Total Tayangan Halaman

Jumat, 14 Oktober 2011

metedologi pengajaran di pondok pesantren alhusna

B A B I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam struktur pendidikan nasional, pesantren merupakan mata rantai yang sangat penting. Hal ini tidak hanya karena sejarah kemunculannya yang relatif lama tetapi juga karena pesantren telah secara signifikan ikut andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam sejarahnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat (society based-education). Dalam kenyataannya pesantren telah mengakar dan tumbuh dari masyarakat, kemudian dikembangakan oleh masyarakat, sehingga kajian mengenai pesantren sebagai sentra pengembangan masyarakat sangat menarik beberapa peneliti akhir-akhir ini
Kendatipun pesantren atau popular pondok pesantren merupakan kenyataan sosial yang sudah mapan dalam masyarakat Indonesia, namun tidak memperoleh perhatian dan intervensi yang signifikan dari pemerintah untuk mengembangkan ataupun memberdayakannya. Dalam sistem dan metodologi pembelajaran, misalnya, pesantren terkesan terlalu lamban bahkan acuh-tak acuh dengan berbagai temuan baru berkenaan dengan bagaimana sebuah lembaga pembelajaran serta kelompok "professional" di dalamnya dapat terus menerus meningkatkan hasil-hasil pembelajarannya.
Adalah sebuah hal yang patut disyukuri lahirnya pendidikan madrasah di masyarakat yang hal ini sekarang menjadi basis pesantren untuk mengakomodasi perkembangan, kendatipun sampai saat ini masih tampak lamban, yang tentunya hal ini sangat dipengaruhi oleh terbatasnya sumber-sumber belajar dan pusat sumber belajar yang dapat dikembangkan oleh pesantren .
Dalam hal pembelajaran, pesantren sampai saat ini harus dapat dibedakan dengan sistem pendidikan madrasah seperti dikenal saat ini. Pesantren adalah lembaga pendidikan masayrakat yang pada dasarnya tidak mengembangkan sistem madrasah dalam penyelenggaraan pendidikannya jadi lebih bersifat informal, dalam arti masyarakat menikmati pembelajaran di dalam lembaga pesantren secara luwes, tanpa batasan-batasan formal seperti usia dan latar belakang sosial lainnya. Tetapi, dalam perkembangannya dan ini karena pengaruh-pengaruh sistem sekolah modern pesantren tidak hanya mempertahankan sistem pembelajaran informal, tetapi juga menganut sistem pembelajaran klasikal berupa madrasah .
Sistem madrasah ini sekarang justru merupakan komponen pembelajaran yang dominan di pesantren. Bahkan, sebagian pesantren dapat disebut sebagai lembaga pendidikan madrasah itu sendiri sehingga menjadi identik pesantren dan madrasah karena komponen pembelajaran informalnya hilang. Masyarakat umum tidak lagi dapat menikmat kesempatan belajar yang luwes di pesantren sebagaimana dahulu menjadi ciri pokok pesantren. Pesantren pada saat ini dengan demikian menjadi semakin eksklusif. Pembelajaran yang dikembangkannya sudah beralih dari pembelajaran missal kepada pembelajaran klasikal.
Kehadiran sistem madrasah di pesantren tampaknya tidak terelekkan sifatnya, bukan hanya karena tuntutan modernitas, tetapi juga berkenaan dengan daya hidup yang merupakan pendorong (elanvital) pesantren tetapi juga persoalan akomodasional pesantren untuk mengakses masa depan. Bahkan, pesantren juga ingin menjamin survivalnya. Sebagian pesantren, yang terus ingin mempertahankan corak konvensional pesantren sebagai lembaga pendidikan masyarakat, hanya dapat melakukan pembelajaran agama kepada masyarakat dengan cara kiainya mendatangi mushalla dan masjid tertentu di luar pesantren untuk memberikan pembelajaran agama. Namun, tetap saja tampak corak eksklusifnya karena tidak menyediakan ruang dan kesempatan belajar massal di dalam pesantren.
Oleh karena itu, sistem pendidikan pesantren masih belum memiliki kesamaan dasar di luar penggunaan buku-buku wajib. Keragaman ini timbul karena ketidaksamaan dalam sistem pendidikannya. Ada pesantren yang menyelenggarakan pengajian tanpa madrasah/sekolah, ada pesantren yang hanya menggunakan sisitem pendidikan madrasah secara klasikal, dan ada pula pesantren yang menggabungkan sistem pengajian dan sistem madrasah secara non klasikal. Pada sistem madrasah non klasikal ini, materi pelajaran diberikan secara berurutan dari kitab-kitab lama yang sudah umum dipakai dalam pengajian. Maka tidak mungkin ada penyatuan kurikulum pesantren selama masih ada perbedaan – perbedaaan cukup besar dalam sistem pendidikan yang dianut.
Kuatnya independensi tersebut menyebabkan pesantren memiliki kebebasan relative yang tidak harus mengikuti model baku yang ditetapkan pemerintah dalam bidang pendidikan. Pesantren bebas mengembangkan model pendidikannya tanpa harus mengikuti standarisasi dan kurikulum yang ketat . Pesantren selalu memberikan kebebasan dalam menentukan pola kebijakan pendidikannya. Maka pesantren menggunakan prinsip kebebasan terpimpin dalam menjalakan kebijaksanaan pendidikannya.
Kebebasan terpimpin di sini adalah kebebasan dalam memilih, memutuskan dan menjalankan kebijakan pendidikan sesuai dengan kehendak kiainya. Terhadap kebijakan pemerintah, sistem pendidikan pesantren menempuh sikap sebebas-bebasnya, namun dikalangan intern pesantren sendiri, yang memiliki kebebasan adalah kiainya. Para ustadz tidak berkenan menetukan kebijakan pendidikan pesantren, terlebih para santri.
Lantaran tingkat pluralitas yang tinggi, independensi yang kuat kondisi – kondisi yang berjalan alamiah menyebabkan adanya kesulitan memberikan rumusan, definisi, dan konseptualisasi secara pasti tentang pesantren. Memang ada pengamatan, hasil penelitian dan analisis, tetapi tetap saja tidak bisa mewakili pluralitas dan otonomi – intelektual masing – masing pesantren. Rata – rata kesulitan yang dihadapi peneliti ketika mengadakan penelitian tentang pesantren adalah menyangkut keragaman atau variasi pesantren tersebut karena tidak bisa digeneralisasi, sehingga penjelasan yang bisa diberikan lebih mencerminkan kasus per kasus.
Sisi negatif lain yang terdapat pada sistem pendidikan pesantren adalah kesemrawutan organisasi. M.M. Billah melaporkan bahwa hubungan antar pesantren secara menyeluruh hampir tidak ada standarisasi, baik tentang silabus, kurikulum dan bahkan literaturnya maupun sistem penerimaan, promosi, gradasi santri, dan tartan ilmu yang diterima oleh santri . Hampir semua proses pembelajarannya tidak melalui perencanaan yang matang dan standart – standart yang ketat.
Sehingga, di dalam pesantren tradisional tidak dikenal sistem kelas. Kemampuan siswa tidak dilihat kelas berapanya, tetapi dilihat dari kitab apa yang dibacanya. Orang – orang pesantren telah dapat mendudukan derajat ilmu seorang santri atas dasar kitab yang dibacanya. Misalnya, seorang santri telah ikut mengkaji kitab Ihya’ Ulum al-Din maka ia dianggap memilki kemampuan yang cukup tinggi karena peserta pengkajian kitab tersebut dari kalangan santri senior, yang tentu terbatas sekali.
Pesantren merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia. Ia merupakan sumber inspirasi yang tidak pernah kering bagi para pencita ilmu dan peneliti yang berupaya mengurai anatominya dari berbagai demensi. Dari kawahnya, sebagai obyek studi telah lahir doktor-doktor dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari antropologi, sosiologi, pendidikan, politik, agama dan lain sebagainya. Sehingga kita melihat pesantren sebagai sistem pendidikan Islam di negeri ini yang kontribusinya tidak kecil bagi pembangunan manusia seutuhnya.
Sistem pendidikan di pesantren mengadopsi nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Keadaan ini menurut Abdurrahman Wahid disebut dengan istilah subkultur. Ada tiga elemen yang mampu membentuk pesantren sebagai subkultur : 1) pola kepemimpinan pesantern yang mandiri, tidak terkooptasi oleh negara. 2) kitab-kitab rujukan umum yang selalu digunakan dari berbagai abad. 3) sistem nilai yang digunakan adalah bagian dari masyarakat luas. Tiga elemen ini menjadi ciri yang menonjol dalam perkembangan pendidikan di pesantren. Pesantren baru mengkin bermunculan dengan tidak menghilangkan tiga elemen itu, kendati juga membawa elemen-elemen lainnya yang merupakan satu kesatuan dalam sistem pendidikannya.
Secara esensial, sistem pendidikan pesanttren yang dianggap khas ternyata bukan sesuatu yang baru jika dibandingkan sistem pendidikan sebelumnya. I.P. Simanjutak menegaskan bahwa masuknya Islam tidak mengubah hakikat pengajaran agama yang formil. Perubahan yang terjadi sejak pengembangan Islam hanyalah menyangkut isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi wahana bagi pelajaran agama itu, dan latar belakang para santri. Dengan demikian, sistem pendidikan yang dikembangkan pesantren dalam banyak hal merupakan hasil adaptasi dari poal-pola pendidikan yang telah ada dikalangan masyarakat Hindu-Budha sebelumnya. Jika ini benar, ada relevansinya dengan statement bahwa pesantren mendapat pengaruh dari tradisi lokal.
Model pendidikan agama jawa yang diadaptasi itu disebut pariwayatan, berbentuk asrama dengan rumah guru yang disebut Kiajar ditengah-tengahnya. Sistem pendidikan ini diambil dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam.
Seperti pada pesantren lainnya al-Husna Banjaran kota Kediri melakukan metode yang sama di dalam hal pengajaran, yakni seperti sorogan, bandongan, setoran, muthalaah dan musyawarah. Tetapi yang lebih ditekankan didalam pengajarannya ialah metode bandongan yang mana siswa hanya menerima masukan dari gurunya.
Berdasarkan pemaparan di atas peneliti merasa perlu untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang pondok pesantren al-Husna Banjaran kota Kediri yang mana di dalam pondok tersebut juga banyak dikaji berbagai macam cabang dari ilmu-ilmu agama diantaranya adalah yang berkaitan dengan tafsir atau hadits yang selama ini penulis mengelutinya. Dalam keesempatan ini penulis memilih untuk mengkaji kitab hadits karangan imam Nawawi Banten yang berjudul Arbain Nawawi yang didalamnya menjelaskan beberapa hadits Nabi yang berjumlah empat puluh dua hadits.
B. RUMUSAN MASALAH
Berangkat dari Latar Belakang Masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan pokok yang menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, yakni:
1. Bagaimana latar belakang pondok pesantren al-Husna Banjaran kota Kediri?
2. Bagaimana kajian kitab Arbain Nawawi di pondok Al-Husna banjaran kota Kediri?

