam sudah membaca basmalah yang tidak didengar oleh ma'mum. Sebaliknya apabila antara takbir dan ayat setelah basmalah tidak ada tenggang waktu yang bisa digunakan membaca basmalah, maka ma'mum harus mufâraqah, karena bisa dipastikan imam tidak membaca basmalah. Hal ini bisa dianalogikan pada contoh-contoh lain yang semisal.

3. Ketika imam tidak melakukan tahiyyat awal
Sikap ma'mum -> harus langsung berdiri mengikuti imam apabila setelah sujud kedua, imam tidak duduk istirâhah. Sebaliknya, apabila imam melakukan duduk istirâhah, ma'mum tetap diperbolehkan melakukan tahiyyat awal

4. Ketika imam tidak melakukan qunût
Sikap ma'mum diperinci sbb:
 Sunnat melakukan qunût, apabila yakin bisa menyusul imam dalam sujud awal.
 Boleh melakukannya, apabila yakin bisa menyusul imam dalam duduk diantara dua sujud.
 Tidak boleh melakukannya, apabila yakin hanya bisa menyusul imam pada sujud kedua.[]

Sabtu, 22 Oktober 2011

Shalat Sunah

Shalat sunnat, dalam bahasa Arab biasa dikenal dengan shalat al-Nafl. Secara etimologi, nafl berarti tambahan. Sedangkan menurut terminologi fiqh adalah shalat yang dianjurkan untuk dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Shalat sunnat berfungsi sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam shalat fardlu. Bahkan, kelak diakhirat, shalat sunnat dapat difungsikan sebagai pengganti shalat fardlu yang pernah ditinggalkan kala di dunia. Setiap 70 raka'at shalat sunnat bernilai satu raka'at shalat fardlu.
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, shalat sunnat terbagi menjadi dua ;
1. Shalat sunnat yang tidak dianjurkan dikerjakan dengan berjamaah
Shalat kategori ini berujumlah 12, yakni ;
1. Shalat rawatib 7. Shalat hajat
2. Shalat witir 8. Shalat tasbîh
3. Shalat dluha 9. Shalat wudlu
4. Shalat tahiyyatul masjid 10. Shalat awwabin
5. Shalat istikhârah 11. Shalat sunnat mtlak
6. Shalat tahajjud 12. Shalat taubat
Dari dua belas shalat diatas, yang akan kami kupas adalah shalat-shalat yang biasa dikerjakan dan masyhur dikalangan masyarakat, yakni poin 01 sampai 08.

2. Shalat sunnat yang dianjurkan dikerjakan berjamaah
Shalat kategori ini berujumlah 04, yakni ;
1. Shalat 'ied. ( hari raya ) 3. Shalat istisqo'
2. Shalat gerhana 4. Shalat Tarâwîh


Shalat Sunnat Yang Tidak Dianjurkan Dikerjakan Dengan Berjamaah

1. Shalat Rowatib
Shalat rowatib adalah shalat sunnat yang dikerjakan mengiringi shalat fardlu, baik sebelumnya (qobliyyah) atau sesuadahnya (ba’diyyah). Jumlahnya ada 22 raka'at, yang sepuluh raka'at muakkad (sangat dianjurkan) dan yang dua belas ghoiru muakkad (dianjurkan)

Sepuluh Raka'at Yang Muakkad Adalah :
1. Dua raka'at sebelum shalat fardlu Shubuh
2. Dua raka'at sebelum shalat fardlu Dzuhur atau shalat Jum’ah
3. Dua raka'at setelah shalat fardlu Dzuhur atau shalat Jum’ah
4. Dua raka'at setelah shalat fardlu Maghrib
5. Dua raka'at setelah shalat fardlu Isya’

Sedangkan Dua Belas Yang Ghoiru Muakkad Adalah :
1. Dua raka'at sebelum shalat fardlu Dzuhur atau shalat Jum’ah
2. Dua raka'at setelah shalat fardlu Dzuhur atau shalat Jum’ah (sebagai tambahan yang muakkad)
3. Empat raka'at sebelum shalat fardlu Ashar
4. Dua raka'at sebelum shoal fardlu Maghrib
5. Dua raka'at sebelum shalat fardlu Isya’


Berikut kami sebutkan niat-niat shalat sunnat Qobliyyah maupun Ba’diyyah :
Niat shalat Qobliyyah
أُصَلِّى سُنّةَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيّةً ِللهِ تَعَالىَ

Niat shalat Ba’diyyah
أُصَلِّى سُنّةَ الظُّهْرِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدِيَّةً ِللهِ تَعَالىَ
" Pada lafadz yang bergaris bawah, bisa diganti dengan shalat dan jumlah raka'at yang sesuai, seperti maghrib, isya’, subuh dan ashar".


2. Shalat Witir

Witir merupakan shalat sunnat muakkad yang paling utama dibanding dengan shalat sunnat yang lain. Waktu pelakasanaannya setelah mengerjakan shalat Isya’ sampai sebelum terbitnya fajar shâdiq walaupun shalat Isya’nya dikerjakan dengan jama’ taqdim.

Jumlah raka'at yang bisa dijalankan dalam shalat witir adalah raka'at dengan hitungan ganjil, sesuai dengan ma’na witir yang berarti ganjil. Minimal satu raka'at, sedangkan batas maksimalnya sebelas raka'at. Apabila musholli mengerjakan shalat witir tiga raka'at maka boleh baginya langsung mengerjakannya dengan satu kali salam, namun yang lebih utama dikerjakan dengan dua kali salam, karena terdapat tambahan fadhilah disebabkan lebih banyaknya gerakan yang di lakukan semisal melakukan salam dua kali. Disamping itu, apabila dikerjakan dalam satu salam, boleh baginya melakukan tahiyyat dua kali, yaitu pada raka'at kedua dan ketiga, namun yang lebih afdhol dengan satu tahiyyat agar tidak menyamai dengan shalat maghrib.

Shalat witir sunnat dijadikan sebagai shalat penutup pada malam hari atau dengan kata lain shalat terakhir yang dikerjakan pada malam itu, namun apabila setelah melakukannya ia kembali melakukan shalat tahajjud maka ia tidak boleh mengerjakan witir lagi.

Pada bulan Ramadlan, shalat witir yang dikerjakan pada tanggal 16 sampai 30 sunnat ditambahi dengan qunut sebagaimana yang telah diterangkan dalam bab shalat.

Apabila hendak mengerjakan shalat witir sebanyak 3 raka'at dengan dua kali salam , maka :
1. Kerjakanlah shalat dua raka'at dengan niat;
أُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ مِنَ الْوِتْرِ للهِ تَعَالىَ
Artinya : aku mengherjakan shalat dua raka'at witir semata-mata karena Alloh Ta'ala
2. Pada raka'at pertama, setelah membaca surat Fâtihah diteruskan dengan membaca surat al-'a'la (sabbihisma rabbika al-'a'la )
3. Pada raka'at kedua, setelah membaca surat fâtihah diteruskan dengan membaca surat al-kâfirûn( Qul ya ayyuhal-kâfirûn )
4. Kemudian setelah salam, berdirilah untuk mengerjakan raka'at terakhir dengan niat;
ُأصَلِّي سُنَّةَ الْوِتْرِ رِكْعَةً ِللهِ تَعَالىَ
Artinya : aku mengherjakan shalat sunnat witir satu raka'at semata-mata karena Alloh Ta'ala
5. Setelah membaca surat fâtihah, seterusnya membaca surat al-ikhlash dan mu'awwidzatain
6. Setelah salam raka'at ketiga, kemudian membaca wirid berikut ;
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ........ 3×، سُبُّوْحٌ قُدُّوْسٌ رَبُّنَا وَرَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ

Sedangkan do’a setelah selesai shalat witir adalah:
اللَّهُمَّ إِنِّا نَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَاقَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ وَبِكَ مِنْكَ لاَ نُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ . اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّّا وُضُوْءَنَا وَصَلاَتَنَا وَصِيَامَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَقِيَامَنَا وَقُعُوْدَنَا وَتَسْبِيْحَنَا وَتَحْمِيْدَنَا وَتَهْلِيْلَنَا وَتَكْبِيْرَنَا وَتَشَهُّدَنَا وَقِرَاءَتَنَا وَخُشُوْعَنَا وَتَضَّرُعَنَا وَلاَ تَضْرِبْ بِهَا وُجُوْهَنَا يَا إِلَهَ الْعَالَمِيْنَ وَيَا خَيْرَ النَّاصِرِيْنَ.

Apabila shalat witir dilaksanakan di bulan Ramadlan, maka ditambah do'a dibawah ini ;

اللَّهُمَّ بِمَا قَسَمْتَ لَنَا فيِ هَذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّرِيْفَةِ مِنْ كُلِّ رَأْفَةٍ وَرَحْمَةٍ أَعْتِقْ رِقَابَنَا وَرِقَابَ آبَائِنَا وَرِقَابَ أُمَّهَاتِنَا وَرِقَابَ أَجْدَادِنَا وَرِقَابَ جَدَّاتِنَا وَرِقَابَ مَنْ قَبْلَنَا وَمَنْ بَعْدَنَا مِنْ أُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .


3. Shalat Dluha

Shalat Dluha adalah shalat yang dikerjakan pada saat naiknya matahari setinggi tombak sampai waktu zawal (menjelang shalat dzuhur)
Jumlah raka'atnya minimal dua raka'at, boleh empat raka'at dan paling utama delapan raka'at. Pada raka'at pertama disunnatkan membaca surat Wassamsyi ( والشمس ) sedang pada raka'at kedua surat Wadl-Dluha ( والضحى ) untuk raka'at berikutnya, setiap raka'at pertama membaca surat al-kâfirûn (الكافرون) sedang pada raka'at kedua surat al-Ihlash (لإخلاص)
Adapun niatnya sebagai berikut :
اُصَلِّى سُنَّةَ الضُّحَى َركْعَتَيْنِ ِللهِ تَعَالىَ

Sedangkan Do’a setelah selesai shalat dluha adalah:
اللَّهُمَّ إنَّ الضُّحَاءَ ضُحَاؤُك وَالْبَهَاءَ بَهَاؤُك وَالْجَمَالَ جَمَالُك وَالْقُوَّةَ قُوَّتُك وَالْقُدْرَةَ قُدْرَتُك وَالْعِصْمَةَ عِصْمَتُك اللَّهُمَّ إنْ كَانَ رِزْقِي فِي السَّمَاءِ فَأَنْزِلْهُ وَإِنْ كَانَ فِي الْأَرْضِ فَأَخْرِجْهُ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا فَيَسِّرْهُ وَإِنْ كَانَ حَرَامًا فَطَهِّرْهُ وَإِنْ كَانَ بَعِيدًا فَقَرِّبْهُ بِحَقِّ ضُحَائِكَ وَبَهَائِك وَجَمَالِك وَقُوَّتِك وَقُدْرَتِك وَعِصْمَتِكَ . اللَّهُمَّ آتِنِي مَا آتَيْتَ عِبَادَك الصَّالِحِينَ


4. Shalat Tahiyyatul Masjid

Shalat Tahiyyatul Masjid adalah shalat sunnat yang dianjurkan bagi seseorang yang masuk masjid sebagai penghormatan atas masjid. Meskipun berulang-ulang dalam tenggang waktu yang pendek.

Shalat tahiyyatul masjid minimal dilaksanakan dengan dua raka'at, namun boleh ditambah lebih dari dua raka'at dengan satu salam tiap dua raka'at. Pada raka'at pertama disunnatkan membaca surat al-kâfirûn dan pada raka'at kedua membaca surat al-Ikhlash. Tata cara shalatnya sebagaimana shalat biasa.
Adapun niatnya sebagai berikut :
أُصَلِّي سُنَّةَ تَحِيّةِ المَسْجِدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ للهِ تَعَالىَ

Hal–hal yang perlu diperhatikan Dalam Tahiyyatul Masjid :
a) Tidak harus diniati shalat tahiyyatul masjid, karena yang penting adalah terealisasinya penghormatan masjid dengan shalat apapun, baik shalat sunnat maupun shalat wajib
b) Shalat tahiyyatul masjid bisa dihukumi makruh apabila dia masuk masjid dan melihat imam sedang melaksanakan shalat fardlu sedangkan dia belum melaksanakan shalat fardlu tersebut. Yang lebih utama adalah mengikuti jamaahnya imam
c) Shalat tahiyyatul masjid dinyatakan faut (tidak bisa dilaksanakan lagi) apabila :
• Orang tersebut sudah terlanjur duduk, kecuali kalau dia lupa dan waktunya belum lama
• Ketika khotib jum’ah telah naik mimbar, hal ini karena akan memberi kesan berpaling dari khotib, kecuali apabila dia baru masuk masjid, maka boleh melakukannya dengan dipercepat.
d) Ketika khotib jum’ah naik mimbar disaat orang tersebut sedang melaksanakan tahiyyatul masjid, maka wajib untuk mempercepat shalatnya, (tidak boleh berlama-lama dan melebihi dua raka'at)


5. Shalat istikhârah

Shalat istikhârah dianjurkan bagi seseorang yang akan melakukan sesuatu, baik yang berhubungan dengan hal dunia atau akhirat. sedangkan ia pada waktu itu tidak mengetahui manakah yang lebih baik, apakah dikerjakan atau ditinggalkan. Anjuran untuk melakukan shalat istikhârah merupakan sunnat Nabi, sebagaimana di terangkan dalam hadits yang di ceritakan oleh qutaibah dalam kitab shohih Al Bukhâri. Dalam hadits tersebut diceritakan bahwa nabi mengajarkan shalat istiharah pada para sahabat dalam setiap perkara .