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami kandungan hadis yang berada di dalam kitab Arbain Nawai yang di kaji di dalam pondok pesantren Al-Husna Banjaran kota Kediri.
Diketahuinya beografi Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, penulis kitab Arbain Nawawi.
Diketahuinya karakteristik kitab Arbain an-Nawawi, karya Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi
Adapun kegunaan penelitian ini adalah memberi pengertian kepada masyarakat Islam tentang pondok pesantren Al-Husna dan pengajian yang di kaji di dalamnya.
Sebagai khazanah wawasan tentang pembelajaran yang di lakukan di pondok pesantren Al-Husna Banjaran kota Kediri.
D. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang tidak mengadakan perhitungan, maksudnya data yang dikumpulkan tidak berwujud angka tetapi kata-kata.
Untuk memperoleh data yang obyektif dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode dengan rincian sebagai berikut :
1. Penentuan Subyek dan Obyek Penelitian
a.Subyek Penelitian
Subyek penelitian dapat disebut sebagai istilah untuk menjawab siapa sebenarnya yang akan diteliti dalam sebuah penelitian atau dengan kata lain subyek penelitian disini adalah orang yang memberikan informasi atau data. Orang yang memberikan informasi ini disebut sebagai informan. Adapun subyek penelitian dalam penelitian ini adalah:: pengasuh, ustadz, pengurus, santri dan pengajian di pondok pesantren Al-Husna kota Kediri
b. Obyek Penelitian
Obyek penelitian adalah istilah-istilah untuk menjawab apa yang sebenarnya akan diteliti dalam sebuah penelitian atau data yang akan dicari dalam penelitian. Yang menjadi obyek dalam penelitian ini adalah; cara penyampaian guru di dalam mengajar
2. Metode Pengumpulan Data
Metode Interview (wawancara)
Data utama dalam penelitian ini adalah interview. Metode Interview (wawancara) adalah suatu metode pengumpulan data dengan tanya jawab sepihak yang dikerjakan secara sistematik dan berdasarkan pada tujuan penelitian. Pewawancara (interviewer) mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Adapun tehnik interview yang digunakan adalah interview bebas terpimpin yaitu penulis menyiapkan catatan pokok agar tidak menyimpang dari garis yang telah ditetapkan untuk dijadikan pedoman dalam mengadakan wawancara yang penyajiannya dapat dikembangkan untuk memperoleh data yang lebih mendalam dan dapat divariasikan sesuai dengan situasi yang ada, sehingga kekakuan selama wawancara berlangsung dapat dihindarkan.
Metode ini digunakan untuk memperoleh data secara langsung dari informan yang memberikan informasi tentang persoalan-persoalan yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti: sejarah berdirinya pondok pesantren Al-Husna, pengajaran yang di lakukan di pondok pesantren Al-Husna, respon terhadap kegiatan ini.













BAB II
PELAKSANAAN KEGIATAN
DI PONDOK PESANTREN AL-HUSNA KEDIRI
A. Program / Kurikulum Pondok Pesantren al-Husna Kediri
Sama halnya dengan kurikulum konvensional dan madrasah di pondok pesantren jawa pada umumnya, seluruh materi pengajian menggunakan kitab kuning atau kitab klasik ( al-kutub al-qadimah) ‘alā ahl al-sunnah wa al-jamā‘ah. Disebut klasik karena kitab-kitab tersebut ditulis oleh para ulama tempo dulu pada zaman klasik.
Kitab itu telah di anggap mencapai puncak kebenaranya sehingga digunakan oleh kalangan peantren secara turun temurun. Disebut kitab kuning karena kitab tersebut memang dicetak di atas kertas yang berwarna kuning. Warna kuning pada kitab itu dimungkinkan karena warna asalnya yang memang kuning atau akibat lamanya disimpan sehingga berwarna kekuning-kuningan.
Kata kitab (bahasa Arab) dalam bahasa Indonesia berarti buku. Namun penyebutan kitab dan buku di lingkungan pesantren mempunyai konotasi berbeda. Kitab berkonotasi sebagai buku yang ditulis (dicetak) dalam bahasa Arab, sedangkan buku ditulis dalam bahasa Latin (Indonesia, Inggris, dll.). pengertian inijuga tercermin dari cara santri memperlakukan dua jenis buku tersebut. Terhadap kitab, santri berlaku sangat hormat dan ta’dhim. Santri mempunyai cara dan etika tetentu ketika membawa kitab. Misalnya dikepit di tangan atau di apit diatas dada dan tidak dibawa dengan satu tangan (dikiwir).
Secara rinci kitab-kitab yang dipelajari di pondok pesantren Al-Husna Kediri tertera dalam tabel berikut:
No Mata Pelajaran Nama Kitab
1 Hadits Arba’in Nawawi
2 Fiqih Fath Al-qarib
3 Tauhid / Aqidah Jauharul Kalamiyah
4 Akhlaq Ta’lim Muta’allim
Mathlab
5 Nahwu & Sharf Tasrif
Jurumiyyah
6 Tajwid Fathul Mannan