Tehnis Pelaksanan Shalat Istikhârah
Tata cara melaksanakan shalat istikhârah adalah sebagai berikut :
1. Melakukan Shalat dua raka'at sebagaimana shalat-shalat biasa, dengan niat :
أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْاِسْتِخَارَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالَى
2. Membaca surat Al fâtihah kemudian membaca surat Al-kâfirûn pada raka'at yang pertama, namun sebelum membaca surat Al-kâfirûn hendaknya membaca ayat :
وَرَبُّكَ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ (68) وَرَبُّكَ يَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ [القصص: 68، 69]

3. Membaca surat Al fâtihah yang dilanjutkan dengan membaca surat Al ihlash pada raka'at yang ke dua. Namun, sebelum membaca surat Al ikhlash hendaknya terlebih dahulu membaca ayat :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب/36]

4. Setelah salam membaca do’a istikhârah yang sangat mashur, yaitu :
اَللّهُمَّ اِنِّى اَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ وَاَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ وَأَسْئَلكُ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ, فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلَا أَقْدِرُ وَتَعْلَمُ وَلَا أَعْلَمُ وَاَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوْبَ اَللّهُمَّ اِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ اَنَّ هذَا الْاَمْرَ خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ وَاِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ اَنَّ هذَا الْاَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ اَمْرِيْ فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيِ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ اَرْضِنِي بِه

Setelah selesai shalat istikhârah, kemudian melaksanakan hal yang ia yakini baik, misalnya seseorang melakukan istikhârah untuk mengetahui apakah yang baik ia nikah pada tahun ini atau tahun depan, setelah dia melakukan istikhârah, ternyata hatinya lebih memilih/terbuka untuk melaksanakan nikah pada tahun depan, maka hendaknya itulah yang ia kerjakan. Namun bila ternyata setelah melakukan shalat istikhârah pintu hatinya belum juga terbuka, mana yang lebih baik untuk dilaksanakan, maka ulangilah shalat istikhârah beserta doanya, walaupun hingga lebih dari tujuh kali. Apabila setelah itu masih belum mendapatkan petunjuk dari Allah maka sebaiknya bersabar sampai ada kejelasan mana yang lebih baik, namun apabila sudah tidak dapat bersabar lagi maka ia kerjakan saja hal yang mudah baginya, karena kemudahan itu juga merupakan tanda bahwa itulah yang terbaik.


6. Shalat Tahajjud

Shalat tahajjud adalah shalat sunnat pada malam hari yang dikerjakan setelah tidur. Jumlah raka'atnya minimal dua raka'at dan maksimal tidak terbatas.

Waktunya mulai setelah mengerjakan shalat isya’ sampai terbit fajar, namun dikerjakan tengah malam lebih utama, dan mengerjakan shalat tahajjud di rumah lebih utama daripada di masjid. Bagi orang yang akan mengerjakan shalat tahajjud disunnatkan tidur qailulah (tidur pada waktu siang hari sebelum zawal)
Adapun niat shalat tahajjud sebagai berikut :
أُصَلِّى سُنَّةَ التَّهَجُّدِ رَكْعَتَيْنِ ِللهِ تَعَالى

Setelah selesai melaksanakan shalat tahajjud, kemudian membaca do'a berikut ;
اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ لَكَ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُورُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَقُّ وَوَعْدُكَ الْحَقُّ وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ وَقَوْلُكَ حَقٌّ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ وَالنَّبِيُّونَ حَقٌّ وَمُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَقٌّ وَالسَّاعَةُ حَقٌّ اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ وَبِكَ خَاصَمْتُ وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَوْ لَا إِلَهَ غَيْرُكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ


7. Shalat hajat

Bagi seorang yang mempunyai keinginan, baik keinginan tersebut berhubungan dengan hal duniawi atau ukhrowi dianjurkan untuk melakukan shalat hajat, tendensi hukum dalam melaksanakan shalat hajat diantaranya adalah bersumber dari sebuah hadist yang mengisahkan tentang datangnya seorang laki-laki buta pada Nabi Muhammad SAW, dan mengeluhkan kebutaan yang ia alami , setelah Nabi bertanya apakah ia (laki-laki buta ) mampu bersabar, oleh laki-laki tersebut dijawab bahwasannya ia merasa berat karena sudah tidak ada yang menuntunnya, maka oleh Nabi, laki-laki tersebut disuruh datang ke masjid, berwudlhu’ dan melaksanakan shalat, seperti yang diterangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh at thobroni .

Tekhnis Pelaksanaan Shalat Hajat
Jumlah raka'at shalat hajat yang masyhur adalah dua raka'at, sedangkan dalam kitab ihya’ ulumuddin shalat hajat bisa dilakukan sampai 12 raka'at, sebenarnya terdapat banyak versi mengenai model pelaksanan shalat hajat namun agar pembahasan lebih spesifik kami hanya akan menjabarkan tehnis shalat yang di praktekkan di PP. Al falah, di samping karena model shalat versi PP. Al falah merupakan tekhnis yang di ajarkan nabi Al khodhir kepada sebagian ahli ibadah ( imam Syafi’i ), secara sistematis tehnisnya adalah sebagai berikut :
1. Melaksanakan shalat dua raka'at sebagaimana shalat-shalat yang lain dengan niat semisal :
"أُصَلِّيْ سُنَّةَ الْحَا جَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالَى"
2. Di raka'at pertama, membaca surat Al-fâtihah yang dilanjutkan dengan membaca surat Al-kâfirûn sebanyak 10 kali.
3. Di raka'at kedua membaca surat Al-fâtihah dan di teruskan dengan membaca surat al ihlash sebanyak 10 kali pada .
4. Setelah salam melakukan sujud dengan maksud tadzallul (merendahkan diri pada Allah), dan pada saat bersujud membaca :
1. سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ للهِ وَلآ إلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
وَلاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ الْعَلِىِّ الْعَظِيْمِ ...................................................10×
2. الَّلهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ ............................ 10×
3. رَبَّنَا آَتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ................ 10×
5. Setelah selesai, duduklah dan bertawassul dengan menghadiahkan bacaan surat al-fâtihah kepada ;

4. إِلىَ حَضْرَةِ النَّبِىِّ اْلمُصْطَفَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وآلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَذُرِّيَّتِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ وَمَنْ إِنْتَسَبَ إِلَيْهِ ، الفاتحة .............................................7×
5. ثُمَّ إِلىَ حَضْرَةِ الشَّيْخِ عَبْدِ اْلقَادِرِ اْلجِيْلاَنِىْ الفاتحة............................................7×
6. ثُمَّ إِلىَ حَضْرَةِ اْلإِمَامِ الشَّافِعِىْ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ ، الفاتحة......................................7×
7. ثُمَّ إِلىَ حَضْرَةِ كِيَاهِىْ مَعْرُوفْ كَدُوعْ لُوْ كَدِيْرِىْ ، الفاتحة. ..........................7×
8. ثُمَّ إِلىَ حَضْرَةِ الشَّيْخِ أَحْمَدْ جَزُوْلِىْ عُثْمَانْ وَزَوْجَتِهِ وَأَوْلاَدِهِ ، الفاتحة. . .........7×
6. Setelah bertawassul, kemudian membaca surat al-ikhlash, mu'awwidzatain, dan ayat kursi masing-masing sebanyak tiga kali, kemudian dilanjutkan dengan membaca shalawat nariyyah berikut ;
أَللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَماً تَامًا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِىْ تَنْحَلُ بِهِ اْلعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ اْلكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ اْلحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ اْلخَوَاتِمُ وَيُسْتَسْقَى اْلغَمَامُ بِوَجْهِهِ اْلكَرِيْمِ وَعَلَى أَلِهِ وَصَحْبِهِ فِىْ كُلِّ لمَحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمِ لَكَ


8. Shalat tasbîh

Penamaan shalat tasbîh di karenakan sangat banyaknya bacaaan tasbîh di dalamnya. Shalat tasbîh merupakan salah satu ritual shalat yang dilakukan oleh nabi Muhammad sebagaimana yang di ajarkan pada paman beliau yakni sahabat 'Abbas bin abdul Mutthalib ra., shalat tasbîh di anjurkan untuk dilaksanakan pada setiap malam dan apabila tidak mampu maka hendaknya dilakukan seminggu sekali, dapat juga di lakukan sebulan atau setahun sekali, dan apabila masih belum bisa juga maka setidak-tidaknya sekali seumur hidup.

Tendensi hukum disunnatkannya melakukan shalat tasbîh diantaranya adalah hadist yang terdapat pada kitab sunan Abi Dawud yang diceritakan oleh Abbdurrahman Ibnu Basar Ibnu Hakam, dalam hadist tersebut Nabi berkata pada pamannya yaitu Al abbas, bahwa beliau akan memberikan sesuatu kepadanya, yang mana apabila sesuatu tersebut ia (Al abbas) kerjakan maka Allah akan mengampuni dosa-dosa yang telah ia lakukan baik disengaja atau tidak, dilakukan secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, dosa yang telah lewat atau yang baru dikerjakan. sesuatu tersebut adalah shalat empat raka'at yang didalamnya terdapat bacaan tasbîh , yang akhirnya lebih dikenal dengan shalat tasbîh .

Tehnis Pelaksanaan Shalat Tasbîh
Shalat tasbîh dikerjakan sebanyak empat raka'at, boleh dikerjakan dengan satu salam atau dua salam (tiap 2 raka'at 1 salam) namun yang utama apabila dikerjakan pada siang hari hendaknya dilakukan empat raka'at dengan satu kali salaman, sedangkan apabila di kerjakan saat malam hari maka empat raka'at tadi di jadikan dua salaman. Kalau di jumlah total bacaan tasbîh yang dibaca dalam empat raka'at shalat tasbîh sebanyak 300. dengan perincian sebagai berikut.

a) Setelah membaca Al Fâtihah dan surat, ……….…..15 kali.
b) Pada saat rukû' setelah membaca do’a rukû'………10 kali.
c) Pada saat I'tidâl setelah membaca do’a I'tidâl, ……10 kali.
d) Sujud pertama setelah membaca do’a sujud …...…10 kali.
e) Setelah membaca do’a duduk diantara dua sujud...10 kali.
f) Sujud kedua setelah membaca do’a sujud…………10 kali.
g) Bangun dari sujud yang kedua, setelah melaksanakan duduk istirohah…………………………………….10 kali.
h) Jumlah dan tempat bacaan tasbîh pada raka'at ke 2, 3, 4 sama persis dengan raka'at pertama, hanya saja pada raka'at ke 2, dan ke 4, bacaan tasbîh setelah bangun dari sujud yang kedua dibaca pada saat duduk tasyahud dan tempat membacanya boleh diletakkan setelah do’a tasyahud atau sebelumnya.

Berikut ini adalah bacaan tasbîh yang di baca pada shalat tasbîh :
سُبْحَانَ اللهِ وَالحَمْدُ لِلّهِ وَلَاأِلهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ الْعََلِيِّ الْعَظِيْمِ

Apabila lupa tidak membaca tasbîh pada salah satu rukun, maka bacaan tasbîh yang ditinggalkan tersebut dibaca pada rukun thawîl ( waktu rukû', sujud atau berdiri ) setelahnya, dan titak boleh dibaca pada rukun qashîr. .


Shalat Sunnat Yang Dianjurkan untuk Dikerjakan Dengan Berjamaah

1. Shalat 'ied (Hari Raya)

Shalat 'ied atau hari raya ada dua macam, shalat Hari raya Fitri pada tanggal 1 Syawwal dan shalat Hari raya Adha pada tanggal 10 Dzilhijjah

Shalat hari raya hukumnya sunnat muakkadah (sangat dianjurkan) dan yang afdhol dikerjakan dengan berjamaah. sedangkan waktunya mulai terbitnya matahari sampai zawal (condongnya matahari ke arah barat). Jumlah raka'atnya ada dua dan lebih afdhol dikerjakan setelah matahari kira-kira setinggi tombak.