Dalam pondok pesantren Al-Husna dalam memberikan pengajaran dengan menggunakan beberapa metode di antanranya sebagai berikut :
1. Bandongan atau Wetonan
Bandongan atau biasa disebut metode wetonan adalah cara penyampaian kitab kuning di mana seorang guru, kyai, atau ustadz membacakan dan menjelaskan isi kitab, sementara santri, murid atau siswa mendengarkan, member makna dan menerima.
Dalam metode ini, guru berperan aktif sementara murid bersifat fasif. Metode bandongan atau wetonan dapat bermanfaat ketika jumlah murid cukup besar dan waktu yang tersedia cukup sedikit, sementara materi yang harus disampaikan cukup banyak.
2. Sorogan
Sorogan adalah metode pengajaran yang berbeda dengan metode bandongan. Dalam metode sorogan, murid membaca kitab dan member makna sementara guru mendengarkan sambil member catatan, komentar atau bimbingan bila diperlukan. Akan tetapi dalam metode ini, dialog antara guru dengan murid belum atau tidak terjadi.
Metode ini tepat bila diberikan kepada murid-murid seusia tingkat dasar dan tingkat menengah yang segala sesuatunya masih perlu diberi atau dibekali.
Kedua metode diatas menyimpan beberapa kelemahan, di antaranya adalah ketika tidak terjadi dialog antara murid dan guru. Murid menjadi pasif. Kegiatan belajar mengajar terpusat pada guru. Akhirnya, daya kreatifitas dan aktifitas murid menjadi lemah.
Dalam hal ini, guru tidak segera memperoleh umpan balik tentang penguasaan materi yang disampaikan. Maka untuk hal yang terakhir ini, guru menyediakan sekurang-kurangnya waktu dan kesempatan kepada murid untuk bertanya.
3. Hafalan
Hafalan adalah sebuah metode pembelajaran yang mengharuskan murid mampu menghafal naskah atau sya’ir-sya’ir dengan tanpa melihat teks yang di saksikan oleh guru. Metode ini cukup relevan untuk diberikan kepada murid-murid usia anak-anak, tingkat dasar, dan tingkat menengah.
Pada usia diatas itu, metode hafalan sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit dan lebih tepat digunakan untuk rumus-rumus dan kaidah-kaidah. Jika dilihat dari geneologis tradisi pendidikan, tradisi hafalan merupakan implikasi dari pemikiran ahli hadits dan dampak dari asumsi dasar tentang konsep ilmu sebagai apa yang diketahui dan tetap. Ada sebuah argument yang diajukan untuk mempertahankan metode ini, yakni orang-orang yang hafal adalah argument atas mereka yang tidak hafal.

4. Diskusi ( munazharah )
Metode ini dimaksudkan sebagai penyajian bahan pelajaran dengancara murid atau santri membahasnya bersama-sama melalui tukar pendapat tentang suatu topic atau masalah tertentu yang ada dalam kitab. Dalam metode ini guru atau ustadz bertindak sebagai moderator.
Metode diskusi bertujuan agar murid atau santri aktif dalam belajar. Melalui metode ini, akan tumbuh dan berkembang pemikiran-pemikiran kritis, analisis dan logis.
B. Tenaga Pengajar dan Peserta
`Tenaga pengajar pondok pesantren Al-Husna Kediri terdiri atas pengasuh pondok atau yang disebut dengan kyai dan staf pengajar dari lingkungan pondok pesantren Al-Husna Kediri dan para santri senior. Diantaranya sebagai berikut :
1. KH. Sirajuddin
2. K. Ahmad Zulfa Dailami
3. K. Agus Sobir Dailami
4. Ustadz Widodo Ahmad
Peserta yaitu para santri pondok pesantren Al-Husna yang merupakan santri mukim yang menetap di pondok, yang bersala dari daerah- daerah yang jauh. Mayoritas santri pesantren Al-Husna ini berpendidikan formal yang ada di lingkungan podok pesantren Al-Husna seperti MAN 3 Kediri, SMK Al-Huda Kedri dll.
C. Waktu Dan Jadwal
Jadwal dan waktu belajar mengajar pondok pesantren Al-Husna Kediri;
No Hari Waktu Mata pelajaran Pengajar Peserta keterangan



1


Senin 19.00 sd 20.30 Wib Arba’in Nawawi

K.Agus Sobir Dailami Kelas I
Dari Awal Bab

20.30 sd 22.00 Wib Arba’in Nawawi
Dan Ta’lim Muta’alim Kelas II&III Kelanjutan dari kelas I sampai khatam

2
Selasa 19.00 sd 20.30 Wib
Fathul Qarib
Ustadz Widodo Ahmad Kelas I Dari Awal
20.30 sd 22.00 Wib Kelas II&III Melanjutkan

3
Rabo 19.00 sd 20.30 Wib Fathul mannan dan Mathlab KH. Sirojuddin Kelas I Dari Awal
20.30 sd 22.00 Wib Kelas II&III Melanjutkan

4
Kamis Ba’da Sholat Isya’ Jam’iyyah Diba’iyyah Al-Barzanji
Semua Santri Setiap malam Jum’at

5
Jum’at 19.00 sd 20.30 Wib
Jauharul kalamiyah K.Ahmad Zulfa Dailami Kelas I Dari Awal
20.30 sd 22.00 Wib Kelas II&III Melanjutkan

6 Senin sd Jum’at Ba’da Sholat ‘Ashar Nahwu Sharf Ustadz Widodo Ahmad Semua Santri Yang berminat

7 Senin sd Jum’at Ba’da Sholat Shubuh Mengaji Al-Qur’an KH. Sirojuddin Semua Santri Wajib

Di samping jadwal di atas ada kegiatan Khataman Al-Qur’an yang diadakan setiap bulan sekali tepatnya pada malam sabtu sampai dengan Khatam yaitu minggu sore. Dan di ikuti oleh para santri yang tidak pulang. Dan juga ada kegiatan bagi santri senior yaitu mengajar di TPQ yang ada di mushola sekitar pondok.