Dalam shalat ‘'ied, tidak disunnatkan adzan dan iqamah, akan tetapi yang sunnat dengan lafadz "الصَّلاَةَ جَا مِعَةً" :

Tekhnis dan tata cara shalat hari raya :
1. Niat shalat 'îdul fithri, yaitu :
أُصَلِّى سُنَّةً لِعِيْدِ الْفِطْرِ إِمَامًا / مَأْمُوْماً ِللهِ تَعَالىَ
2. Niat shalat 'îdul adlha, yaitu :
أُصَلِّى سُنَّةً لِعِيْدِ الأَضْحَى إِمَامًا / مَأْمُوْماً ِللهِ تَعَالىَ
3. Pada waktu raka'at pertama setelah membaca iftitâh dan sebelum ta’awwudz, disunnatkan takbir sebanyak tujuh kali selain takbîratul ihrâm. Sedangkan pada waktu raka'at kedua sebelum membaca ta’awwudz dan fâtihah disunnatkan takbir sebanyak lima kali selain takbir karena berdiri.
4. Mengangkat kedua tangan lurus dengan bahu pada tiap-tiap takbir (sebagaimana keterangan gerakan takbîratul ihrâm di bab shalat) .
5. Bagi imam dan ma’mum disunnatkan mengeraskan bacaan takbir
6. Pada raka'at pertama setelah membaca surat fâtihah, membaca surat al-A’la dan pada raka'at kedua setelah fâtihah membaca surat al-Ghosiyah
7. Bagi imam disunnatkan mengeraskan bacaannya
8. Sesudah shalat, disunnatkan khutbah dua kali, sebagaimana dua khutbah Jum’ah baik rukun ataupun sunnat-sunnatnya, namun saat permulaan khutbah yang pertama di sunnatkan membaca takbir sembilan kali secara kontinyu (tanpa di pisah bacaan lain) dan saat permulaan khutbah yang kedua di sunnatkan membaca takbir tujuh kali juga secara kontinyu.
9. Dalam khutbah hari raya Fithri, hendaknya khatîb menyampaikan hal – hal yang berkaitan dengan zakat fithrah sedang dalam khutbah hari raya Adlha menyampaikan tentang qurban. Berikut ini contoh khutbah ''ied al-fithri dan 'ied al-adlha ;

الخطبة الأولى لعيد الفطر
الله أكبر×9 الله أكبَرُكُلَّمَا هَلَّ هِلاَلٌ وَأَبْدَرَ. الله أكبَرُكُلَّمَاصَامَ صَائِمٌ وَأَفْطَرَ. الله أكبركُلَّمَا تَرَاكَمَ سَحَابٌ وَأَمْطَرَ. كُلَّّمَا نَبَتَ نَبَاتٌ وَأَزْهَرَ،وَكُلَّمَا أَوْرَقَ عُوْدٌ وَأَثْمَرَ،وَكُلَّّّمّا أُطْعِمَ اْلَقانِعُ وَالْمُعْتَرُّ، الله أكبرُ ، الله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد،الحمد لله الَّذِى سَهَّلَ لِلْعِبَادِ طَرِيْقَ الْعِبَادَةِ وَيَسَّرَ.وَوَفَّاهُمْ أُجُوْرَ أَعْمَالِهِمْ مِنْ خَزَائِنِ جُوْدِهِ الّتِي لاَتُحْصَرُ،وَجَعَلَ لَهُمْ يَوْمَ عِيْدٍ يَعُوْدُ عَلَيْهِمْ فِي كُلِّ سَنَةٍ وَيَتَكَرَّرُ، وَزَكَّى أَبْدانَهُمْ مِنْ دَرَنِ السَّيِّئَاتِ وَطَهَّرَ، وتَابَعَ بَيْنَ اْلأَوْقَاتِ لِكَىْ تُشَيَّدَ بِأَنْوَاعِ الْعِبَادَةِ وَتُعَمَّرَ، فَمَا مَضَى شَهْرُ الصِّيَامِ إِلاَّ وَأَعْقَبَهُ بِأَشْهُرِ الْحَجِّ إِلَى بَيْتِهِ الْعَتِقِ اْلمُطَهَّرِ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ وَهُوَ الْمُسْتَحِقُّ لاَِنْ يُحْمَدَ ويُشْكَرَ، وَاَشْكُرُهُ عَلَى نِعَمٍ لاَتُعَدُّ وَلاَتُحْصَرُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ الْمُلْكُ الْعَظِيْمُ الأَكْبَرُ، الَّذِيْ جَعَلَ لِكُلِّ شَيْءٍ وَقْتًا وَأَجَلاً وَقَدَّرَ، وَأَشْهَدُ أَنََّ سَيَّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الشَّافِعُ الْمُشَفَّعُ فِي الْمَحْشَرِِ، نَبِيٌّ مَاطَلَعَتِ الشَّمْسُ عَلَى أَجْمَلَ مِنْهُ وَجْهًا وَلاَ أَنْوَرَ، نَبِيٌّ أُسْرِيَ بِهِ مِنَ الْبَيْتِ الْحَرَامِ إِلَى المَْسَجِْدِ الاَقْصَى وَعُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى كَانَ لَهُ فَوْقَ السَّمَوَاتِ مِصْعَدٌ وَمَظْهَرٌ،نَبِيٌّ غَفَرَ الله ُلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ومَاتَأَخَّرَ، وَأَعْطَاهُ سِيَادَةَ بَنِي أَدَمَ الأَسْوَدَ وَاْلأَحْمَرَ، نَبِيٌّ رَجَّفَتِْ هَيْبَتُهُ قُلُوْبَ الْجَبَابِرَةِ حَتَّى أُمِرَ أَمْرُهُ وَإِنَّهُ لَيَخَافُهُ مَلِكُ بَنِي اْلأَصْفَرِ، نَبِيٌّ غَفَرَالله ُمَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَاتَأَخَّرَ، مَعَ ذَلِكَ قَامَ عَلَى قَدَمِهِ الشَّرِيْفِ حَتَّى تَفَطَّرَ ، وَجَاهَدَ فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ فَمَا تَوَانَى وَلاَتَأَخَّرَ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ علىعَبْدِكَ وَخَلِيْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ الله ُعَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرَ، الله أكبر ، الله أكبرلاإله إلاالله والله أكبر . الله أكبر ولله الحمد
أما بعد : فرا حاضرين ! ماعكا سامى تقوى داتع الله لن ماعرتوصا بِيليه دينتن منيكا ديفون واستانى دينتنى فينتن2ففاريع. ساهيعكا إع دينتن منيكا سابن تياع بادى واعسول ساكيع مصلّى عيد كانطى فيكانتوك منافا إعكع سامفون ديفون دوماكن، تياع إعكع أدامل ساهى بادى ماعكيه كالوهوران لن كاموليان إعدلم جاتتان2 عمل ايفون، لن تياع2 إعكع أدامل دوصا بادي ماعكيه اكى كاتونان لن كاكتونان. كارواية اكن ساكيع ابن عبّاس حديث إعكع مرفوع كنجع نبي داووه ناليكا دينا ريايا فطرة فرا ملائكة فدا مودون ماريع بومى إعدالم سابن نكارا عادك أنا إع فرافاتان2 دالان، اونداع2 كلاوان سوارا كع بيصا كاروعو سكابيهانى مخلوق كجابا جن لن مانوعصا : هى أمة محمد… سيرا فدا متوها ماريع فعبران كع لوما كع موليا كع باكال ماريعى ففاريع أكوع لن بكال عافورا دوصا كدى. تروس ناليكا ووع2 فدا كاتون انا مصلّى. الله داووه ماراع فرا ملائكة : هى فرا ملائكة كو…. . أفا والسى وعكع كرجا كع ووس عرامفوعاكى كرجاأنى ؟ بانجور ملائكة ماتور : فعيران لن كوستى كولا كداه ايفون فانجنعان نفاتى والس لن كانجارانى تياع2 كالاواهو. بانجور الله داووه : سكسينانا سأتنانى إعسون تمن2 ندادي أكى كانجارانى ووع2 كع عرامفوعاكى عمل فواصا لن صلاتى روفا رضا لن فعافوراكو لن الله داووه سيرا كابيه فادا يووونا ماريع إعسون دمى كالوهوران لن كأكوعان سيرا كابيه اورا يوون إع اعسون إعدالم دينا ايكى أفا واهى إعدالم فاكومفولان مو ايكى كاعكو فركارا أخرةمو كجابا إعسون فاريع، لن كاعكو دنيامو كجابا إعسون فريسانى، سيرا كابيه فدا بوبارا كانطى فيكانتوك فعافورا . كرانا سيرا ووس عريضاأكى إعسون لن إعسون ووس رضا ساكع سيرا. مريق العجلى داووه : بانجور بالى ساكيع مصلّى فرا قوم كيا دينا كالاهيراكن دنيع فرا ايبو أتكس برسيه ساكيع دوصا.
كارواية اكن ساكيع عبد الله بن عمر جع مرضوأكى زكاة فطرة ستوعكال جنتاك ساكيع فاعانان أوتوى كورما أوتوى ويجى كاندوم أوتوى أعكور كاريع أوتوى سوسو كريع إعاتاسى تياع جالر إسترى مرديكا أوتوى كاوولا أليت أوتوى أكع إعكع إسلام. لن زكاة فطرة واجب إعاتاسى تيياع إعكع كاداه ستوعكال جنتاك إعكع علاعكوعى ساكيع تدانى لن تدانى تيياع إعكع دادوس تاعكوعان وونتن إع دينتن ريادين لن دالو نيفون. لن زكاة فطرة ساكت ديفون تعجيل سأديريع ايفون ريادين. دينى وقدال إعكع لاعكوع أوتامى كاعكى مبايار زكاة فطرة إعكيه منيكا دينتن ريادين سأديريع ايفون صلاة عيد. دينى وقدال سدينتن سأسامفون ايفون صلاة فونيكا وقدال إخراج. مناوى دينتن سأسامفون ايفون ريادين كفاترافان دوصا كرانتن تأخير تانفا عذر لن واجب قضاء.
الله أكبر الله أكبر لاإله إلاّالله الله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
فارا كاوولا الله ! ماعكا سامى نجاكى صلاة ، ماعكا سامى عوفينى صلاة ! كرانتن صلاة مروفاكن ساكا كورونى أكامى إسلام، فيكاه دوصا إعكع أكع لن فيتن2 دوصا. " إنّ الصَّلاَةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ".سينتن إعكع نججكاكى صلاة فاستى نججكاكى داتع أكامى نيفون. سينتن إعكع نياء2اكن صلاة فاستى داتع سانيس ايفون لاعكوع نياء2 اكن. لن ماعكا سامى مبايار زكاة إعكع ديفون فرضوأكى الله داتع كيطا وونتن إع هارتا ككايأن كيطا كانطى ليلانى ماناه. كرانتن الله سامفون ماريعى كيطا كاتاه لن سامفون ماريعى كفواسان، سأماعكين الله موندوت ساكيع كيطا ناموع سكديك سباكى أوتاع أوتوى سامبوتان إعكع بادى ديفون واعسولاكى كانطىتيكل ماتيكل. قال تعالى : "مَنْ ذَا الَّذِى يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعَفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَىاللهِ تُرْجَعُوْنَ". لن ماعكا سامى فواصا رمضان لن حج داتع بيت الله الحرام، كرانتن ككاليه منيكا ترماسوك أركان الاسلام. لن كيطا كداه عابكتى داتع تياع سفاه كاليه أوكى نفوعى داتع فرا ساناك أوتوى رحم. لن أدامل ساهى داتع فارا فقير لن لارى2 يتيم. أوكى صبر ناليكا دوموكينى فينتن2 جوبى وونتن إع وقدال راهينا أوتوى دالو. لن ماعكا سامى أمر معروف نهى عن المنكر.كرانتن ككاليه منيكا ترماسوك فينتن 2 كواجيبان دى دالام إسلام لن أكامى بوتن بادى تكاك لن ججك تانفا أمر معروف نهى عن المنكر. قال تعالى : "وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ"، وَقَالَ تعالى: "كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ". لن ماعكا فرا راووه سامى عترفى تاكر لن تيمباعان. سباب عيراعى تاكران لن تيمباعان يبايى مشقتى كهيدوفان لن مليمفيعى فعوواصا. لن فوما2كيطا كداه نبيهى فعكاوى شرك. سباب شرك مروفاكان دوصا إعكع فاليع أكع. لن سواركا كاعكى تياع إعكع شرك منيكا حرام. قال تعالى : " إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ حَرّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةُ وَمَأْوَهُ النَّارُ، لن كيطا كداه نبيهى فعكاوى ممبونوه أواك2 إعكع ديفون مولياأكن دينيع الله يعنى تياع إسلام. سباب ممبونوه ترماسوك دوصا2 إعكع أكوع. "وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنّمُ خَالِدًا فِيْهًا وَغَضِبَ اللهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيْمًا ". وَعنْهُ صلى الله عليه وسلم أنّه قال : " لَزَوَالُ الدُّنْيَا بِأَسْرِهَا أَهْوَنُ عَلىَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ، وَلَوْ أَجْمَعَ أَهْلُ السَّمَوَاتِ وَأَهْلُ اْلأَرَضِيْنَ عَلَى قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ َلأَ كَّبَهُمُ اللهُ فِى النَّارِ أَجْمَعِيْنَ ". إعكع مقصودى : دمى الله إيلاعى دنيا كابيه إيكو لويه إنطيع موعكوهى الله تينيمباع ماتينى ماراع ووع مسلم، سأومفاما أهلينى لاعيت لن أهلينى فيرا2 بومى عرويوك ماتينى لاناع مسلم فاستى كابيه واهو بكال دى جوعكروأكى كوستى الله أنا إع نراكا.
فراحاضرين أوكى كيطا كداه نيعكال اكن ربا. سباب باتينى رباإيكوكروكييان عاقباتى لبور لن نراكا. " يَمْحَقُ الله ُالرِّبَا وَيُرْبِى الصَّدَقَاتِ وَاللهُ لاَيُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيْمٍ ". لن أوكى كيطا كداه نيعكالاكن نداليه تياع إسترى إعكع كاركصا ساكيع دوصا إعكع سوفى ساكيع معصية إعكع سامى إيمان داتع الله كرانتن منيكا ديفون حراماكن وونتن إع محكم الأيات، سباب ترماسوك سبع الموبقات..قال تعالى : " إنّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنَاتِ الغَافِلاَتِ المؤُمْنِاَتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَاْلأَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ ". لن أوكى سامفون عانتوس كيطا ملاكوكان فربواتان زنا. سباب مروفاكان دوصا2 كع منكر" وَلاَتَقْرَبُوْا الزِّنَا اِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةٌ وَسَاءَ سَبِيْلاً".
جع داووه : " مَا مِنْ ذَنْبٍ أَعْظَمَ عِنْدَ اللهِ بَعْدَ الشِّرْكِ بِهِ مِنْ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ نُطْفَتَهُ فِى فَرْجٍ حَرَامٍ ". يعنى أورا أنا دوصا كع لويه كدى موعكوه الله سأووسى شرك كيا أولهى ييليه منى ووع لاناع أنا إع فرج كع حرام. لن كيطا واجب نيلاراكن فعكاوى عراسانى أوتوى عرومفى، أدو2 ،كوروه، لن فعوجاف دوراكا. سباب الله عاراماكن سدايا كلاواهو وونتن إع القرآن الكريم سمانتن أوكى ييدرانى جانجى، ماعان باندانى لارى2 يتيم إعكع أفس، عارو2 داتع باندا وقفى قوم مسلمين. سباب سالاه ستوعكال ايفون ككاليه منيكا مبوتن يامفورى باندانى تياع إعكع سوكيه كجاوى دادوساكن ملارات أوتوى فقير لن مبوتن ملبت إع كرييا إعكع رامى كجاوى دادوساكن ساعار لن ريساك. لن ماعكا كيطا نيلاراكن فعكاوى ايلى، كومدى، عليمبريهاكن دودوت كرانتن ديفون حراماكن كانطى نصى سنة والكتاب . " وَلاَتَمْشِ فِى اْلاَرْضِ مَرَحًا اِنَّكَ لَنْ تُحْرِقَ اْلاَرْضِ وَلَنْ تَبْلُغَ اْلجِبَالِ طُوْلاً " . وفى الحديث: " مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِى النَّارِ ". لن كيطا واجب نيلاراكن سدايا فركارا إعكع مندمى أوتوى نوتوف أوتوى عريساك عقل كيطا، سباب واجب إعاتاسى الله مناوى فجاه كرانتن مينوم مسكرات بادى كاإينومى ناناه ووكى أهل نراكا. لن ناليكا كيطا سوفاطا كلاوان يبوت أسمانى الله إع ساء لبتى فادودون كيطا كداه مولياأكن سوفاطا كيطا. سامفون عانتوس كيطا عرامفاس أوتوى عواسانى باندانى تياع إسلام كانطى سوفاطا إعكع كوروه.
جع داووه : " مَنْ اقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِيْنِهِ لَقِىَ الله وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ قِيْلَ يَارَسُوْلَ اللهُ وَإِنْ كَانَ شَيْئاً يَسِيْرًا ؟ قَالَ وَإِنْ كَانَ قَضِيْبًا مِنْ أرَاكٍ ". لن ناليكا كيطا أوتاع فييوتاع إعكع كاتاكيه ساهى أعكين ايفون ياهور لن ماعسولاكن، إعكع ناكيه ساهى أعكين ايفون يوون. وفى الحديث : " رَحِمَ اللهُ إمْرَأً سَمْحًا إِذَا بَاعَ سَمْحًا اِذَا اشْتَرَى سَمْحًا اِذَا قَضَى سَمْحًا اِذَا اْقتَضَى ".
الله أكبر الله أكبر لا إله إلاّ الله الله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
فرا سديريك ماعرتوصا بيليه موسوه فانجنعان إبليس، كرانتن إع سألبتى رمضان سلالوكاكال أعن2ايفون لن ديفون تاوان. ميلاسلالوكفيعين بالاس دندام داتع فانجنعان كانطى دادوس اكن عمل2 فانجنعان سألبت ايفون وولان رمضان كادوس دينتن بلدوك إعكع كاسبار يعنى تلاس إيجال. ميلا ماعكا فانجنعان لاوان إبليس كانطى لومانى كوستى سهيعكا إبليس تتف روكى لن أنجور. إبليس كداه ماعرتوس بيليه كانوكراهان الله سلالو كاكلارسفانجاع زمان، لن بالانى الله كادوس فوندى كماوون سلالو فيكانتوك فيتولوع.
فرا سيداع صلاة العيد ! فاتوت كولا لن فانجنعان إع فاكمفالان منيكا عاعن2 منافا إعكع بادي كيطا أدفى أروفى فينتن2 فكووه لن كجوتان إعكع استو2 عاكيتاكن كيطا. لن ماعكا رومكصا لن نبيهى فينتن2 فركاويس إعكع مليهاكن كيطا وونتن إع دينتن حساب، أوكى سدايا باراع2 جمبر إعكع ديفون حرام اكن نص سنة لن كتاب. ماعكا سامىتفكّرعيموت 2 تياع2 إعكع كلا ويعى تكسيه سارع2 سمباهياع وونتن إع منيكا مسجد وونتن موعصا إعكع سامفون، كادوس فرا بافاك لن فوترا فرا ككاسيه فراسديريك. كادوس فوندى تياع 2 كلاواهوكافكوت لن كافيساه دنيع سيدا أوتوى فجاه سهيعكاسامى ممفرتاعكوع جاواباكن سدايا عمل وونتن إع لوواع 2 قبور إعكع كلاف مبوتن ساكت عيراعى كأوونان مبوتن ساكت نامباهى كاساهييان. ميلا إعكع أتوس2 سامفون تامتو كيطا سدايا بادى واعسول داتع فاعكينان واعسولى تياع2 كلاواهو. لن بادى ماعكيهاكن منافا إعكع سامفون كيطا لامفاهى، لن فاستى كتونى منافا عمل ساهى إعكع مبوتن كيطا لامفاهى فإنّالله وإنّا اليه راجعون.
أَعَادَ الله ُعَلَيْكُمْ مِنْ بَرَكَاتِ هَذَا الْعِيْدِ وَأَمَنَّنِى وَاِيَّاكُمْ مِنْ سَطْوَةِ يَوْمَ الْوَعِيْدِ وَاللهُ تعَالى يَقُوْلُ وَفِى قَوْلِهِ يَهْتَدِى اْلمُهْتَدُوْنَ وَاِذَا قُرِئَ اْلقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوْا لَهُ وَاَنْصِتُوْا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ.
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم. ياأيُّهَا النَّاسُ إنَّ وَعْدَ اللهُ حَقٌّ فَلاَتَغُرَّنَّكُمْ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الغُرُوْرَ إِنَّ الشَّيْطانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوْا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ، وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالحِاَتِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌكَبِيْرٌ.
الله أكبر الله أكبر لاإله إلاّالله الله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
الخطبة الثانية لعيد الفطر
الله أكبر ×7. الله أكبركُلَّمَا هَطَلَ الْغَمَامُ ونَاحَ الْحَمَامُ، وَارْتَفَعَتْ الأَعْلاَمُ وَأَفْطَرَ الصُّوَّامُ، الله أكبر كُلَّمَا ارْتَقَى فَوْقَ مِنْبَرِ إِمَامٌ، وَكُلَّمَا خُتِمَ بِاْلأَمْسِ شَهْرُ الصِّيَامُ، الله أكبرلاإله إلاالله والله أكبر . الله أكبرولله الحمد.الحَمْدُ لِلَّهِ مُعِيْدِ اْلجَمْعِ وَاْلأَعْيَادِ، وَمُبِيْدِ الْجُمُوْعِ وَاْلأَجْنَادِ، رَافِعِ السَّبْعِ الشِّدَادِ عَالِيَةً بِغَيْرِ عِمَادٍ، وَمَادِّ اْلأَرْضِ وَمُرْسِيْهَا بِاْلأَطْوَادِ، وجَامِعِ النَّاسِ لِيَوْمٍ لاَرَيْبَ فِيْهِ، إنَّ الله لاَ يُخْلِفُ اْلمِيْعَادَ، أَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمٍ لاَيُحْصَى لَهَا تَعْدَادٌ، وَأَشْكُرُهُ وَكُلَّمَا شَكَرَ زَادٌ، وَأَسْأَلُهُ أَنْ يَصْرِفَ عَنَّا الْمُعْضِلاَتِ الشِّدَادِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَلاَ أَنْدَادَ، شَهَادَةً صَادِرَةً مِنْ صَمِيْمِ اْلفُؤَادِ، أَرْجُوْ بِهَا النَّجَاةَ فِي يَوْمِ التَّنَادِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِي شَرَعَ الشَّرَائَعَ وَسَنَّ اْلأَعْيَادَ، وَقَرَّرَ قَوَاعِدَ الِملَّةِ وَرَفَعَ العِمَادَ، اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعلى آلهِ وَأصحَابِهِ الْبَرَرَةِ اْلأَمْجَادِ، الذَّائِدِيْنَ عَنْ شِرْعَتِهِ بِاْلمُرْهِفَاتِ اْلحِدَادِ ، الله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر . الله أكبر ولله الحمد أما بَعْدُ فَيَأيُّها النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعالى وَاعْلَمُوْا أَنَّهُ لَيْسَ السَّعِيْدُ مَنْ أَدْرَكَ الْعِيْدَ، وَلاَ مَن لَبِسَ الْجَدِيْدَ، وَلا مَنْ قَادَ الْخَيْلَ الْمُسَوَّمَةَ وَخَدَمَتْهُ الْعَبِيْدُ، وَلا َمَنْ أَتَتْهُ الدُّنْيَا على مَا يُرِيْدُ، وَلَكِنْ وَاللهِ السَّعِيْدُ مَنْ خَافَ يَوْمَ الْوَعِيْدِ، ورَاقَبَ اللهَ فِيْمَا يُبْدِى وَيُعِيْدُ، وَنُجِّيَ مِنْ نَارٍحَرُّهَا شَدِيْدٌ وَقَعْرُهَا بَعِيْدٌ، وَطَعَامُ أَهْلِهَا الزَّقُّوْمُ وَشَرَابُهُمْ الْمُهْلُ وَالصَّدِيْدُ، وَلِبَاسُهُمُ الْقَطْرَانُ وَالْحَدِيْدُ، وَعَذَابُهُمْ أَبَدًا في مَزِيْدٍ، وَفَاَز بِجَنَّةٍ لاَيَفْنَى نَعِيْمُهَا وَلاَيَبِيْدُ فَاتَّقُوْا اللهَ بِامْتِثَالِ أَمْرِهِ اْلأَكِيْدِ، وَوَحِّدُوْا رَبَّكُمْ وَصَلُّوْا خَمْسَكُمْ وَاَدُّوْا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَصُوْمُوْا شَهْرَكُمْ وَحُجُّوْا بَيْتَ رَبِّكُمْ وَأَطِيْعُوْا ذَا أَمْرِكُمْ. هَذَا شَأْنُ اْلعَبِيْدِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ الَّذِيْ عَلِمَ مِنَ الْغَيْبِ مَكْنُوْنَهُ، وَأَنْجَزَ مِنَ الْوَعِيْدِ مَضْمُوْنَهُ، وَخَتَّمَ بِالْفَنَاءِ عَلَى مَنْ دُوْنَهُ، وَاخْتَارَمُحَمَّدًا أَمِيْنَهُ، وَجَعَلَ الْحَنِيْفِيَّةَ شِرْعَتَهُ وَدِيْنَهُ ، أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى فِيْهِ بِمَلاَئِكتَِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ وَثَلَّثَ بِكُمْ أيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ عَلِيْمًا إنَّ اللهَ وَملائكتَهُ يُصلُّوْنَ على النَّبي يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَليَهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا وَقَدْ قَالَ صلى الله عليه وسلم: مَنْ صلَّى عليَّ صَلاةً واحِدةً صلَّى الله عليه بها عَشْرًا.اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ النَّبِيِّ الهَاشِميِّ الأَوْفىَ، وَارْضَ اللّهُمَّ عَنْ اَصْحَابِهِ السَّادَةِ الْحُنَفَاءِ، وَخُصَّ مِنْهُمُ الأَرْبَعَةَ الخُلَفَاءَ، ذَوِي الْفَضْلِ الجَلِيِّ وَالْقَدْرِ العَلِيِّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيًا وَعَنْ السِّتَةِ البَاقِيْنَ مِنَ الْعَشْرَةِ، وَعَنْ جَمِيْعِ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا نَبِيَّكَ تَحْتَ الْشَّجَرَةِ، اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنْ الحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَعَنْ أُمِّهِمَا البَتُوْلِ فَاطِمَةَ بِنْتِ الرَّسُوْلِ، اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنْ الطَّاهِرَاتِ المُطَهَّرَاتِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ زَوْجَاتِ نَبِيِّنَا الصَّادِقِ الأَمِيْنِ، اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنْ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنْ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَاقْتَفَى وَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَرَحْمَتِكَ يَاأَكْرَمَ مَنْ تَجَاوَزَ وَعَفَا، اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنِ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا رَخَاءً سَخَاءً وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ، اللَّهُمَّ آمِنَّا فيِ دُوْرِنَا وَأَصْلِحْ وُلاَّةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اللَّهُمَّ أَقِمْ عَلَمَ الجِهَادِ وَاقْمَعْ أَهْلَ الشِّرْكِ وَالْفَسَادِ وَالْعِنَادِ، وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ عَلَى اْلعِبَادِ، يَامَنْ لَهُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ وَإِلَيْهِ الْمَعَادُ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ،وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ،الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ،اللهُمَّ نَوِّرْ عَلى أَهْلِ الْقُبُوْرِ قُبُوْرَهُمْ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِلأَحْيَاءِ وَيَسِّرْ لَهُمْ أُمُورَهُمْ ، اللَّهُمَّ تُبْ عَلَى التَّائِبِيْنَ ، وَاغْفِرْ ذُنُوبَ المُذْنِبِيْنَ، وَاقْضِ الدَّيْنَ عَنِ المَدِيْنِينَ، وَاشْفِ مَرْضَى المُسْلِمِيْنَ، وَاكْتُبِ الصِّحَّةَ وَالعَافِيَةَ وَالسَّلاَمَةَ وَالتَّوْفِيْقَ وَالْهِدَايَةَ لَنَا وَلِكَآفَّةِ المُسْلِمِيْنَ، فيِ بَرِّكَ وَبَحْرِكَ أَجْمَعِينَ، اللَّهُمَّ ارْفَعْ عَنَّا الغَلاَ وَالوَبَا وَالرِّبىَ وَالزِّنىَ وَالزَّلاَزِلَ وَالمِحَنَ وَسُوءَ الفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلاَدِ المُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَارَبَّ العَالَمِيْنَ، رَبَّنَا آتِنَا فيِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفيِ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ : إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونْ، وَأَوْفُوْا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلاً، إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ، وَاذْكُرُوا اللهَ العَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ.