BAB III
GAMBARAN UMUM TENTANG
PONDOK PESANTREN AL-HUSNA KEDIRI

A. Profil dan Sejarah Pondok Pesantren Al-Husna Kediri
Pondok pesantren Al-Husna berdiri tahun 1985. Didirikan oleh al-Magfurlah Bapak KH. Ahmad Dailami Husni yang bertempat di jalan Banjaran gang 01 No 89 Kecamatan Kota Kota Kediri, Jawa Timur.
Awal mulanya pondok pesantren Al-Husna berupa langgar kecil berukuran 6x6 m. berdirinya langgar tersebut karena mendapat perintah dari gurunya yaitu Al-Magfurlah KH. Zainuddin pengasuh pondok pesantren Mojosari Nganjuk. Awalnya pada tahun 1950 M. mbah Husni orang tua Kyai Ahmad Dailami membuatkan langgar kecil berukuran 6x6 m. begitu langgar berdiri Alhamdulillah mulai ada sambutan dari masyarakat untuk mengikuti jama’ah di langgar (Musholla) tersebut.
Lambat laun masyarakat yang mengikuti jama’ah banyak, akhirnya Mbah KH. Ahmad Dailami membuka jam’iyyah yasin – Tahlil setiap malam isnain. Jam’iyyah Yasin – Tahlil mengalami pasang surut, sehingga bertahan sampai tahun 1985 M. Pada tahun inilah mulai ada santri dari pelajar PGAN Kediri yang ingin berthalabul ilmi mengenai ilmu agama kepada Mbah Kyai Ahmad Dailami, di antara santri-santri tersebut adalah Abdul Ghafur, Ahsin, Dasar Rahim, Mundir, dan Anwar. Mereka adalah cikal bakal dan santri yang pertama mukim di tempat KH. Ahmad Dailami.
Kemudian menyusul berangsur-angsur santri putri ikut thalabul ilmi kepada Kyai Ahmad Dailami di antaranya Munifah, Marwiyah, Nur Khadijah, Ra’ifah dan Khusnul Khatimah. Dengan semakin bertambahnya santri dan santri putrid yang Mukim maka Mbah Kyai Ahmad Dailami berinisiatif untuk member nama pondok dengan nama Pondok Pesantren “AL-HUSNA”.
Nama “AL-HUSNA’ diambil dari nama ayahnya yaitu Mbah husni. Beliau mempunyai inisiatif mendirikan Madrasah Diniyah dan juga diberi Nama Al-Husna. Al-Husna yang dulunya adalah sebuah langgar kecil sekarang telah berubah menjadi masjid dan juga diberi nama Masjid AL-HUSNA.
Semakin bertambahnya tahun lambat laun semakin berkurang pula umur manusia, akhirnya pada tahun 1995 M. mbah Kyai Ahmad Dailami dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, dengan meninggalkan seorang istri dan 6 orang anak, maka dengan demikian secara otomatis semua yang ditinggalkan mempunyai tugas berat bagi para penerus untuk melanjutkan pendidikan dan melestarikan pembinaan program-program pondok pesantren Al-Husna.
Pada saat itu jumlah santri yang bertempat tinggal dipondok pesantren Al-Husna berjumlah 75 santri diantaranya 35 santri putra dan 40 santri putrid. Dengan bertambahnya jumlah santri sedangkan kapasitas tempat yang tidak memadai, akhirnya pada tahun 1997 M. puta-putri beliau membuka cabang pondok pesantren Al-Husna Putri II yang di asuh oleh ibu Nyai Umi Masfufah dan Pondok Pesantren Al-Husna Putra II yang di asuh oleh KH. Ahmad Dalhar. Sementara pondok pesantren Al-Husna di teruskan oleh menantu beliau yaitu KH. Sirajuddin.
Sedangkan Unit Pendidikan di Pondok Pesantren Al-Husna di antaranya :
1. Madrasah Diniyyah
2. Kegiatan Muhadlarah
3. Tartilil Qur’an
4. Jam’iyyah Diba’ Al-Barzanji
5. TPA dan TPQ Murotil Al-Qur’an
6. Pendidikan Diniyah dan TPA, TPQ telah terdaftar di Kantor Kementrian Agam Republik Indonesia dengan nomor :
7. Madrasah Diniyyah : No Statistik : 231.2.35.71.0012
8. TPA dan TPQ : No NS TPQ : 0612.35.71..02.104
Demikian sejarah singkat berdirinya Pondok Pesantren Al-Husna sebagai cirri khas berdirinya Pondok-Pondok Pesantren Salaf di negeri ini. Diawali dengan adanya Kyai, adanya Santri dan adanya Pondok.
B. Karakteristik Pondok Pesantren Al-Husna Kediri
Pondok Pesantren Al-Husna Kediri sebagai lembaga pendidikan Islam berbeda dengan pendidikan lainya baik dari aspek system pendidikan maupun unsur pendidikan yang dimilikinya. Pebedaan dari segi system pendidikanya, terlihat dari proses belajar mengajarnya yang cenderung sederhana dan tradisional.
Ada beberapa cirri yang dimiliki pondok pesantren Al-Husna sebagai lembaga pendidikan sekaligus sebagai lembaga sosoial yang secara informasi itu terlibat dalam pengembangan masyarakat pada umumnya.
1. Masjid
Di Pondok Pesantren Al-Husna Masjid merupakan sentral kegiatan para santri untuk proses belajar mengajar. Msjid ini dulunya adalah sebuah langgar kecil yang kemudian dikembangkan menjadi Masjid sebagai basis berdirinya pondok pesantren. Didalamnya para santri dibina mental dan dipersiapkan agar mempu mandiri dibidang ilmu keagamaan.
Oleh karena itu masjid di samping sebagai wadah (pusat) pelaksanaan Ibadah juga sebagai tempat Muhadlarah, Qira’ah dan membaca Kitab-Kitab Salaf. Masjid Al-Husna berada di depan pondok (asrama) santri tepatnya di samping jalan raya.
2. Pondok
Kedudukan Pondok Di pondok Al-Husna sangat esensial bagi para santri sebab didalamnya santri tinggal, belajar, tidur dan ditempa diri pribadinya dengan kontrol seorang ketua asrama atau kyai yang memimpin pesantren itu. Sedangkanpondok (asrama) santri di pondok pesantren Al-Husna terdiri dari 6 asrama :
1. Asrama A untuk kelas I
2. Asrama B untuk kelas II dan III
3. Asrama C untuk kelas II dan III
4. Asrama D untuk kelas I dan II
5. Asrama E untuk kelas III
6. Asrama F untuk pengurus ( Kantor )
7. Kyai
Ciri yang paling esensial di Pondok Pesantren Al-Husna adalah adanya seorang Kyai, yang merupakan pengasuh dan pimpinan tertinggi di pondok pesantren Al-Husna. Kyai pada hakekatnya adalah gelar yang diberikan kepada seseorang yang mempunyai ilmu di bidang agama, terlepas dari anggapan kyai sebagai gelar yang sakral, maka sebutan kyai muncul di dunia pondok pesantren. Kyai di pondok ini peranya sangat sentral karena kedudukan kyai disini bukan hanya pemimpin pondok tetapi juga pemilik pondok.
3. Santri
Istilah santri hanya terdapat di pesantren sebagai pengejawentahan adanya peserta didik yang haus akan ilmu agama yang dimiliki oleh seorang kyai yang memimpin sebuah pesantren. Oleh karena itu santri pada dasarnya berkaitan erat dengan keberadaan kyai dan pesantren. Begitu pula santri pesantren Al-Husna, mereka disamping belajar di pendidikan formal yang ada di luar pesantren, mereka ingin menambah ilmu agama di pesantren. Santri-santri pesantren Al-Husna sebagian besar merupakan santri dari sekolah-sekolah umum seperti MAN 3, SMK Al-Huda, dan mereka nyantri rata-rata selama 3 tahunan sesuai dengan sekolah di formalnya. Jumlah santri pondok pesantren Al-Husna sa’at ini bejumlah sekitar 109 santri, 35 santri putra dan 72 santri putri.
C. Sistem Manajemen Pondok Pesantren Al-Husna Kediri
Sudah menjadi tradisi bahwa pondok pesantren lekat dengan figur Kiyai. Kiyai di pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Hal ini erat kaitanya dengan dua faktor berikut : pertama, kepemimpinan yang sentralisasi pada individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat paternalistik.
Kedua, kepemilikan pesantren bersifat individual (keluarga), bukan komunal. Otoritas individu kiyai sebagai pendiri sekaligus pengasuh pesantren sangat besar dan tidak bisa diganggu gugat. Faktor nasab (keturunan) juga kuat sehingga kiyai bisa mewariskan kepemimpinan pesantren kepada anak yang dipercaya tanpa ada komponen pesantren yang berani memprotes.
Di Pondok Pesantren Al-Husna Kediri, sistem Manajemennya dibawah kendali kiyai di karenakan sebagian besar santri-santri yang mondok adalah santri dari kalangan pelajar setingkat SMA, sehingga perlu adanya bimbingan penuh dari kiyai. Akan tetapi di pesantren Al-Husna ini kiyai di bantu oleh para santri-santri senior di samping untuk pembelajaran cara berorganisasi terhadap mereka dengan membentuk kepengurusan pondok.
Susunan Pengurus Pondok Pondok Pesantren Al-Husna Kediri periode 2008 – 2011 sebagai berikut:
Pengasuh : KH. Sirajuddin
Ketua : Walid Bahruddin ( asal Badas Kediri )
Wakil : Muhammad Daman ( asal Jombang )
Sekretaris : Kholid Miftahul Huda ( asal Lampung )
Wakil : M. Nasiruddin ( asal Nganjuk )
Bendahara : M. Farid Efendi ( asal Nganjuk )
Wakil : M. Arif ( asal Nganjuk )
Keamana : Sugiono ( asal Kediri )
Para pengurus ini membantu kiyai dalam menjalankan program pesantren, kepengurusan ini setiap periode selalu berganti mengingat yang mondok rata-rata selama tiga tahunan.