الخطبة الأولى لعيد الأضحى

الله أكبر×9 الله أكبرُ كُلَّمَا أَحْرَمُوْا مِنَ الْمِيْقَاتِ، وَكُلَّمَا لَبَّ الْمُلَبُّوْنَ وَزِيْدَ فِي الحَسَنَاتِ، وَكُلَّمَا دَخَلُوْا فُجَاجَ مَكَّةَ وَتِلْكَ الرَّحَبَاتِ، وَكُلَّمَا طَافُوْا بِالْبَيْتِ الْعَتِْيْقِ وَضَجَّتِ الأَصْوَاتُ بِالدَّعَوَاتِ، وكُلَّمَا سَعَوْا بَيْنَ الْمَرْوَةِ وَالصَّفَا وَتِلْكَ المَشَاعِرِ الْمُفَضَّلاَتِ، وَكُلَّمَا وَقَفُوْا خَاضِعِيْنَ بِعَرَفَاتَ، وَكُلَّمَا أُرِيْقَ هُنَاكَ مِنَ الْعَبَرَاتِ، وَكُلَّمَا نَظَرَ إِلَيْهِمُ الجَبَّارُ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتِ، وَكُلَّمَا خَلَعَ عَلَى المَقْبُوْلِيْنَ مِنْهُمْ خِلْعَ الْكَرَمَاتِ، وَكُلَّمَا بَاتُوْا بِمُزْدَلِفََةَ وَأَفَاضُوْا إِلَى مِنَى وَرَمَوْا تِلْكَ الجَمَرَاتِ، الله أكبر ، الله أكبرلاإله إلا الله والله أكبر ، الله أكبر ولله الحمد، الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ خَلَقَ آدَمَ بِيَدِهِ مِنْ صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ، وَأَحْظَاهُ بِجِوَارِهِ وَأَسْجَدَ لَهُ مَلاَئِكَتَهُ الْمُقَرَّبِيْنَ الأَطْهَارَ، فَسَجَدُوْا إلاَّ إِبْلِيْسَ أَبَى فَبَاءَ بِاللَّعْنَةِ والصَّغَارِ، وَإِمَامَةِ الْخَنَا وَالضِّعَةِ وَالْبَوَارِ، مَسَحَ ظَهْرَ آدَمَ فَاسْتَخْرَجَ ذُرِّيَّتَهُ كَالذَّرِّ فَنَفَّدَ فِيْهِمُ الأَقْدَارَ، قَبَضَ قَبْضَةً فَقَالَ هَؤُلاءِ عَلَى الجَنَّةِ وَلاَ أُبَالِي، وَقَبَضَ أُخْرَى فَقَالَ هَؤُلاءِ إِلَى النَّارِ وَلاَ أُبَالِي، لاَ يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ بَلْ يَخْلُقُ مَايَشَاءُ وَيَخْتَارُ، لاَتَنْفَعُهُ طَاعَةُ المُطِيْعِيْنَ وَلاَ تَضُرُّهُ مَعَاصِي الْعَاصِيْنَ بَلْ هُوَ النَّافِعُ الضَّارُّ، أَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ عَلَى نِعَمِهِ الْغِزَارِ، وَأَشْكُرُهُ عَلَى مُتَرَادِفِ فَضْلِهِ المِْدْرَارِ، وأَشْهَدُ أَنْ لا إِلَهَ إلا اللهَ وَحْدَهُ لاشَرِيْكَ لَهُ تَوْحِيْدًا مُتْقَنًا أَقْتَنِيْهِ لِيَوْمِ الفَاقَةِ وَإِنَّهُ لَنِعْمَ الْمُقْتَنَى، مُتَظَاهِرًا عَلَيْهِ الْجَنَانُ وَاللِّسَانُ سِرًّا وَعَلَنًا، مَشْهُوْدًا بِهِ لِرَبِّنَا كَمَا شَهِدَ لِنَفْسِهِ مُعْلِمًا مُبِيْنًا فَقَالَ إِنَّنِي أَنَا اللهُ لاإلهَ إلاَّ أَنَا، وَاَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ أَفْضَلُ مَنْ صَلَّى وَنَحَرَ، وَحَجَّ وَاعْتَمَرَ، وَوَقَفَ بِعَرَفَةَ وَالمَشْعَرِ، نَبِيٌّ مَاطَلَعَتِ الشَّمْسُ عَلَى أَجْمَلَ مِنْهُ وَجْهًا وَلاَ أَنْوَرَ، نَبِيٌّ أُسْرِيَ بِهِ مِنَ الْبَيْتِ الْحَرَامِ إِلَى المَْسَجِْدِ اْلاَقْصَى وَعُرِجَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى كَانَ لَهُ فَوْقَ السَّمَوَاتِ مِصْعَدٌ وَمَظْهَرٌ،نَبِيٌّ غَفَرَ الله ُلَهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ومَاتَأَخَّرَ، وَأَعْطَاهُ سِيَادَةَ بَنِي أَدَمَ الأَسْوَدَ وَاْلأَحْمَرَ، نَبِيٌّ رَجَّفَتِْ هَيْبَتُهُ قُلُوْبَ الْجَبَابِرَةِ حَتَّى أَمِرَ أَمْرُهُ وَإِنَّهُ لَيَخَافُهُ مَلِكُ بَنِي اْلأَصْفَرِ، نَبِيٌّ غَفَرَالله لهُ مَاتَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَاتَأَخَّرَ، مَعَ ذَلِكَ قَامَ عَلَى قَدَمِهِ الشَّرِيْفِ حَتَّى تَفَطَّرَ ، وَجَاهَدَ فِي اللهِ حَقَّ جِهَادِهِ فَمَا تَوَانَى وَلاَتَأَخَّرَ، اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ على عَبْدِكَ وَخَلِيْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ أَذْهَبَ الله ُعَنْهُمُ الرِّجْسَ وَطَهَّرَ. الله أكبر . الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر . الله أكبرولله الحمد أما بعد :
فرا حاضرين … ماعكا سامى تقوى داتع الله تعالى. لن ماعرتوصا مناوى دينتن منيكا دينتن اعكع اوتامى لن دينتن ريادين اعكع موليا صاها أكوع، الله عاعكات فاعكات ايفون لن ديفون كتاويساكن. ديفون واستانى دينتن حجّ أكبر . اع دينتن منيكا فرا جماعه حجّ عمفال وونتن اع منى فرلو يامفورنااكن مناسك حجّ اوتوى عملان2 حجّ . لن سامى تقرّب اوتوى مارك دوماتع الله كلاوان يمبليه قربان. ماهوس فينتن2 دعاء لن تلبيه، عككساع سنة ايفون اياع إبراهيم كانطى يمبليه فينتن2 قربان. سباب الله داووه داتع نبى إبراهيم سوفادوس مراكات اعكاع فوترا كيناسيه لن جوزى فعكاليه يعنى نبى إسماعيل عليه السلام. نبى ابراهيم نديرىاكن داووه ايفون الله كانطى فاتوه لن اعكال2 اعكاع فوترا ديفون أسطا مدال. لاجع ديفون داووهى : عكير… سأتمنى اعسون ايكو يوفنا سأجرونى سارى مناوى اعسون ايكو يمبليه سيرا، جوبا سيرا فيكير كفريي فنمو ايرا ؟ نبى إسماعيل ماتور : راما … سوماعكا فانجنعان لاكسانااكن فونافا اعكاع ديفون داووهاكن الله بوتن ماوى ماندك2 لن عكاليه 2. لاجع راما لن فوترا فاسراه داتع كفوتوسان اعكاع فيناستى، لن يراه اكن فركاويس داتع ذات اعكاع سوكع لن جومنع، سارع راما لن فوترا سامفون فاسراه، نبى إسماعيل سامفون ديفون كليباكاكن، فيليعان سامفون ديفون ايداك، كامان اعكاع لامفير سامفون ديفون لامفاهاكن كانطى سأكييات2 ايفون داتع تعكوك ناعيع مبوتن ممفان. الله فرصا ساكيع فييانتون كاليه تمنيع نية لن يقين. الله ميرسانى داتع راما لن فوترا كلاوان فنيعال رحمة. داسار الله منيكا أرحم الراحمين.نبى ابراهيم ديفون نداء داتع الله تعالى : " أَنْ يَا اِبْرَاهِيْمُ قَدْ صَدَقَتِ الرُّؤْيَا إنَّاكَذَلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ إنَّ هَذَا لَهُوَ اْلَبلاَءُ الْمُبِيْنُ ". هى ابراهيم.. تمن سيرا ووس مبنراكى سوفنا، سأتمنى اعسون كيا معكينى بكال مالس ووعكع فدا كاوى كباكوسان. ايكى كابيه عروفااكن جوبا اعكع جطا. لاجع نبى إبراهيم ديفون فاريعى كيباس سكيع سوواركا اعكع ديفون أسطا دينيع ملائكة جبريل ديفون سمبليه كاعكى تبوسانى اعكع فوترا إسماعيل عليه السلام. كافراكات دينيع نبى إيراهيم كاليهان ماهوس تكبير الله أكبر الله أكبر الله أكبر ديفون جواب كاليهان نبى إسماعيل كاليهان : لااله الاّ الله والله اكبر، ديفون جواب دينيع ملائكة جبريل كلاوان : الله أكبر ولله الحمد.
سأ ماعكين ماعكا كيطا سامى إعتبار أعن2 سينتن اعكع ديفون فرينتاه يمبليه فوترا لاجع أكى2 نديرىاكن فرينتاه ساكيع تياع اعكع ناموع ديفون فرينتاه يمبليه ميندو ناعيع ميليه لن عرومييناكن ياطرا درهم لن دينار. دمى الله اع انتاويس ايفون ككاليه منيكا وونتن فربيداأن اعكع لاعكوع أكوع تينيمباع دالو لن سيياع.فرا حاضرين … لاجع قربان مروفاكان سنّة مؤكّدة وونتن كتورونان نبى إبراهيم عليه السلام ميتوروت قول المختار. سباكيهان علماء كادوس دينى أبى حنيفة، سفيان الثورى، أوزعى لن سانيس2 ايفون عنديكااكن واجب. كاريوايةاكن ساكيع إبن عبّاس رضى الله عنه رسول الله صلّىالله عليه وسلّم داووه : " مَا عَمِلَ ابْنُ أَدَمَ يَوْمَ النَّحْرِ عَمَلاً أَحَبُّ إِلىَ اللهِ مِنْ إِرَاقَةِ الدَّمِ، وَإِنَّهُ لَيَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةَ بِقُرُوْنِهَا، وَأَظْفَارِهَا، وَأَشْعَارِهَا، وإِنَّ الدَّمَّ لَيَقَعُ مِنَ اللهِ بِمَكَانٍ قَبْلَ اَنْ يَقَعَ فىِ اْلاَرْضِ فَطَيِّبُوْا نَفْسًا ". اورا انا عملى أناك أدم اع دينا ريايا نحر كع لويه دين دمنى الله كيا دينى عيلى اكى كتيه قربان. لن قربان ايكو باكال تكا انا اع دينا قيامة لعكاف سوعونى، كوكونى، رامبوتى. لن كتيه قربان بكال توميبا انا اع سيجى فاعكونان اع عرسانى الله سأدوروعى تيتيس اع بومى. مولانى سيرا فدا إخلاصا !
كارواية اكن ساكيع إبن عبّاس ساكيع رسول الله صلّى الله عليه وسلّم. نبى داووه : ناليكا قربان دي سمبليه كووى تكاها سباب دوسامو دى عافورا ناليكا كاويتان تيتيسى كتيه قربان. " أُحْضُرُوْهَا اِذَا ذَبَحْتُمْ فَاِنَّهُ يُغْفَرُ لَكُمْ عِنْدَ أَوَّلِ قَطْرَةٍ مِنْ دَمِّهَا ". كارواية اكن ساكيع زيد بن أرقم، فرا صحابة ماتور داتع رسول الله صلى الله عليه وسلم : قربان2 منيكا منافا كوستى ؟ نبى داووه : سنة إبراهيم. صحابة ماتور : منافا باكيهان كيطا وونتن اع قربان ؟ نبى داووه : سابن رامبوت سيجى كباكوسان سيجى.
فرا حاضرين سيداع صلاة عيد … قربان ميندو ستوعكال منيكا يكافى تياع ستوعكال، مناوى اونطا لن لمبو يكافى تياع فيتو. لن ماعرتوصا حيوان قربان كداه بوتن جاجات، بوتن فيجى، بوتن ساكيت اعكع كتاويس ساكيت ايفون، بوتن فينجاع اعكع بوتن ساكد ملامفاه سارع2 كاليهان حيوان اعكع ساراس، صاها حيوان اعكع كورو لن اوكى حيوان اعكع فوتوس كوفيع اوتوا بونتوت ايفون. دينى حيوان اعكع ماجر اوتوا فجاه سوعونيفون منيكا جكاف كاعكى قربان. دينى وقدال ايفون مراكات قربان اعكيه منيكا اويت مداليع سوريا دينتن ريادين قربان سكينتن يكافى علامفاهى صلاة كاليه ركعة لن خطبة كاليه. كرانتن حديث متّفق عليه " مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَإِنَّما يَذْبَحُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاَةِ وَالخْطُبَتَيْنِ فَقَدْ أَتَمَّ نُسُكَهُ وَأصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِيْنَ ". دينى تلاس ايفون وقدال قربان اعكيه منيكا كانطى تلاس ايفون دينتن2 تشريق. لن ديفون سنة اكن ناليكا يمبليه ماهوس تسمية لن صلوات على النبى صلى الله عليه وسلم، عدفاكن سمبليهان داتع قبلة سوفادوس اعكع مراكات اوكى مادف قبلة، تكبير لن دعاء بالقبول. لن تياع اعكع قربان بوتن كيعيع ندا قربان اعكع ديفون نذراكن. مناوى قربان سنة كيعيع. مالاهان سنة نديريك ندا. لقوله تعالى : " فَكُلُوْا مِنْهَا وَأَطْعِمُوْا الْبَائِسَ الفَقِيْرَ " وقوله تعالى : " وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِن شَعَائِرِاللهِ ".
الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا اله الاّالله الله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
فرا سديريك … ماعكا سامى نجاكى داتع صلاة لن سمباهياع كيطا، كرانتن صلاة منيكا ساكا كورونيفون أكامى اسلام لن يكاه ساكيع فربوواتان جمبر لن فينتن2 دوصا. سينتن اعكع عركصا لن نجاكا صلاة سامفون تنتو نجاكى داتع اكامىنيفون، اعكع عليرواأكن صلاة داتع سانيس ايفون لاعكوع سمبرونو.
لن موعكا سامى بايار زكاة اعكع ديفون واجيباكن دينيع الله تعالى دى دالام هارتا ككاياأن كيطا كانطى ليلانى ماناه. سباب الله سامفون ماريعى داتع كيطا كاتاه لن ماريعى كفوواسان، سأ ماعكين الله موندوت ساكيع كيطا سكديك سباكاى سامبتان. "مَنْ ذَا الَّذِى يُقْرِضُ اللهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيْرَةً وَاللهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ ".
لن ماعكا سامى فواصا وولان رمضان، حجّ داتع بيت الله الحرام. سباب ككاليه منيكا ترماسوك ركن2 إسلام. لن ماعكا سامى عابكتى داتع تيياع سفاه كاليه، صلة الرحم، أدامل ساهى داتع تيياع2 فقير لن لارى2 يتيم. صبر ناليكا دوموكينيع فركاويس اعكع عاكيتاكن ماناه وونتن اع وقدال دالو لن سيياع.
لن موعكا سامى أمر معروف نهى عن المنكر، كرانتن ككاليه منيكا مروفاكان كواجبان2 أكامى إسلام. لن أكامى بوتن بادى ججك لن تكاك تانفا أمر معروف نهى عن المنكر. لن ماعكا سامى موليااكن سومفاه كانطى يبوت أسمانيفون الله وونتن اع فينتن2 فادودون. كارواية اكن رسول الله داووه : " مَنْ اِقْتَطَعَ مَالَ امْرِئٍ مُسْلِمٍ بِيَمِيْنِهِ لَقِىَ اللهَ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ " قَالُوْا : " وَاِنْ كَانَ شَيْئًا يَسِيْرًا يَارَسُوْلَ اللهِ؟" قَالَ : " وَاِنْ كَانَ قَضِيْبًا مِنْ أَرَاكٍ". لن ناليكا اوتاع فييوتاع اعكع كاتاكيه ساهى اعكين ايفون ياهور، لن اعكع ناكيه ساهى اعكين ايفون ناكيه. وونتن اع حديث ديفون داووهاكن " رَحِمَ اللهُ اِمْرَأً سَمْحًا اِذَا بَاعَ، سَمْحًا اِذَا اشْتَرَى، سَمْحًا اِذَا قَضَى، سَمْحًا اِذَا اقْتَضَى.
لن ماعكا سامى مرنوع وونتن اع فاكمفالان منيكا منافا اعكع وونتن اع عاجع كيطا يعنى فينتن2 فكيووه لن هال2 اعكع عاكيتاكن ماناه. لن ماعكا سامى نبيهى فينتن2 فركاويس اعكع مليهاكن وونتن اع دينتن حساب. لن فينتن2 براع اعكع جمبر اعكع ديفون حراماكن كانطى نص حديث لن القرآن.
لن ماعكا سامى ميكير تيياع2 اعكع كالاويعى تاسيه سارع2 صلاة وونتن اع منيكا مسجد وونتن اع موعصا اعكع سامفون2 اعكيه منيكا بفاك، أناك، ككاسيه لن سديريك سباب سامفون ديفون رعكوت دينيع فمكوت كاأناكان فميساه فاكمفالان2 يعنى سيدا لن ممفرتاعكوع جوابكان فربواتان2 وونتن اع لوواعان2 اعكع كلاف، بوتن مامفو عيلاعى فكرتى2 أوون لن نامباه كساهييان2. ماعكا كيطا سامى أطاس2 كرانتن كيطا مسطى عالامى ناسيب اعكع سامى، واعسول داتع فاعكونان تيياع2 كلاواهو. لن مسطى ماعكيهاكن منافا اعكع سامفون كيطا لامفاهى لن كتونى عمل2 ساهى اعكع كيطا تيلاراكن. فَإِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ. أَعَادَ اللهُ عَلَيْنَا وَعَلَيْكُمْ مِنْ بَرَكَةِ هَذَا الْعِيْدِ. وَأَمَنَّنِى وَإِيَّاكُمْ مِنْ سَطْوَةِ يَوْمِ الْوَعِيْدِ. واللهُ تعالى يَقُوْلُ وَبِقَوْلِهِ يَهْتَدْى المُهْتَدُوْنَ :
" وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ" أعوذ باالله مِن الشَّيطانِ الرَّجِيْمِ " والْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهَا صَوَآفَّ ، فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَأَطْعِمُوْا الْقَانِعَ وَاْلمُعْتَرَّ ،كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ. لَنْ يَنَالَ اللهَ لُحُوْمُهَا وَلاَدِمَاؤُهَا وَلَكِنَ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِيْنَ ". والتَّىِ بَعْدَهَا ". ياأيُّهَا النَّاسُ إنَّ وَعْدَ اللهُ حَقٌّ فَلاَتَغُرَّنَّكُمْ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا وَلاَيَغُرَّنَّكُمْ بِاللهِ الغَرُوْرُ ، إِنَّ الشَّيْطانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوْهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُوْنُوْا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيْر.
الله أكبر الله أكبر الله أكبر لا اله الاّالله الله أكبر الله أكبر ولله الحمد.
الخطبة الثانية لعيد الأضحى
الله أكبر ×7. الله أَكْبَرْ عَدَدَ مَنْ أَمَّ الْبَيْتَ الحَرَامْ مِنْ إِنْسَانٍ. اللهُ أكبَر عَدَدَ مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ الْعَتِيْقِ وَخَضَعَ لِرَبِّهِ وَاسْتَكَانَ. اللهُ أكبر عَدَدَ مَنْ وَقَفَ بِعَرَفَةَ وَمَدَّ يَدَىِ اْلإِفْتِقَارِ طَالِبًا لِلْعَفْوِ مِنْ رَبِّهِ وَالْغُفْرَانِ. الله أكبرُ عَدَدَ مَا يُقَرِّبُ بِهِ إلى اللهِ مِنْ قُرْبَانٍ. الله أكبر عَدَدَ مَا أَفَاضَ المَوْلَى فِي أَوْقَاتِ الْفَضَائِلِ وَمَوَاقِفِ الْفَضْلِ عَلىَ الْعِبَادِ مِنَ الْكَرَمِ وَاْلإِحْسَانِ. اللهُ أكبر عَدَدَ إِفَاضَةِ الرَّبِّ عَلَى خَلْقِهِ مِنْ كُلِّ خَيْرٍ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَأَوَانٍ. الله أكبر الله أكبر لااله إلا الله و الله أكبر الله أكبر وَلِلَّهِ الحَمْدُ، الحَمْدُ لِلَّهِ مُعِيْدِ اْلجَمْعِ وَاْلأَعْيَادِ، وَمُبِيْدِ الْجُمُوْعِ وَاْلأَجْنَادِ، رَافِعِ السَّبْعِ الشِّدَادِ عَالِيَةً بِغَيْرِ عِمَادٍ، وَمَادِّ اْلأَرْضِ وَمُرْسِيْهَا بِاْلأَطْوَادِ، وجَامِعِ النَّاسِ لِيَوْمٍ لاَرَيْبَ فِيْهِ، إنَّ الله لاَ يُخْلِفُ اْلمِيْعَادَ، أَحْمَدُهُ عَلَى نِعَمٍ لاَيُحْصَى لَهَا تَعْدَادٌ، وَأَشْكُرُهُ وَكُلَّمَا شَكَرَ زَادٌ، وَأَسْأَلُهُ أَنْ يَصْرِفَ عَنَّا الْمُعْضِلاَتِ الشِّدَادِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَلاَ أَنْدَادَ، شَهَادَةً صَادِرَةً مِنْ صَمِيْمِ اْلفُؤَادِ، أَرْجُوْ بِهَا النَّجَاةَ فِي يَوْمِ التَّنَادِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِي شَرَعَ الشَّرَائَعَ وَسَنَّ اْلأَعْيَادَ، وَقَرَّرَ قَوَاعِدَ الِملَّةِ وَرَفَعَ العِمَادَ، اللهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعلى آلهِ وَأصحَابِهِ الْبَرَرَةِ اْلأَمْجَادِ، الذَّائِدِيْنَ عَنْ شِرْعَتِهِ بِاْلمُرْهِفَاتِ اْلحِدَادِ ، الله أكبر لاإله إلاالله والله أكبر . الله أكبر ولله الحمد أما بَعْدُ فَيَأيُّها النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ تَعالى وَاعْلَمُوْا أَنَّهُ لَيْسَ السَّعِيْدُ مَنْ أَدْرَكَ الْعِيْدَ، وَلاَ مَن لَبِسَ الْجَدِيْدَ، وَلا مَنْ قَادَ الْخَيْلَ الْمُسَوَّمَةَ وَخَدَمَتْهُ الْعَبِيْدُ، وَلا َمَنْ أَتَتْهُ الدُّنْيَا على مَا يُرِيْدُ، وَلَكِنْ وَاللهِ السَّعِيْدُ مَنْ خَافَ يَوْمَ الْوَعِيْدِ، ورَاقَبَ اللهَ فِيْمَا يُبْدِى وَيُعِيْدُ، وَنُجِّيَ مِنْ نَارٍحَرُّهَا شَدِيْدٌ وَقَعْرُهَا بَعِيْدٌ، وَطَعَامُ أَهْلِهَا الزَّقُّوْمُ وَشَرَابُهُمْ الْمُهْلُ وَالصَّدِيْدُ، وَلِبَاسُهُمُ الْقَطْرَانُ وَالْحَدِيْدُ، وَعَذَابُهُمْ أَبَدًا في مَزِيْدٍ، وَفَاَز بِجَنَّةٍ لاَيَفْنَى نَعِيْمُهَا وَلاَيَبِيْدُ فَاتَّقُوْا اللهَ بِامْتِثَالِ أَمْرِهِ اْلأَكِيْدِ، وَوَحِّدُوْا رَبَّكُمْ وَصَلُّوْا خَمْسَكُمْ وَاَدُّوْا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَصُوْمُوْا شَهْرَكُمْ وَحُجُّوْا بَيْتَ رَبِّكُمْ وَأَطِيْعُوْا ذَا أَمْرِكُمْ. هَذَا شَأْنُ اْلعَبِيْدِ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ الَّذِيْ عَلِمَ مِنَ الْغَيْبِ مَكْنُوْنَهُ، وَأَنْجَزَ مِنَ الْوَعِيْدِ مَضْمُوْنَهُ، وَخَتَّمَ بِالْفَنَاءِ عَلَى مَنْ دُوْنَهُ، وَاخْتَارَمُحَمَّدًا أَمِيْنَهُ، وَجَعَلَ الْحَنِيْفِيَّةَ شِرْعَتَهُ وَدِيْنَهُ ، أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى فِيْهِ بِمَلاَئِكتَِهِ الْمُسَبِّحَةِ بِقُدْسِهِ وَثَلَّثَ بِكُمْ أيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ مِنْ جِنِّهِ وَإِنْسِهِ، فَقَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ عَلِيْمًا إنَّ اللهَ وَملائكتَهُ يُصلُّوْنَ على النَّبي يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَليَهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا وَقَدْ قَالَ صلى الله عليه وسلم: مَنْ صلَّى عليَّ صَلاةً واحِدةً صلَّى الله عليه بها عَشْرًا.اللهُمَّ صَلِّ عَلىَ النَّبِيِّ الهَاشِميِّ الأَوْفىَ، وَارْضَ اللّهُمَّ عَنْ اَصْحَابِهِ السَّادَةِ الْحُنَفَاءِ، وَخُصَّ مِنْهُمُ الأَرْبَعَةَ الخُلَفَاءَ، ذَوِي الْفَضْلِ الجَلِيِّ وَالْقَدْرِ العَلِيِّ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيًا وَعَنْ السِّتَةِ البَاقِيْنَ مِنَ الْعَشْرَةِ، وَعَنْ جَمِيْعِ الَّذِيْنَ بَايَعُوْا نَبِيَّكَ تَحْتَ الْشَّجَرَةِ، اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنْ الحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ وَعَنْ أُمِّهِمَا البَتُوْلِ فَاطِمَةَ بِنْتِ الرَّسُوْلِ، اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنْ الطَّاهِرَاتِ المُطَهَّرَاتِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِيْنَ زَوْجَاتِ نَبِيِّنَا الصَّادِقِ الأَمِيْنِ، اللَّهُمَّ وَارْضَ عَنْ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ وَعَنْ التَّابِعِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ وَاقْتَفَىوَعَنَّا مَعَهُمْ بِمَنِّكَ وَكَرَمِكَ وَرَحْمَتِكَ يَاأَكْرَمَ مَنْ تَجَاوَزَ وَعَفَا، اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ، وَاحْمِ حَوْزَةَ الدِّيْنِ، وَأَذِلَّ الشِرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ، وَاجْعَلْ هَذَا الْبَلَدَ آمِنًا رَخَاءً سَخَاءً وَسَائِرَ بِلاَدِ الْمُسْلِمِيْنَ، اللَّهُمَّ آمِنَّا فيِ دُوْرِنَا وَأَصْلِحْ وُلاَّةَ أُمُوْرِنَا، وَاجْعَلِ اللَّهُمَّ وِلاَيَتَنَا فِيْمَنْ خَافَكَ وَاتَّقَاكَ وَاتَّبَعَ رِضَاكَ بِرَحْمَتِكَ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ، اللَّهُمَّ أَقِمْ عَلَمَ الجِهَادِ وَاقْمَعْ أَهْلَ الشِّرْكِ وَالْفَسَادِ وَالْعِنَادِ، وَانْشُرْ رَحْمَتَكَ عَلَى اْلعِبَادِ، يَامَنْ لَهُ الدُّنْيَا وَالآخِرَةُ وَإِلَيْهِ الْمَعَادُ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ، الأحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ،اللهُمَّ نَوِّرْ عَلى أَهْلِ الْقُبُوْرِ قُبُوْرَهُمْ، اللهُمَّ اغْفِرْ لِلأَحْيَاءِ وَيَسِّرْ لَهُمْ أُمُورَهُمْ، اللَّهُمَّ تُبْ عَلَى التَّائِبِيْنَ، وَاغْفِرْ ذُنُوبَ المُذْنِبِيْنَ، وَاقْضِ الدَّيْنَ عَنِ المَدِيْنِينَ، وَاشْفِ مَرْضَى المُسْلِمِيْنَ، وَاكْتُبِ الصِّحَّةَ وَالعَافِيَةَ وَالسَّلاَمَةَ وَالتَّوْفِيْقَ وَالْهِدَايَةَ لَنَا وَلِكَآفَّةِ المُسْلِمِيْنَ، فيِ بَرِّكَ وَبَحْرِكَ أَجْمَعِينَ، اللَّهُمَّ ارْفَعْ عَنَّا الغَلاَ وَالوَبَا وَالرِّبىَ وَالزِّنىَ وَالزَّلاَزِلَ وَالمِحَنَ وَسُوءَ الفِتَنِ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بِلاَدِ المُسْلِمِيْنَ عَامَّةً يَارَبَّ العَالَمِيْنَ، رَبَّنَا آتِنَا فيِ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفيِ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. عِبَادَ اللهِ : إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ وَإِيْتَاءِ ذِي القُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ الفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونْ، وَأَوْفُوْا بِعَهْدِ اللهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلاَ تَنْقُضُوا الأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيْدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمُ اللهَ عَلَيْكُمْ كَفِيْلاً، إِنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ، وَاذْكُرُوا اللهَ العَظِيمَ يَذْكُرْكُمْ، وَاشْكُرُوهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ، وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ وَاللهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ.