BAB IV
KAJIAN TENTANG TELAAH KITAB ARBAIN NAWAWI DI PONDOK AL-HUSNA
A. Riwayat Hidup Imam An-Nawawi
1. Profil An-Nawawi
a. Nama Dan Silsilah Keluarganya.
Imam Nawawi adalah nama populer bagi pengarang kitab Al-Arbain An-Nawawi, nasab keturunan beliau adalah al-imam al-hafisz syaikhul islam, muhyiddin Abu Zakaria yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi.
Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H diperkampungan Nawa sebuah kampung daerah Dimasyq ( Damaskus ) yang sekarang merupakan ibu kota Suriah dari dua orang tua yang shalih. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan keshalihan dan ketaqwaan. Beliau mulai belajar di Katatib ( Tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal al-Qur’an sebelum menginjak usia baligh, proses pembeljaran ini dikalangan ahli hadits lebih dikenal dengan sebutan al-Qira’ah.
a. Fase-Fase Pendidikan dan Guru-Guru Imam An-Nawawi
Seperti dijelaskan sebelumnya, Imam an-nawawi sendiri kecil giat sekali belajar ilmu. Ketika berusia 10 tahun, beliau sudah memulai hafal al-Qur’an dan membacakan kitab fiqih pada sebagian ulama disana . Hal inilah yang kemudian menampakan akar keilmuan yang mendalam oleh seorang an-nawawi dikemudain hari dan membuatnya menjadi sosok orang yang cinta kepada ilmu melebihi segalanya.
Suatu ketika, secara kebetulan seorang ulama bernama Syaikh Yasin bin Yusuf al-Maraqisyi melewati perkampungan tempat tinggal imam an-Nawawi dan menyaksikan banyak anak-anak yang memaksa an-Nawawi kecil untuk bermain, namun dia tidak mau bahkan lari dari kejaran mereka dan menangis sembari membaca al-Qur’an. Syaikh ini kemudain mengantarkannya kepada ayahnya dan menasehati sang ayah tersebut untuk menuntut ilmu, sang ayah setuju dengan nasehat ini.
Kemudian beliau diasuh dan dididik atau dibina oleh ayahnya dengan gigih, sang ayah menyuruhnya untuk menuntut ilmu sejak kecil. Sehingga ia telah berhasil menghafal al-Qur’an ketika dia mendekati baligh. Beliau menghafalkan al-Qur’an tersebut di kotanya ( Nawa ) yang lingkungannyatidak kondusif untuk belajar. Setelah melihat lingkungan di Nawa yang tidak kondusif tersebut, ayahnya membawa ia pergi ke Damaskus pada tahun 649 H. pada saat itu, usianya telah menginjak sembilan belas tahun. Dan akhirnya ia telah tinggal disebuah lembaga pendidikan ( Madrasah ) ar-Rawahiyah. Di sana ia memulai perjalanannya menuntut ilmu ( Rihlahthalabul Ilmi ). Ia tidak berhenti menuntut ilmu. Ia rajin dan memberikan seluruh waktunya untuk menuntut ilmu sehingga ilmu pun memberikan kepadanya sebagian darinya.
Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku”
Diantara guru-gurunya beliau adalah:
1. Dibidang fiqih dan ushulnya beliau berguru pada:
a. Ishaq bin Ahmad bin Utsman al-Maghriby
b. Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad al-Maqdisy
c. Sallar bin hasan al-Irbily
d. Umar bin Indar at-Taflisy
e. Abdurrahman bin Ibrahim al-Fazary
2. Dibidang ilmu hadits beliau berguru pada:
a. Abdurrahman bin Salim Al-Anbary
b. Abdul Aziz bin Muhammad al-Anshary
c. Khalid bin Yusuf an-Nabilisy
d. Ibrahim bin Ishaq at-Tanukhy
e. Abdurrahman bin Umar al-maqdisy
3. Di bidang ilmu nahwu dan Lughah beliau berguru pada:
a. Akhmad bin Salim al-Mishry
b. Izzuddin al-Maliky
Pada tahun 651 h ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke madinah dan menetap disana satu setengah bulan lalu kembali ke Damaskus pada tahun 665 H ia mengajar di Dar al-Hadits al-Asyrafiyyah ( Dimasqy ) dan menolak untuk mengambil gaji.
2. Aktifitas Keilmuan Dan Karya-Karya Imam An-Nawawi
a. Iklim Keilmuan
Dari sisi pengalaman intelektualnya setelah bermukim di Damaskus terdapat karakteristik yang sangat menonjol:
1). Kegigihan dan keseriausannya di dalam menunutut ilmu sejak kecil hingga menginjak dewasa
Ilmu adalah segala-galanya bagi an-Nawawi sehingga dia merasakan kenikmatan yang tiada tara di dalamnya. Beliau amat serius ketika membaca dan menghafal. Beliau berhasil menghafal kitab al-tanbih dalam waktu empat bulan setengah. Sedangkan waktu yang tersisa lainnya dapat beliau gunakan untuk menghafal seperempat permasalahan ibadah dalam kitab al-Muhadzdzab karya as-Saerozy. Dalam tempo yang relatif singkat itu pula, beliau berhasil membuat decak kagum sekaligus meraih kecintaan gurunya, Abu Ibrahim Ishaq bin Akhmad al-Maghriby, sehingga menjadikannya sebagai wakilnya di dalam halaqah pengajian yang dia pimpin bila mana berhalangan.
2). Keluasan Ilmu dan wawasannya
Megenai bagaimana beliau memanfaatkan waktu, seorang muridnya, ‘Alauddin bin al-‘Athar bercerita, “ pertama, beliau dapat membacakan 12 pelajaran setiap harinya kepada para Syaikhnya beserta syarah dan tash-hihnya, kedua, pelajaran terhadap kitab al-wasith, ketiga, terhadap kitab al-Muhadzdzab, keempat, terhadap kitab al-Jam’u bayna ash-Shalihin, kelima, terhadap kitab Shahih Muslim, keenam, terhadap kitab al-Luma’ karya Ibnu Jinny didalam ilmu nahwu, ketujuh, terhadapkitab Ashlah al-manthiq karya ibnu as-Sukait didalam ilmu linguistik (bahasa), kerelapan, didalam ilmu sharaf, kesembilan, didalam ilmu ushul fiqih, kesepuluh, terkadang kitab al-luma karya Abu Ishaq dan terkadang terhadap kitab al-Munthahah karya al-Fakhrur Eazy, kesebelas, di dalam asma ar-Rijal, kedua belas, didalam itab ushuluddin. Beliau selalu menulis syarah yang sulit dari setiap pelajaran tersebut dan menjelaskan kalimatnya serta meluruskan ejaannya.
3). Produktif didalam menelurkan karya tulis
Beliau telah berminat terhadap dunia tulis menulis dan menekuninya pada tahun 660 H saat baru berusia 30-an. Dalam karya-karyanya beliau tersebut akan didapati kemudahan di dalam mencernanya. Keunggulan dida;am argumentasinya, kejeasan didalam kerangka berfikirnya serta keobyektifkannya didalam memaparkan pendapat-penadapat fuqaha. Buah karyanya tersebut sampai sekarang selalu menjadi bahan perhatian dan diskusi setiap muslim serta selalu digunakan sebagai rujukan di hampir seluruh belantara dunia islam.
b. Karir Keulamaan Imam An-Nawawi
Pada tahun 665 H saat berusia 34 tahun, beliau sudah menduduki posisi Syaikh di Dar al-Hadits dan mengajar disana. Tugas ini tetap dijalani nya hingga beliau wafat. Karya ilmiayahnya sangat banyak dan di jadikan rujukan kaum muslimin hingga saat ini. Diantarnya Riyadush Shalihin, syarah Muslim, Syarah sunan Abu daud, ar-raudhah, tahdibul asna wa sifat, mukhtasat al-tirmidzi, tabaqat asy-syafi’iyah, muhimatul akhkam, al-adzkar, at-tibyan fi adab hamaltul qur’an, al-minhaj dan tentu saja kitab arbain. Karya tersebut merupakan bukti kecemerlangan beliau.
Kehidupannya dihabiskan untuk berbakti kepada penyebaran dan perkembangan ilmu pengetahuan islam. makan minumnya hanya sekali dalam sehari, sekedar memelihara kesehatan badannya.
Hidupnya sangat sederhana, ini bisa disaksikan dari pakiannya yangh sangat sederhana. Tidak suka memakan buah-buahan karena khawatir mengantuk yang mengganggu aktifitasnya. Ada juga riwayat lain yang menjelaskan bahwa keengganannya makan buah-buahan bukan semata khawatir mengantuk tetapi karena buah-buahan di Damsyiq waktu itu banyak mengandung syubhat.
Beliau dikenal sebagai seorang yang bertaqwa menurut arti sepenuhnya, karena wara dan kebersihan jiwanya. Ia seorang ulama yang senang ditemui. Sepanjang hayatnya selalu istiqamah dalam menjalankan kewajiban menyebarkan ilmu dengan mengajar dan mengarang. Sentiasa beribadah ditengah-tengah kehidupannya dipenuhi oleh usaha dan amal shaleh terhadapa agama, masyarakat dan umat.
c. Karya-karya Imam an-Anwawi
Sebagai mana dijelaskan sebelumnya bahwa imam an-Nawawi merupakan tipe ulama atau intelektual yang menguasai berbagai cabang ilmu. Penguasaannya terhadap berbagai cabang ilmu tersebut terihat dari bebrapa karya yang ditulisnya. Ia merupakan tipe ulama yang banyak melahirkan karya tulis, karir kepenulisannya bahkan sudah dimulai ketika ia berusia 30 tahun.
Pada bagian ini penulis paparkan kitab-kitab yang ditulis oleh Imam an-Nawawi yang dibagi dalam dau karakteristik, yaitu:
a). kitab-kitab yang berhasil beliau tulis sampai selesai adalah:
1). Ar-Raudhah ( Raudhatut Thalibin)
2). Al-Minhaj, Mukhtasar Muharar fi al-Fiqh
3). Daqaiqul Minhaj
4). Al-mansikul Kubra
5). Al-Manasikul as-Sughra
6). At-Tibyan fi Hamaltil Qur’an
7). Tashihul Tanbih
8). An-Nukat Ala Tanbih
9). Al-Fatawa
10). Al-adzkar
11). Syarah Shahih Muslim
12). Riyadh as-Shalihin
13). Al-Arba’in
14). Syarah al-Arba’in
15). Thabaqat al-Fuqaha
16). Tahdzibul Asma’ wa al-Lughah
17). Tashnif fi al-istisqa’ wa fi istihbab al-Qiyam li Ahli al-Fadhl
18). Mukhtasar al-Tashrif al- istisqa’

b). Kitab-kitab yang tidak sempat beliau tulis sampai selesai adalah:
1). Syarah al-Muhadzdzab
2). At-Tahqiq
3). Syarah Muhawal ‘ala at-Tanbih
4). Syarah al-Wasith
5). Al-Isyarat ila mawaqa’a fi ar-Raudhah min Al-Asma wa al-Ma’ani wa Lughah
3. Pandangan An-Nawawi Mengenai Hadits
Adapuin pandangan Imam an-nawawi tentang hadits terdapat dalam muqqadimah kitab al-arbain an-nawawiyah, dalam kitab tersebut Imam-an-Nawawi mengatakan kesepakatan ulama membolehkan menggunakan hadits dho’if hanya untuk tema-tema fadhailul a’mal, targhib wa Tarhib, dan hal-hal semisal demi mengalakan amal shaleh dan kelembutan hati dan akhlak tetapi pemboehan ini pun bersyarat, yakni: tidak terlalu dha’if, tidak bertentangan dengan tabiat umum agama islam, dan jangan menyandarkan atau memastikan dari Rasulullah saw ketika mengamalkannya .
Pendapat an-Nawawi ini dibenarkan oleh bebrapa ulama seperti Ibnu Hajar Al-Haitami dalam fathul Mubin dan Syaeikh al-Ghumari dalam al-Qaul al-Muqni, sedangkan mereka yang bersebrangan dengan pendapat Imam an-Nawawi, merujuk kepada pendapat al-Allamah al-Qasimi dalam al-Qawaid al-tahdits. Dlam kitab ini beliau menyatakan bahwa beberapa ulama menolak penggunaan hadits dha’if dalam Fadhail. Disebutkan dalam kitab tersebut merek yang menolak antara lain al-Bukhari, Muslim, Yahya bin Ma’in serta Ibnu Arabi