Kesunnatan-kesunnatan Pada Hari Raya :
a) Mandi, waktunya mulai separuh malam sampai hendak mengerjakan shalat
b) Tathoyyub atau memakai wangi-wangian (parfum)
c) Berhias dengan pakaian yang paling bagus, memotong kuku, berangkat melalui jalan yang lebih jauh dan pulang dengan memilih jalan yang lain
d) Bersodaqoh
e) Mengerjakan shalat sunnat muthlak sebelum khutbah
f) Makan sebelum pergi shalat hari raya Fithri, sedangkan pada hari raya Adlha disunnatkan tidak makan, kecuali setelah shalat
g) Membaca takbir muqoyyad dan mursal pada hari raya Adlha.sedangkan ketika hari raya 'îdul fitri hanya di sunnatkan takbir mursal saja di mulai ketika terbenamnya matahari hingga ketika imam berdiri untuk memulai shalat.
h) Mushofahah atau bersalam-salaman
i) Berangkat pagi-pagi setelah shalat shubuh selain imam
j) Menghilangkan bau tidak sedap
k) Melaksanakan shalat dimasjid

Bagi orang yang udzur tidak berjamaah shalat 'ied, apabila belum zawal (matahari condong kebarat) maka disunnatkan melakukan secara ada’ (tepat waktu) dan apabila sudah zawal maka disunnatkan mengqodlo’inya.

Sedangkan bagi ma’mum yang telat, tidak bersamaan imam mulai awal, harus takbir sejumlah yang ia ikuti bersama imam dan tidak boleh menambah. Contoh : pada raka'at pertama makmum hanya mengikuti satu takbir beserta imam, sedang imam sudah takbir ke tujuh, maka makmum tersebut harus takbir satu kali saja tanpa menambah sampai tujuh kali.
Adapun shighat takbir sbb :

أَللهُ أَكْبَرُ ( x3 ) لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ أللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَلاَ نَعْبُدُ اِلاَّ إِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكاَفِرُوْنَ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَأَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ أَللهُ أَكْبَرُ وَِللهِ الْحَمْدُ



2. Shalat Khusûf

Berbicara shalat khusûf tidaklah terlepas dari gerhana itu sendiri, baik gerhana matahari atau gerhana rembulan, menurut ahli astronomi gerhana yang terjadi pada matahari disebabkan oleh rembulan yang menghalang-halangi antara matahari dan bumi sehingga sinar matahari tidak bisa sampai kebumi, sedangkan gerhana rembulan terjadi karena terhalangnya sinar matahari oleh bumi sehingga sinarnya tidak bisa sampai kebulan yang pada akhirnya terjadilah gerhana bulan, karena sinar bulan dari matahari.

Tendensi hukum disunnatkannya melakukan shalat khusûf adalah sebuah hadits riwayat Bukhâri-Muslim :
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَكْسِفَانِ لِمَوْتِ اَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّهُمَا آيَتَاَنِ مِنْ آيَاتِ اللهِ تَعَالى فَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُمَا فَقُوْمُوْا وَصَلُّوْا { رواه مسلم }
Artinya : sesungguhnya matahari dan rembulan tidak mengalami gerhana di sebabkan kematian seseorang, melainkan keduanya merupakan bukti kebesaran Allah, maka saat kamu melihatnya (gerhana) dirikanlah shalat .(HR. Muslim)

Di samping hadits tersebut, kesunnatan shalat gerhana juga di dukung oleh ijma' para ulama', Berdasarkan hadits diatas hukum melaksanakan shalat khusûf adalah sunnat mu'akad bagi orang-orang yang berkewajiban melaksanakan shalat lima waktu, walaupun orang tersebut adalah seorang budak,wanita, atau seseorang yang dalam keadaan bepergian.

Tatacara melaksanakan shalat khusûf.
Seseorang yang akan melakukan shalat khusûf disunnatkan untuk mandi terlebih dahulu sebagaimana mandinya shalat jum'at, juga disunnatkan untuk memakai pakaian yang biasa digunakan untuk bekerja seperti halnya ketika akan melakukan shalat istisqo'.

Kaifiyyah atau tata cara melaksanakan shalat gerhana baik rembulan ataupun matahari ada tiga macam cara, diantaranya adalah :
• Melaksanakan shalat 2 raka'at sebagaimana shalat 2 raka'atnya shalat sunnat dzhuhur.
• Melaksanakan shalat 2 raka'at dengan melakukan dua kali rukû' dan dua kali qiyam (berdiri) pada setiap raka'atnya. Ini adalah cara melaksanakan shalat khusûf yang mendekati sempurna.
• Melaksanakan shalat 2 raka'at dengan melakukan dua kali rukû' dan dua kali qiyam (berdiri) dan ditambah dengan membaca surat yang panjang pada tiap-tiap raka'atnya. Ini adalah cara melaksanakan shalat khusûf yang lebih sempurna.

Tata cara shalat khusûf yang lebih sfesifik, sesuai dengan tata cara yang lebih sempurna (tata cara yang nomer tiga) adalah :
• Melakukan takbîratul ihrâm dengan disertai niat shalat khusûf dengan menta'yin shalat khusûf yang dilaksanakan apakah shalat khusûf syamsi atau qomar, semisal :
أُصَلِّي سُنَّةَ الكُسُوْفِ/ الخُسُوْفِ رَكْعَتَيْنِ لِلّهِ تَعَالىَ
• Setelah membaca do'a iftitâh dan ta'awud, membaca al fâtihah sebagaimana shalat yang lain. Lalu dilanjutkan dengan membaca surat al-baqarah sampai selesai, lalu dilanjutkan dengan rukû' dan I'tidâl, hal ini dilakukan pada posisi berdiri yang pertama di raka'at yang pertama.
• Di saat berdiri yang kedua dalam raka'at yang pertama, setelah ta'awud membaca al fâtihah, kemudian membaca kira-kira seukuran 100 ayat yang sedang dari surat al baqarah, lalu dilanjutkan dengan rukû', I'tidâl, dua kali sujud, duduk diantara dua sujud sebagaimana shalat yang lainnya, maka sempurnalah pelaksanaan satu raka'at yang pertama dalam shalat khusûf.
• Lalu dilanjutkan dengan melakukan raka'at yang kedua, tata cara pelaksanaannya sama dengan raka'at yang pertama, akan tetapi ada perbedaan dalam 2 kali berdiri yang ada pada raka'at yang kedua, yakni saat berdiri yang pertama setelah membaca al fâtihah membaca kira-kira 150 ayat yang seukuran ayatnya surat al baqarah, dan pada berdiri yang kedua dalam raka'at yang kedua membaca kira-kira 100 ayat yang seukuran ayatnya surat al baqarah.

Dalam kitab al-Buwaithi, al-Umm, dan muhtashar diterangkan bahwa pada saat qiyam (berdiri) yang kedua dari empat kali qiyam dalam dua raka'at, setelah membaca al fâtihah membaca surat ali Imran, atau ayat yang seukuran dengan surat tersebut ketika tidak hafal. Pada qiyam yang ketiga setelah membaca al fâtihah membaca surat an Nisa' atau ayat yang seukuran dengan surat tersebut ketika tidak hafal. Pada qiyam yang keempat, setelah membaca al fâtihah membaca surat al Ma'idah atau ayat yang seukuran surat tersebut ketika tidak hafal.

Sedangkan pada rukû' yang pertama membaca tasbîh kira-kira sekadar 100 ayat surat al Baqarah, pada rukû' yang kedua membaca tasbîh kira-kira sekadar 80 ayat surat al baqoroh. Pada rukû' yang ketiga membaca tasbîh kira-kira sekadar 70 ayat surat al Baqarah. Pada rukû' yang keempat membaca tasbîh kira-kira sekadar 50 ayat surat al baqoroh.

Seorang ma'mum yang menemukan imam di rukû' yang pertama pada raka'at yang pertama atau yang kedua dalam shalat gerhana, maka ia (ma'mum) dianggap menemukan 1 raka'at seperti halnya shalat yang lain, namun apabila ia menemukan imam dalam keadaan rukû' yang kedua atau berdiri yang kedua dari raka'at yang pertama atau yang kedua, maka menurut qoul yang adhhar ia dianggap tidak menemukan raka'at tersebut sehingga nantinya setelah imam salam ia harus menambah 1 raka'at dengan 2 kali qiyam dan 2 kali rukû' secara sempurna.

Kesunnatan-kesunnatan dalam shalat khusûf
1. Dikerjakan secara berjama'ah
2. Melaksanakan khutbah dua kali setelah melaksanakan shalat khusûf, dengan tata cara sebagaimana khutbah jum'at. Dalam khutbah tersebut khotib mendorong / menganjurkan pada para sami'in untuk bertaubat dari dosa-dosa, melakukakan kebaikan-kabaikan seperti halnya memperbanyak membaca istiqfar, bersedekah dan lain-lain.


3. Shalat istisqâ'

Pengertian shalat istisqâ' menurut istilah adalah mengharap turunnya air karena sudah lama tidak turun hujan, mengeringnya sumber air dll, Hukum melaksanakan shalat istisqâ' adalah sunnat mu’akkad bagi orang yang mukim dan orang yang bepergian baik dekat ataupun jauh.

Sebenarnya tehnis istisqâ'(minta hujan) bukan hanya dengan melakukan shalat istisqâ' namun bisa juga dengan cara-cara sebagai berikut :
• Berdo'a meminta hujan di sembarang waktu baik dengan lirih atau dengan mengeraskan suara.
• Berdo'a meminta hujan setelah melaksanakan shalat, pada saat khutbah jum'at atau pada saat – saat mustajabah.
• Dengan melakukan shalat istisqo' sebagaimana yang akan kami jabarkan, dan ini merupakan cara meminta hujan yang paling utama.

Dasar pelaksanaan shalat istisqâ' di samping hasil kongklusi para ulama' (ijma') adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhâri dan Muslim;

رَوَى عَبَّادُ بْنُ تَمِيْمٍ عَنْ عَمِّهِ قَالَ خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَسْقِىْ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ بِالْقِرَاءَةِ فِيْهِمَا وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَاسْتَسْقىََ

Tehnis pelaksanaan shalat istisqâ'
Pelaksanaan shalat istisqâ' sangat dianjurkan ketika curah hujan atau mata air berkurang, sedangkan pada waktu itu keberadaan air sangat dibutuhkan.

Sebelum melaksanakan shalat istisqâ' hendaknya imam terlebih dahulu mengeluarkan perintah kepada rakyatnya agar ;
a) Melakukan puasa selama tiga hari berturut-turut
b) Bertaubat
c) Melakukan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan melakukan berbagai kebaikan semisal bersedekah, memerdekakan budak, dll,

Kemudian dihari yang keempat, Imam dan rakyatnya keluar menuju ke tanah lapang dengan khusyu’ dan dalam keadaan berpuasa, dengan memakai pakaian yang biasa digunakan untuk bekerja. Anak-anak kecil, orang yang sudah tua juga disunnatkan untuk ikut keluar menuju ke tanah lapang dimana shalat istisqâ' akan dilaksanakan, menurut qoul ashoh juga disunnatkan untuk mengeluarkan hewan-hewan ternak, dan hendaknya ditempatkan terpisah dari orang-orang yang akan melaksanakan shalat istisqâ' dan memisahkan antara induk dan anaknya ditempat yang agak berjauhan agar menimbulkan suara-suara gaduh yang nantinya diharapkan dapat menyebabkan dikabulkannya do’a istisqâ' , hal ini bertendensi dari sebuah hadist yaitu :
لَوْلاَ شَبَابٌ خُشَّعٌ وَبَهَائِمُ رُتَّعٌ وَشُيُوخٌ رُكَّعٌ وَأَطْفَالٌ رُضَّعٌ لَصُبَّ عَلَيْكُمْ الْعَذَابُ صَبًّا
Artinya : "seandainya tidak ada anak muda yang khusyu’, hewan-hewan yang mengeluarkan suara, orang tua yang bungkuk dan anak – anak yang menyusu, niscaya Allah akan menurunkan adzab"

Setelah sampai di lapangan, kemudian melakukan shalat istisqâ' sebanyak dua raka'at dengan niat ;
أُصَلِّي سُنَّةَ الإِسْتِسْقَاءِ رَكْعَتَيْنِ للهِ تَعَالىَ
Pada raka'at yang pertama setelah takbîratul ihrâm, melakukan takbir sebagaimana shalat 'ied sebanyak 7 kali dan disunnatkan membaca istighfâr diantara takbir tersebut, kemudian dilanjutkan membaca do’a iftitâh, ta’awudz, al fâtihah, dan membaca surat ق menurut qaul ashah, atau membaca surat سبح اسم, lalu dilanjutkan rukû', I'tidâl dan seterusnya sebagaimana shalat yang lain.

Pada raka'at yang kedua, takbir sebanyak 5 kali selain takbir yang diucapkan ketika bangun dari sujud, lalu membaca ta’awudz, al-fâtihah, membaca surat اقتربت menurut qaul ashah, atau الغاشية , kemudian melakukan rukû', I'tidâl dan seterusnya sebagaimana shalat yang lain.

Setelah selesai melakukan shalat dua raka'at diatas, disunnatkan untuk melakukan khutbah sebagaimana khutbahnya shalat ''ied baik dari segi rukun-rukun khutbah atau yang lainnya.

Hal-hal yang disunnatkan dalam khutbah istisqâ' :
Pada saat khutbah yang pertama khatîb disunnatkan ;
1. Membaca istighfâr sebanyak 9 kali pada permulaan khutbah sebagaimana sunnat membaca takbir sebannyak 9 kali pada permulaan khutbah ''ied. Adapun lafadz istighfârnya adalah sebagai berikut :
اَسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمَ الَّذِى لَاأِلهَ الاَّهُوَ الْحَيُّ الْقَيُّوْمُ وَاَتُوْبُ اِلَيْهِ
2. Membaca doa yang biasa dilakukan oleh Rasulullah saat melakukan istisqâ' yaitu :
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًاِ هَنِيئًا مَرِيئًا مُرِيعًا غَدَقًا مُجَلَّلًا سَحًّا طَبَقًا دَائِمًا أَيْ إلَى انْتِهَاءِ الْحَاجَةِ اللَّهُمَّ اسْقِنَا الْغَيْثَ وَلَا تَجْعَلْنَا مِنْ الْقَانِطِينَ اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَغْفِرُك إنَّك كُنْت غَفَّارًا فَأَرْسِلْ السَّمَاءَ أَيْ الْمَطَرَ عَلَيْنَا مِدْرَارً"ا

3. Pada saat khutbah yang kedua khatîb disunnatkan :
a. Membaca istighfâr sebanyak 7 kali pada permulaan khutbah
b. Menghadap kiblat disaat khutbah berlangsung kira – kira seperenam, kemudian membalikkan surban yang ia pakai dengan cara ; Memindahkan sisi surban yang ada pada pundak kiri ke pundak sebelah kanan dan sisi yang ada pada pundak kanan ke pundak sebelah kiri serta menempatkan posisi surban yang bawah keposisi yang atas. Pemindahan dan pembalikan surban tersebut juga diikuti oleh para hadirin yang mengikuti shalat istisqâ' dalam keadaan duduk. Surban yang telah dipindah dan dibalik posisinya dibiarkan seperti itu sampai mereka melepas baju yang mereka pakai saat sampai rumah.
c. membaca doa.

4. Dalam kedua khutbah disunnatkan :
a. Memperbanyak bacaan istighfâr dan shalawat ditengah- tengah khutbah.
b. Memperbanyak bacaan berikut :
اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلْ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
c. memperbanyak bacaan :
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْعَظِيْمُ الْحَلِيْمُ ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْم لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ رَبُّ السَّمَوَاتِ وَرَبُّ الأَرْضِ وَرَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيْمِ



4. Shalat ِTarâwîh

Shalat Tarâwîh adalah shalat sunnat yang dikerjakan pada malam hari bulan Ramadlan. Sesuai dengan namanya yang berma’na istirahat, dalam tarâwîh dianjurkan istirahat setiap selesai shalat dua kali. Hukumnya sunnat muakkadah dan dianjurkan dengan berjamaah.

Shalat Tarâwîh mulai dianjurkan berjamaah pada masa Kholifah Umar bin Khottob RA, dimana pada saat itu beliau mengumpulkan masyarakat dan memerintahkan kaum lelaki untuk berjamaah shalat tarâwîh pada Ubay bin Ka’b ra, sedangkan kaum wanita berjamaah pada Sulaiman bin Abi Hatsmah ra.

Jumlah raka'at shalat tarâwîh, minimal dua raka'at, sedangkan batas maksimal dan yang afdhol adalah dua puluh raka'at dengan satu salam tiap dua raka'at. Konon menurut ulama’, hikmah dibalik anjuran pelaksanaan dua puluh raka'at adalah karena shalat rowatib selain tarâwîh berjumlah sepuluh raka'at, karena bulan Ramadlan merupakan bulan yang penuh rahmat dan maghfirah dan moment yang paling tepat untuk rajin beribadah, maka shalat tarâwîh yang merupakan rawâtib khusus pada bulan Ramadlan dilipat gandakan jumlah raka'atnya agar umat islam dapat memperoleh pahala yang berlipat ganda pula.

Waktu pelaksanaan shalat tarâwîh adalah setelah shalat isya’ sampai fajar shâdiq pada bulan suci Ramadlan. Tata caranya, sebagaimana shalat dua raka'at biasa, namun setelah melakukan shalat dua kali, dianjurkan istirahat terlebih dahulu dan mengisinya dengan dzikiran maupun do’a.

Adapun niatnya sebagai berikut :

أُصَلِّي سُنَّةَ التَّرَاوِيْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ ِللهِ تَعَالىَ

Sedangkan do'a setelah shalat tarâwîh adalah ;

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا بِالإِيْمَانِ كَامِلِيْنَ ، وَلِلْفَرَائِضِ مُؤَدِّيْنَ وَلِلصَّلاَةِ حَافِظِيْنَ ، وَلِلزَّكَاةِ فَاعِلِيْنَ، وَلِمَا عِنْدَكَ طَالِبِيْنَ ، وَلِعَفْوِكَ رَاجِيْنَ ، وَبِالْهُدَى مُتَمَسِّكِيْنَ ، وَعَنِ اللَّغْوِ مُعْرِضِيْنَ ، وَفيِ الدُّنْيَا زَاهِدِيْنَ ، وَلِلآخِرَةِ رَاغِبِيْنَ ، وَبِالْقَضَاءِ رَاضِيْنَ ، وَلِلنَّعْمَاءِ الشَّاكِرِيْنَ ، وَعَلَى الْبَلاَءِ الصَّابِرِيْنَ ، وَتَحْتَ لِوَآءِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ سَائِرِيْنَ ، وَإِلىَ الْحَوْضِ وَارِدِيْنَ ، وَإِلىَ الْجَنَّةِ دَاخِلِيْنَ ، وَمِنَ النَّارِ نَاجِيْنَ ، وَعَلَى سَرِيْرِ الْكَرَامَةِ قَاعِدِيْنَ ، وَمِنْ طَعَامِ الْجَنَّةِ آكِلِيْنَ ، وَمِنْ سُنْدُسٍ وَإِسْتَبْرَقٍ وَدِيْبَاجٍ مُتَلَبِّسِيْنَ ، وَبِحُوْرٍ عِيْنٍ مُتَزَوِّجِيْنَ ، وَمِنْ لَبَنٍ وَعَسَلٍ مُصَفًّى شَارِبِيْنَ ، بِأَكْوَابٍ وَأَبَارِيْقَ وَكَأْسٍ مِنْ مَعِيْنٍ ، مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالْصَّالِحِيْنَ ، وَحَسُنَ أُولَئِكَ رَفِيْقًا ، ذَلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللهِ وَكَفَى بِاللهِ عَلِيْمًا ، الَّلهُمَّ اجْعَلْنَا فيِ هَذِهِ اللَّيْلَةِ الشَّرِيْفَةِ مِنَ السُّعَدَاءِ الْمَقْبُوْلِيْنَ ، وَلاَ تَجْعَلْنَا مِنَ الأَشْقِيَاءِ الْمَرْدُوْدِيْنَ ، وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .[]