B. Karateristik Kitab Arbain Nawawi
Kitab ini di susun dari kumpulan hadits sebanyak empat puluh dua hadits yang di dalamnya membahas tentang berbagai masalah dari mulai ibadah, keimanan, keislaman, dan lain sebagainya.
Salah seorang ulama tersohor yang banyak menulis karyanya di berbagai bidang ilmu, terutama di bidang hadits dan kepakarannya tidak perlu diragukan lagi adalah al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi. Dan termasuk karya monumental beliau di bidang hadits yang banyak dibaca orang, ditelaah para ulama dan kemudian ditulis syarah-syarahnya adalah kitab al-Arba'in an-Nawawiyyah.
Empat puluh dua hadits yang dikumpulkan oleh Imam an-Nawawi memiliki kedudukan yang agung, karena semua itu merupakan sabda-sabda Rasulullah -Sholallahu Alaihi Wassalam- yang sangat bermanfaat dalam kehidupan kaum Muslimin. Alloh -Subhanahu Wa Ta'ala- telah memberikan karunia kepada Rasulullah -Sholallahu Alaihi Wassalam- Al jawaami'ul kalim (perkataan ringkas memiliki makna yang padat dan luas). Nabi -Sholallahu Alaihi Wassalam- bersabda:
"Aku diberikan pembuka perkataan (kefasihan), perkataan ringkas namun maknanya padat dan luas, dan penutup perkataan. “
Setiap hadits dalam Arba'iin an-Nawawiyyah ini mengandung ilmu yang bermanfaat, serta kaidah-kaidah agama, dan faidah-faidah yang sangat agung. Barang siapa yang diberikan oleh Allah Ta'ala taufiq untuk menghafalnya dan memahaminya, maka ia telah mendapatkan bagian yang sangat banyak dari warisan para Nabi ini, juga ia mampu untuk menguasai beberapa perkara agamanya.
Kaum Muslimin yang dahulu maupun sekarang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap hadits Arba'iin ini, baik dari segi hafalan maupun kurikulum di ma'had-ma'had, pondok-pondok pesantren, dan sekolah-sekolah Islam. Bahkan, para ulama terdahulu dan sekarang telah banyak mengajarkan dan menjelaskan hadits-hadits ini kepada umat Islam dan mereka juga telah men-syarah (menjelaskan) hadits Arba'iin ini, di antara mereka adalah:
1. Imam an-Nawawi (wafat th. 676 H), yang sekaligus sebagai penulis dari hadits Arba'iin.
2. Imam Ibnu Daqiqil 'led (wafat th. 702 H)
3. Imam Ibnu Rajab (wafat th. 795 H), dalam kitabnya Juami'ul 'Uluum wal Hikam
4. Imam Ibnul Mulaqqin (wafat th. 804 H)
5. Syaikh 'Abdurrahman as-Sa'di (wafat th. 1376 H).
6. Syaikh Muhammad Hay at as-Sindi (wafat th. 1163 H).
7. Dr. Musthafa al-Bugha dan Mukyiddin Mistu.
8. Nazhim Muhammad Sulthan
9. Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin (wafat th. 1421 H).
10. Syaikh 'Abdul Muhsin al-'Abbad
11. Syaikh Shalih al-Fauzan
12. Syaikh Shalih Alu Syaikh
Syarah Arbain An-Nawawi memuat empat puluh dua hadits nabi tentang fondasi ajaran islam dan faedah-faedahnya, adapun kareteristik kitab ini adalah sebagai berikut:
. 1. Menjelaskan kedudukan setiap hadits menurut para ulama ahli hadits, terutama mengambil dari kitab-kitab ahli hadits Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani -rahimahulloh-
2. Memberikan judul di setiap masalah yang dikandung hadits tersebut dan menjelaskannya.
3. Menyebutkan kaidah-kaidah dan faidah-faidah hadits yang disimpulkan oleh para ulama dan para masyayikh.
Banyak hal yang diungkap dalam kitab ini, mulai dari masalah akidah hingga akhlak. Di antaranya hadits tentang peran niat dalam amal, hadits Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan, rukun Islam, menolak kemungkaran dan bid'ah, tentang malu, serta tema-tema lainnya yang tentunya menjadi salah satu pedoman bagi kaum Muslimin dalam kehidupannya.
.Sebagaimana diungkap oleh penulis, metode penyusunan kitab ini memiliki beberapa kekhasan; antara lain; penulis memberi judul pada setiap hadits, mentakhrij dan menjelaskan kedudukan setiap hadits, mensyarahnya, selanjutnya disebutkan kaidah-kaidah dan faedah-faedah setiap hadits yang disimpulkan oleh para ulama dan masyayikh, serta tidak lupa juga penulis mencantumkan referensi-referensinya.
Di antara hal yang juga dinilai merupakan kelebihan dari kitab ini di banding kitab-kitab sejenisnya adalah dari sisi metode penyusunannya dan cakupan materinya yang lebih lengkap.
C. Metedologi Kajian Kiatb Arbain Nawawi Di Pondok Al-Husna
Sebagaimana halnya kurikulum yang ada di pondok-pondok pesantren, proses pembelajaran madrasah atau sekolah yang di selenggarakan oleh pondok pesantren juga menggunakan metode pembelajaran yang sama dengan metode pembelajaran di madrasah atau sekolah lain, di luar pondok pesantren. Metode pembelajaran yang di gunakan di lembaga pendidikan formal lain yang di selenggarakan oleh pondok pesantren, selain madrasah dan sekolah, pada umumnya mengikuti metode yang berkembang di madrasah atau sekolah.
Proses pembelajaran di pondok pesantren salafiyah ada yang menggunakan metode yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang di selenggarakan menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode pembelajan asli (original) pondok pesantren. Disamping itu ada pula yang menggunakan metode pembelajaran modern. Metode pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak selalu diikuti dengan menerapkan sistem modern, yaitu sistem sekolah atau madrasah.
Berikut ini beberapa metode pembelajaran tradisional yang menjadi ciri utama proses pembelajarn di pondok pesantren salafiyah :
a. Metode Sorogan
Sorogan, berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang berarti menyodorkan, sebab setiap santri menyodorkan kitabnya di hadapan kiai atau pembantunya (badal. Asisten kiai). Sistem sorogan ini termasuk belajar secara individual, dimana seorang seorang santri berhadapan langsung dengan seorang guru, dan terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. Sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim.
Pembelajaran dengan sistem sorogan biasanya diselenggarakan pada ruang tertentu. Ada tempat duduk kiai atau ustadz, di dapannya ada meja pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap. Santri-santri lain, baik yang mengaji kitab yang sama ataupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kiai atau ustadz sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran di panggil.
Metode pembelajaran ini termasuk metode pembelajaran yang sangat bermakna karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaan kitab di hadapan kiai. Mereka tidak hanya senantiasa dapat dibimbing dan diarahkan cara membacanya tetapi dapat dievaluasi perkembangan kemampuannya.
Metode sorogan adalah bagian wajib dalam pesantren. Metode ini telah menjadi bagian pembelajaran pesantren dari berabad-abad tahun yang lalu. Seiring perkembangan dalam dunia pendidikan seperti munculnya sekolah-sekolah binaan pemerintah bahkan sampai sekolah yang bertaraf nasional dan internasional, pesantren tetap konsisten dengan metode khasnya itu. Memang seakan terjadi stagnasi disini. Dimana lembaga-lembaga pendidikan modern banyak bermunculan dengan menggembar-gemborkan standar dan mutu kualitas masing-masing, justru pesantren tetap istiqomah dengan metode klasikalnya.
b. Metode Wetonan/Bandongan
Wetonan, istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu, sebab pengajian tersebut diberikan pada waktu-waktu tertentu, yaitu sebelum dan sesudah melakukan shalat fardu. Metode weton ini merupakan metode kuliah, dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran secarah kuliah, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan padanya. Istilah wetonan ini di jawa barat di sebut dengan bandongan.
Sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan metode ini, biasanya dilakukan langkah-langkah berikut ini: Kiai menciptakan komunikasi yang baik dengan para santri. Memperhatikan situasi dan kondisi serta sikap para santri apakah sudah siap untuk belajar atau belum?
Seorang kiai atau ustadz dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membaca teks arab gundul kata demi kata disertai dengan terjemahannya dan pembacaan tanda-tanda khusus (seperti “utawi”, “iku”, “sopo” dan sebagainya) pada topik/pasal tertentu disertai pula dengan penjelasan dan keterangan-keterangan.
Pada pembelajaran tingkat tinggi, kiai atau ustadz kadang-kadang tidak langsung membaca dan menerjemahkan, tetapi menunjuk secara bergiliran kepada para santrinya untuk membaca dan menerjemahkan sekaligus menerangkan suatu teks tertentu.
Setelah menyelesaikan pembacaan pada batasan tertentu, kiai atau ustadz memberi kesempatan kepada para santri untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas. Jawaban dilakukan langsung oleh kiai atau ustadz atau memberi kesempatan terlebih dahulu pada para santri yang lain.
Sebagai penutup kiai atau ustadz menjelaskan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ditarik dari kegiatan pembelajaran yang telah berlangsung. Untuk mengevaluasi kegiatan pembelajaran diatas, seoorang kiai/ustadz biasa melakukannya melalui dua macam tes. Pertama: pada setiap tatap muka atau pada tatap muka tertentu. Kedua: pada saat telah dikhatamkannya pengkajian terhadap suatu kitab tertentu.
c. Metode Musyawarah/Bahtsul Masa’il
Metode musyawarah atau dalam istilah lain BahtsulMasa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh kiai atau ustadz, atau mungkin juga santri senior, untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang yang telah ditentukan sebelumnya.
Untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode ini, kiai atau ustadz biasanya mempertimbangkan ketentuan-ketentuan berikut: Peserta musyawarah adalah para santri yang berada pada tingkat menengah atau tinggi. Peserta musyawarah tidak memiliki perbedaan kemampuan mencolok. Ini di maksudkan sebagai upaya untuk mengurangi kegagalan musyawarah. Topik atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan biasanya di tentukan terlebih dahulu oleh kiai atau ustadz pada pertemuan sebelumnya. Pada beberapa pesantren yang memiliki santri tingkat tinggi, musyawarah dapat dilakukan secara terjadwal sebagai latihan untuk para santri.
d. Metode Pengajian Pasaran
Metode pangajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pnegkajian materi (kitab) tertentu pada seorang kiai/ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (maraton) selama tenggang waktu tertentu.
Dalam prespektif lebih luas, pengajian pasaran ini dapat dimaknai sebagai proses pembentukan jaringan-jaringan kitab-kitab tertentu diantara pesantren-pesantren yang ada. Mereka yang mengikuti pengajian pasaran di tempat tertentu akan menjadi bagian dari jaringan pengajian pesantren itu. Dalam konteks pesantren hal ini amat penting karena akan memperkuat keabsahan pengajian di pesantren-pesantren para kiai yang telah mengikuti pengajian pasaran itu.
e. Metode Hafalan (muhafadzah)
Metode hapalan metode hapalan adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu dibawah bimbingan dan pengawasan kiai/ustadz. Para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam waktu tertentu. Hafalan yang dimiliki santri ini kemudian dihafalkan kepada kiai atau ustadz secara periodik atau insidental tergantung pada kiai atau ustadz yang bersangkutan.
Titik tekan metode ini adalah santri mampu mengucapkan atau melafalkan kalimat-kalimat tertentu secara lancar pada teks. Pengucapan tersebut dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok. Metode ini dapat juga di gunakan dengan metode bendongan atau sorogan.
Untuk mengevaluasi kegiatan belajar dengan metode ini dilakukan dengan dua macam evaluasi. Pertama : dilakukan pada setiap kali tatap muka, yang kedua: pada waktu telah dirampungkan/diselesaikannya seluruh hafalan yang ditugaskan pada santri.
f. Metode praktek ibadah.
Metode ini adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan (mendemontrasikan) suatu keterampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok dibawah petunjuk dan bimbingan kiai atau ustadz, dengan contoh kegiatan sebagai berikut : Para santri mendapat penjelasan/teori tentang tata cara pelaksanaan ibadah yang akan di praktekkan sampai mereka betul-betul memahaminya. Para santri berdasarkan bimbingan kiai/ustadz mempersiapkan segala peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk kegiatan praktek.
Setelah menentukan waktu dan tempat para santri berkumpul untuk menerima penjelasan singkat berkenaan dengan urutan kegiatan yang akan dilakukan serta pembagian tugas kepada para santri berkenaan dengan pelaksanaan praktek. Para santri secara bergiliran/bergantian memperagakan pelaksanaan praktek ibadah tertentu dengan dibimbing dan diarahkan oleh kiai atau ustadz sampai benar-benar sesuai kaifiat (tata cara pelaksanaan ibadah sesungguhnya). Setelah selesai kegiatan praktek ibadah para santri diberi kesempatan mempertanyakan hal-hal yang dipandang perlu selama berlangsung kegiatan.
Dari semua jenis metode yang telah di paparkan diatas, pengajian kitab arbain an-Nawawi ini yang di praktekan di pondok pesantren Al-Husna Banjaran kota Kediri adalah metode bandungan atau wetonan dimana seorang ustad menerangkan dan para santri mendengarkannya.
Pengajian ini di laksanakan seminggu sekali yakni pada hari senin yang di asuh oleh ustadz Shobir Daelami di dalam penyampaian cara yang di tempuh adalah dengan sistem maudui’ yakni membahas satu masalah dengan tuntas. Tidak dengan hanya mengikuti syarah yang sudah ada.









BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pengarang kitab arbain an-Nawawi nama lengkapnya adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilminya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah didekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama.
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis.
2. Kitab Arbain an-Nawawi ini di susun dari kumpulan hadits sebanyak empat puluh dua hadits yang di dalamnya membahas tentang berbagai masalah dari mulai ibadah, keimanan, keislaman, dan lain sebagainya.
Salah seorang ulama tersohor yang banyak menulis karyanya di berbagai bidang ilmu, terutama di bidang hadits dan kepakarannya tidak perlu diragukan lagi adalah al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi -rahimahulloh- . Dan termasuk karya monumental beliau di bidang hadits yang banyak dibaca orang, ditelaah para ulama dan kemudian ditulis syarah-syarahnya adalah kitab Arba'in an-Nawawiyyah.
Empat puluh dua hadits yang dikumpulkan oleh Imam an-Nawawi –rahimahulloh memiliki kedudukan yang agung, karena semua itu merupakan sabda-sabda Rasulullah -Sholallahu Alaihi Wassalam- yang sangat bermanfaat dalam kehidupan kaum Muslimin.
Sebagaimana diungkap oleh penulis, metode penyusunan kitab ini memiliki beberapa kekhasan; antara lain; penulis memberi judul pada setiap hadits, mentakhrij dan menjelaskan kedudukan setiap hadits, mensyarahnya, selanjutnya disebutkan kaidah-kaidah dan faedah-faedah setiap hadits yang disimpulkan oleh para ulama dan masyayikh, serta tidak lupa juga penulis mencantumkan referensi-referensinya.
Di antara hal yang juga dinilai merupakan kelebihan dari kitab ini di banding kitab-kitab sejenisnya adalah dari sisi metode penyusunannya dan cakupan materinya yang lebih lengkap.
3. Proses pembelajaran di pondok pesantren salafiyah ada yang menggunakan metode yang bersifat tradisional, yaitu metode pembelajaran yang di selenggarakan menurut kebiasaan yang telah lama dilaksanakan pada pesantren atau dapat juga disebut sebagai metode pembelajan asli (original) pondok pesantren. Disamping itu ada pula yang menggunakan metode pembelajaran modern. Metode pembelajaran modern merupakan metode pembelajaran hasil pembaharuan kalangan pondok pesantren dengan memasukkan metode yang berkembang pada masyarakat modern, walaupun tidak selalu diikuti dengan menerapkan sistem modern, yaitu sistem sekolah atau madrasah.
Secara umum metode yang di gunakan di pondok pesantren adalah Metode Musyawarah/BahtsulMasa’il, Merode Bandongan/Wetonan, Metode Pengajian Pasaran, Metode Sorogan, Metode Hafalan (muhafadzah), Metode praktek ibadah, Dari semua jenis metode yang telah di paparkan diatas, pengajian kitab arbain an-Nawawi ini yang di praktekan di pondok pesantren Al-Husna Banjaran kota Kediri adalah metode bandungan atau wetonan dimana seorang ustad menerangkan dan para santri mendengarkannya.


B. Saran-Saran

Setelah mengadakan penelitian di pondok pesantren Al-Husna Banjaran kota Kediri, maka di sini penulis akan sedikit memberikan saran-saran atau masukan yang mungkin berguna bagi santri, pengasuh pondok pesantren Al-Husna Banjaran kota Kediri guna meningkatkan kualitas kegiatan yang sudah berjalan.
Kepada para santri agar lebih ditingkatkan interaksinya dengan masyarakat sehingga hubungan santri dan warga masyarakat makin baik dan harmonis. Dan setelah selesai belajar dari pondok bisa mengembangkan, menggunakan, menempatkan diri serta mengamalkan ilmunya di manapun berada sehingga ilmu yang telah didapat selama belajar di pondok dapat bermanfaat dan diabdikan.
Kepada pengasuh, supaya ditingkatkan integrasi pondok dengan masyarakat luar pada umumnya dan masyarakat Banjaran kota kediri pada khususnya, sehingga keberadaan pondok dan segala aktifitasnya dapat dirasakan oleh masyarakat luas dan tidak hanya terbatas pada masyarakat Banjaran kota Kediri.


C. Kata penutup
Dengan mengucap syukur alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas pondok pesantren petunjuk dan hidayah-Nya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas penelitian ini, dengan menyadari keterbatasan dan kemampuan penulis dalam penulisan tugas praktek ini masih banyak kekurangan dan kesalahan. Maka penulis mengharapkan dan akan sangat menghargai saran serta kritik demi kesempurnaan penulisan di masa mendatang.
Akhirnya penulis berharap semoga tugas praktek ini bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca pada umumnya serta dapat menambah khasanah perbendaharaan pondok pesantren. Amin.













DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Wahid, Menggerakan Tradisi ; Esai-esai Pesantren, (Yogyakarta, LKiS, 2001)
__________. Bunga Rampai Pesantren. (CV. Dharma Bakti).
__________. Pondok Pesantren Masa Depan.( Bandung : Pustaka Hidyah. 1999).
Abdul fatah Abu Ghuddah, Nilai waktu menurut ulama ( Jakarta: Pusat Amani, 1996),22
Departemen Agama RI, Pola Penyelenggaraan Pesantren Kilat, Pendidikan Singkat Ilmu-Ilmu Agama Islam ,2003,
Haidar Putra Daulay). Historitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah. (Yogyakarta : PT. Tiara Wacana. 2001)
__________, Historisitas dan Eksistensi Pesantren, Sekolah, dan Madrasah, (Yogyakarta : PT Tiara Wacana, 2001),
Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : PT Cemara Indah,) 1978
Muhammad Alan Al-Shidiqi, Dalilul Falihin Li Turuqi Riyadh Ash-Shalihin, (Beirut: Dar al Fiqr. Tt)
Musthofa Sa’id al-Khin, Nazhah al- Muttaqin Syarah Riyadh ash-Sholihin (beirut: muassasah ar-risalah 1993) 11
M. Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan,(Jakarta : Prasasti, 1996)21
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren. (Jakarta : INIS. 1994)..
Marzuku Wahid. Pesantren di Zaman Pembangunanisme. (Bandung : Pustaka Hidayah. 1999 ).
M.M. Billah. Pikiran Awal Pengembangan Pesantren. ( Jakarta : 1985)
M. Dawam Raharjo , Pergaulan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah (Jakarta : P3M),
Sulthan Masyhud dan Khusuridho, Manajemen Pondok Pesantren,(Jakarta : Diva Pustaka, 2003),
Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,(Jakarta: LP3ES), 1984
Anas Burhanuddin, Biografi imam an-Nawawi, www.muslim.or.id diakseses tanggal 15 April 2011
Bahrul ulum, Imam an-Nawawi, Imam hadits yang zuhud. www.impasonline.com
http://www.asfranza.co.cc/2010/07 al-Imam nawawi seorang alim penasehat. Diakses 15 April 2011
Syadzaratudz Dzahab bab : Sunatu Tsamanina wa Sitimiah ( CD ROM : al-maktabah al-Shamilah, Digital) V 354
Hadits Web Disusun Oleh Sofyan Efendi, Kunpulan Dan Referensi Belajar Hadits.

2 komentar: