Total Tayangan Halaman

Sabtu, 24 Desember 2011

Nasehat

Ajarilah anak-anak anda berenang sebelum menulis, sebab mereka bisa mudah menemukan orang yang bersedia menulis untuk mereka tapi tidak berenang untuk mereka
sesungguh nya akal pikiran manusia tersembunyi pada bawah lidahnya
kalau tidak karena kata kata aku tidak tahu yang menyebabkan aku tahu maka aku tidak mengatakan apa yang tidak aku tahu
ampunan adalah perbuatan unik ia dapat menghangatkan hati dan menyejukan jiwa serta mengobati luka lara
ancaman atau balas dendam adalah janji yang lebih baik bila tidak di tepati
orang yang baik adalah orang yang merendahkan dirinya di depan umum dan memuji dirinya di depan kaca
orang yang menderita adalah orang yang luas pengetahuannya tinggi cita citanya namun rendah kemampuannya

Rabu, 07 Desember 2011

TAFSIR AHKAM DAN KONTEKSTUALISASI HUKUM ISLAM

A. Pendahuluan

Al-Qur’an bukan hanya pedoman agar manusia menjadi orang yang bertaqwa (QS,2 : 3), ia juga merupakan pedoman bagi setiap manusia (QS. 2:185) serta ia merupakan kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS, 14:1).
Teks Al-Qur’an sudah jelas ia terkumpul dalam suatu mushhap yang berisi 114 surat dimulai dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nas yang terdiri dari 30 juz. Nabi SAW yang diutus sebagai nabi terahir dan untuk seluruh umat telah wafat dan teks Al-Qur’an dengan sendirinya berhenti, namun al-waqa’i (kejadian-kejadian) akan terus berlangsung, maka untuk itu penafsiran terhadap Al-Qur’an akan sangat berperan.
Al-Qur’an selain berbentuk teks (tersurat), dalam perjalanannya juga memiliki konteks (tersirat). Menurut Chozin Nasuha([1])
1. Teks Qur’an memiliki kaitan dengan konteks dengan kitab-kitab samawi
2. Qur’an memiliki kaitan konteks dengan sunah rasulullh SAW
3. Qur’an turun dengan dilatar belakangi oleh kebutuhan yang terstruktur
4. Teks Qur’an banyak redaksinya yang berdekatan satu sama lain, dan beberapa ayat qur’an banyak yang memiliki multitafsir. Maka karena itu mufassir memerlukan pemikiran (ijtihad) yang dapat menyamakan satu penafsiran dengan penafsiran yang ada, atau mencari satu penafsiran baru yang dianggap lebih baik dan manfaat
5. Pemaknaan terhadap Al-qur’an memiliki konteks yang didorong oleh realitas.
Adapun Metode kontektualisasi “Ulum al-Qur’an” menurut beliau ([2]) adalah:
1. Mempelajari entittas kehidupan masyarakat, ketika ‘Ulum al-Qur’an itu dirumuskan . Dalam kaitan ini ‘Ulum al’Qur’an pada mulanya berdialog dengan kebutuhan masyarakat , sehingga terjadi rumusan yang diperlukan (das solen), Kini berbeda dengan kenyataan (das sein)
2. Tuntutan kontekstualisasi Ulum al-Qur’an bekenaan dengan faktor diterminan terhadap perubahan sosial, mencakup lingkungan alam fisik , kebudayaan, pola interaksi masyarakat dan teknologi.
3. Proses kontektualisasi dilakukan melalui musyawarah, atau diskusi, seminar dan sebagainya, sampai terjadi ijma kontemporer, atau terjadi rumusan yang berani meskipun akibatnya dia dituduh bid’ah, sekuler, atau aliran kiri dan lain sebagainya.
4. Bentuknya bisa berkaitan dengan tambahan, atau modifikasi, atau perubahan, sepertii nasikh-mansukh dirubah menjadi kontektualisasi , muhkan mutasyabaih dapat berubah karena ada paradigma baru dan lain sebagainya.
Metode penafsiran Al-Qur’an yang dapat ditempuh adalah metode Hermeneutis( [3]), bila diintegrasikan dengan metode penafsiran teks hukum, maka antara lain digunakan metode gramatis, ekstensif, sistematis, teleologis, atau sosio-historis (takwin) atau analogis (qiyas) dengan alat bantu ilmu ushul fiqh.([4])
Hukum-hukum yang dikandung dalan Al-Qur'an terbagi dalam tiga jenis yaitu; hukum-hukum tentang keimanan (i'tiqadiyyah), tentang keislaman ('amaliyah) dan tentang ke ihsanan (khuluqiyyah) ([5]). ketiga hal tersebut bisa disebut dengan : tauhid, fiqh dan tasawwuf dan hampir sejajar dengan; Iman, islam dan ihsan; Ilmu, Amal dan ikhlash al-niyat.([6])
Ketiga hukum kandungan Al-Qur'an itu di isyarahkan Allah Yang Maha Bijaksana dalam surat al-Fatihah, surat pertama atau "pendahuluan" dalam istilah yang digunakan oleh para penulis dalam tulisan ilmiahnya.
Masalah 'itiqadiyah digambarkan Allah dalam surat al-Fatihah ayat 1 s.d 4,
masalah 'amaliyah ayat 5 dan 6, sedang masalah khuluqiyyah diisyarahkan dalam
ayat ke tujuh.
Masalah amaliah dalam al-Qur'an terdiri dari dua jenis pertama masalah ibadah (hubungan manusia dengan Tuhan pencipta) dan masalah mu'amalah (hubungan antara sesama manusia).

B. Tafsir Ahkam
Tafsir menurut bahasa (lughat) mengikuti wazan taf'il, berasal dari akar kata al- Fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau menerangkan makna yang abstrak([7]). Adapun tafsir menurut istilah sebagaimana didefinisikan Abu Hayyan ialah([8]): "Ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafaz-lafaz Qur'an, tentang petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun dan makna-makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun serta hal-hal lain yang melengkapinya.
Menurut az-Zarkasyi: "Tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.([9])
Menurut Chazin Nasuha([10]): Tafsir secara etimologis ulama berbeda pendapat, tapi kesimpulannya sama yaitu tafsir ialah ungkapan sesuatu yang tersembunyi melalui medium yang dianggap sebagai tanda bagi mufasir, melalui tanda itu, ia dapat sampai pada sesuatu yang tersembunyi. Tafsir dan ta’wil yang baik adalah tafsiran yang dikontekstualisasikan pada kepentingan masyarakat umum.
Seorang mufassir sering terbentur pada pengertian tentang tafsir Qur’an, karena dilingkari oleh konteks yang sering berubah dan tidak tetap, sehingga mufassir membutuhkan kejelian ketika ia akan masuk didalamnya. Perubahan konteks dan sistem kehidupan masyarakat menjadikan makna penafsiran tidak satu, bahkan relatif, tergantung kapan dan siapa yang menyusun konsep.
Tafsir sebagai usaha manusia untuk bisa memahami pesan-pesan Allah dalam Al-Qur’an, telah mengalami perkembangan. Sebagai hasil karya manusia timbul aneka ragam corak penafsiran. Keaneka ragaman itu ditimbulkan dari berbagai hal, diantaranya perbedaan kecenderungan, motifasi penafsir, perbedaan
misi yang diemban, perbedaan ragam keilmuan yang dikuasai penafsir , perbedaan zaman dan lingkungan yang berada disekitar penafsir, perbedaan situasi dan kondisi yang dihadapi, situasi politik saat itu dan lain sebagainya. Keadaan seperti itu menimbulkan berbagai corak penafsiran yang kemudian berkembang menjadi aliran tafsir yang bermacam-macam.
Kegunaan tafsir Qur’an ada dua, yaitu teoritika dan praktika. Kegunaan teorika adalah untuk mengembangkan metodologi tafsir Qur’an dalam rangka memberikan wawasan ke depan yang berkaitan dengan teori dan metodologi. Sedangkan kegunaan praktika adalah berhubungan langsung dengan penerapan tafsir Qur’an kepada person dan masyarakat. ([11])
Menurut M. Quraisy Shihab, ada dua bentuk metode penafsiran al-Qur’an: Pertama metode tahlili atau tajizi-i dan kedua metode maudhui (tematik) atau tauhidi (kesatuan). Metode maudhu’i , walaupun benihnya telah dikenal sejak masa Rasul SAW., namun ia baru berkembang jauh sesudah masa beliau. Metode tahlili lahir jauh sebelum metode maudhu’i. Metode tahlili dikenal sejak tafsir Al-Farra (W.206 H), atau Ibnu Majah (w. 273 H), atau paling lambat Ath-Thabari (w 310 H).([12])
Dilihat dari sumber penafsirannya, tafsir terbagi pada tafsir bi al-ma’tsur yang juga dikenal dengan tafsir riwayat atau manqul bila sumber penafsirannya adalah riwayat dan tafsir bi al-ra’yi yang juga dikenal dengan tafsir dirayah atau ma’qul bila sumber penafsirannya adalah ijtihad.([13])
Said Agil Husin Al-Munawwar( [14]), sama halnya dengan Nashruddin Baidan([15]), membagi metode tafsir dalam:
1. Tafsir Tahlili (analitis), yang terbagi dalam;
a. Tafsir bi al-ma’tsur
b. Tafsir bi al-ra’yi
c. Tafsir shufi
d. Tafsir falsafi
e. Tafsir “ilmi
f. Tafsir adabi
2. Tafsir ijmali (global)
3. Tafsir muqarran (perbandingan), dan
4. Tafsir Maudhu’i (tematik)
Prasyarat menerapkan metode maudhu’i, menurut Quraisy Shibab, beliau kutip sebagaimana yang dipesankan Arkaoun pakar Muslim Aljajair ternama adalah keharusan “rendah hati”, Penafsir hendaklah merendahkan diri dihadapan Allah Tuhannya, berusaha merasakan kebesaran dan keagunganNya, sebab hanya Allahlah yang tahu tentang maksud apa yang difirmankanNya itu.([16]), disamping terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh mufassir.
Manna Khalil al-Qattan mencatat ada 9 syarat bagi mufassir dan 11 adab yang sebaiknya dimiliki oleh mufassir,([17])
Persyaratan mufassirin
1. Akidah yang benar,
2. bersih dari hawa nafsu,
3. menafsisrkan lebih dulu Al-Qur’an dengan Al-Qur’an,
4. mencari penafsiran dari al-Sunah,
5. apabila tidak menemukan tafsiran dari Sunah, hendaklah mencari penafsiran dari Shahabat,
6. bila tidak ditemukan tafsiran baik dlam Al-Qur’an, Sunah maupun pendapat Shahabat, periksa pendapat tabi’in,
7. mufassir harus tahu pengetahuan bahasa arab dengan segala cabangnya,
8. pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an,
9. pemahaman yang cermat sehingga mufassir dapat mengukuhkan sesuatu makna, atau menyimpulkan makna yang sejalan dengan nah-nas syari’at
Adab Mufassir
1. Berniat baik dan bertujuan benar,
2. berakhlaq mulia,
3. taat dan beramal,
4. berlaku jujura dan teliti dalam penukilan,
5. tawaddu dan lemah lembut,
6. berjiwa mulia,
7. vokal dalam menyampaikan kebenaran,
8. berepenampilan baik sehingga berwibawa,
9. bersikap tenang dan mantap,
10. mendahulukan orang yang lebih utama dari diriny,
11. mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara baik,
bila tidak dipenuhi syarat-syarat dan adab-adab penafiran, kemungkinan
terjadi kesalah, bahkan penyimpangan dari tafsirannya.
Muhammad Husein Adz-dzahabi([18]) mencatat penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran Al-Qur’an, meliputi:
1. Penyimpangan dalam tafsir para sejarawan,
2. penyimpangan dalam tafsir dari para ahli tata bahasa arab,
3. penyimpangan dalam tafsir dari orang-orang yang tidak menguasai kaida-kaidah bahasa Arab,
4. penyimpangan dalam tafsir Mu’tazilah
5. penyimpangan dalam tafsir orang-orang Syi’ah
6. penyimpangan dalam tafsir di kalangan Khawarij
7. penyimpangan dalam tafsir di kalangan para sufi,
8. penyimpangan dalam tafsir di kalangan para ilmuwan,
9. penyimpangan dalam tafsir di kalangan para pembaharu Islam
Ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an menurut Abdul Wahab Khalaf([19]) terdiri dari: al-ahwal al-syakhsiyyah 70 ayat, madaniyyah 70 ayat, jinayat 30 ayat, murafa 'at 13 ayat, dusturiyat 10 ayat, dauliat 25 ayat, iqtishshdiyah maliyah 10 ayat, sedang menurut Jajuni ([20]) ketentuan hukum dalam All-Qur’an, persentasenya tidak banyak, dengan kriteria Hukum Barat, hanya sekitar 3% dari jumlah ayat Al-Qur’an yang berisi aturan hukum.
Kitab-kitab tafsir yang memberi nama kitabnya dengan mencantumkan kata hukum ( ahkam ) dan biasa disebut dengan tafsir fiqh, diantaranya:
1. Ahkam Al-Qur’an karangan Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali ar-Razi yang terkenal dengan sebutan al-Jassas (abad ke empat), madhab Hanafi.
2. Ahkam Al-Qur’an karangan Abu Bukar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad al-Mu’arifi al-Isybili terkenal dengan sebutan Ibn ‘Arabi, madhab Maliki.
3. Al-Jami li ahkam al-Qur’an karangan Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh al-Ansari al-Khazraji al-Andulisi, madhab Maliki,
4. Al-Jami li ahkam Al-Qur’an Karangan imam Qurtubi,
5. Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Syekh Muhammad ‘Ali al-Sais
6. Tafsir Ayat al-Ahkam, karangan Syeikh Manna’ al-Qattan,
7. Rawa’i al-Bayan tafsir ayat al-Ahkam, karangan Muhammad ‘Ali al-Shabuni
Aturan-aturan hukum dalam al-Qur'an secara tafsili diturunkan setelah Nabi hijrah dari Makah ke Medinah (madaniyyah), sedangkan sebelum beliau hijrah (Makiyyah) Al-Qur'an berbicara sekitar; tauhid, pahala dan siksa, serta keutamaan akhlaq.
Penafsiran ulama mutaqadimin/ulama salaf yaitu mereka yang hidup sebelum tahun 300 H., sumber penafsiran diambil dari penafsiran Nabi SAW, penafsiran shahabat dan tabi’in yang dikelompokkan dalam tafsir bi al-ma’tsur, sedang ulama muta’akhirin/khalaf (hidup sesudah tahun 300 H), yaitu abad ke empat sampai abad ke 12, bukan hanya mengambil corak tafsir bi al-ma’tsur, tetapi mengembangkan dengan metode-metode kondisional.([21])
Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara tafsir di abad ke-1, ke-2 dan ke-3 (mutaqaddimin) dengan tafsir abad-abad selanjutnya. Penafsiran ulama mutaddimin senantiasa berpijak dan mengacu kepada inti dan kandungan Al-Qur’an itu sendiri.
Pada masa Rasul, shahabat menanyakan masalah-masalah yang tidak jelas pada beliau, setelah Rasul wafat shahabat-shahabat hususnya yang mempunyai kemampuan untuk ijtihad; seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Abbas, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab melakukan ijtihad sendiri.([22])
Pada masa tabi’in, mereka menafsirkan berdasarkan tafsir Nabi yang diriwayatkan oleh shahabat, hasil ijtihad shahabat , dan riwayat ahli Kitab, sedang dimasa Tabi’it tabi’in sama seperti masa tabi’in (tafsir Nabi yang diriwayatkan oleh shahabat, hasil ijtihad shahabat, riwayat ahli kitab) dan ijtihad serta atsar tabi’in.([23])

C. Kontekstualisasi Hukum Islam
Kontekstualisasi berarti mengontekstualkan, sedang kata konteks sendiri seperti dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia ([24]) berarti: Apa yang ada didepan atau dibelakang ( kata, atau kalimat, ucapan) yang membantu menentukan makna (kata, kalimat, ucapan dlsb). Oleh karena itu penulis mamaknai judul makalah: “Tafsir Ahkam dan Kontekstualisasi Hukum Islam “ dengan: Bagaimana memahami ayat Al-Qur’an tentang hukum yang turun pada situasi dan kondisi saat turunnya ayat tersebut bisa diterapkan pada saat ini.
Kita diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk mengontekstualisasikan teks ayat-ayat al-Qur’an, sebab al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk orang Arab pada saat Rasul SAW masih hidup saja, tapi diturunkan untuk seluruh manusia di jagat raya ini dan untuk sepanjang masa, sebagaimana Allah telah menurunkan syari’atnya bagi seluruh nabi-nabiNya disesuaikan dengan zamannya, sedang hal-hal yang terkait dengan aqidah semuanya sama yaitu tauhidullah.
Kontekstualisasi adalah proses berkesinambungan yang melalui kontekstual tersebut,kebenaran dan keadilan Allah dapat diterapkan dan muncul dalam situasi-situasi historis yang kongkrit. Kontekstualisasi dapat mencakup semua aspek kehidupan manusia, dan oleh kerena itu hal yang sangat perlu diperhatikan untuk melaksanakan kontektualisasi terhadap ayat-ayat (hukum) Al-Qur’an adalah maqasid al-Syari’ah
Hukum Islam
Hukum Islam adalah sebuah kosa kata dalam bahasa Indonesia yang terdiri dari dua akar kata, yaitu hukum dan Islam. Kata hukum Islam digunakan sebagai padanan dari Islamic Law dalam tradisi akademik Barat. Berbeda dengan titik pijak hukum Islam, yang berasal dari wahyu, hukum dalam tradisi Barat berangkat dari kebutuhan masyarakat untuk menjembatani kebiasaan mereka agar terwujud ketertiban dan keteraturan.
Para akademisi Barat menggunakan kata Islamic Law , sebagai terjemahan dari kata syari’at maupun kata fiqh, namun kecenderungan utama, mereka menggunakan kata syari’at Islam sebagi bentuk lain dari “hukum ketuhanan” yang membedakannya dari sistem-sistem hukum yang didasarkan atas pertimbangan manusia.
Menurut Abdurrahman Wahid, Hukum Islam dalam pengertian yang sederhana adalah “keseluruhan tata kehidupan dalam Islam”. Atau seperti dikatakan oleh Mac Donald, hukum Islam adalah “the science of all things, human and divine (pengetahuan tentang semua hal, baik yang bersipat manusiawi maupun ketuhanan).([25])
Menurut Mohammad Daud Ali; Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam.([26])
Hukum Islam menurut rumusan seminar/loka karya Hukum Islam 1975, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, adalah:”hukum fiqh mu’amalah dalam arti yang luas, yakni pengertian manusia tentang kaidah-kaidah (norma-norma) kemasyarakatan yang bersumber pertama pada Al-Qur’an, kedua pada sunnah Rasulullah dan ketiga pada akal fikiran.([27])
Menurut A. Djazuli, kecenderungan terakhir yang dimaksud dengan hukum Islam adalah hukum yang sudah dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundangan di dalam negara tertentu.([28])
Tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Kemaslahatan itu tidak hanya untuk kehidupan di dunia ini saja tetapi juga untuk kehidupan yang kekal di akhirat kelak.[29]
Abu Ishak al-Syatibi, (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang kemudian disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Ke lima tujuan hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-syari’ah ([30]).
Syari’ah
Menurut istilah para ulama, Syari’ah adalah:”Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk hamba-hamba-Nya yang dibawa oleh salah seorang nabi-Nya SAW., hukum-hukum tersebut berhubungan dengan cara-cara bertingkah laku, yaitu yang disebut dengan hukum-hukum cabang (furu’). Untuk hukum-hukum semacam ini dihimpunlah ilmu fiqh.[31]
Menurut A. Djazuli, syari’ah bisa diartikan dengan arti yang sangat luas, dan dapat pula diartikan dalam arti yang sempit. Hal ini penting diperhatikan, karena para ulama tidak selalu sama dalam mengartikan syari’ah. Ada yang menganggap syari’ah itu sama dengan fiqh dan ada yang menganggap bahwa syari’ah khusus untuk hukum yang didasarkan kepada dalil yang qath’i saja. Bahkan ada yang menganggap bahwa syari’ah itu adalah keseluruhan ajaran agama.
Menurut Juhaya S. Praja, pengertian syari’ah secara harfiah adalah“sumber air” atau “sumber kehidupan”, sedangkan syari’ah dalam kalangan ahli hukum Islam mempunyai pengertian umum dan khusus. Syari’at dalam pengertian umum ialah keseluruhan tata kehidupan dalam Islam, termasuk pengetahuan tantang ketuhanan. Syari’ah dalam pengertian ini sering kali disebut fiqh akbar, sedangkan syari’ah dalam pengertian khusus berkonotasi fiqh atau sering kali disebut fiqh ashgar, yakni ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syarat tertentu tantang al-Qur’an dan suanah dengan menggunakan metode tertentu (Ushul Fiqh)[32]
Menurut Bismar Siregar; “Syariat adalah cara hidup yang berasal dri nilai-nilai abadi mutlak, diwahyukan dengan jalan keseluruhan amanat Qur’an, cara hidup yang didirikan atas iman kepada kesatuan Tuhan, kesatuan alam yang diciptakannya dan yang telah menjadikan manusia sebagai khalifahNya yang bertanggung jawab. Cara hidup didasarkan atas sikap tunduk tanpa syarat kepada ajakan Tuhan yang kita semua berkewajiban membuka kunci “ayat-ayatNya” dalam keterbukaan alam, dalam kejadian-kejadian sejarah, dan dalam kata-kata Nabi Muhammad.([33])

D. Penutup
Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin, ia bukan hanya bermanfaat bagi pemeluknya, berbahagia di dunia serta selamat di akhirat, juga Islam harus memberi kedamaian kepada seluruh umat manusia, baik ia muslim ataupun bukan.
Al-Qur’an sebagai panduan utama umat Islam , ia juga merupakan hudan (pedoman) bagi seluruh manusia. Jika Al-Qur’an menyatakan ma farratna fi al-kitabi min syain, salah satunya berarti bahwa segala sesuatu baik persoalan yang berkaitan langsung dengan dunia apalagi akhirat dapat diselesaikan dengan berpedoman pada Al-Qur’an. Masalahnya adalah dapatkah kita mengontektualkan ayat Al-Qur’an pada kehidupan kita sehari-hari, baik selaku individu, masyarakat dan bernegara.
Melihat syarat-syarat dan adab bagi seorang mufassir seperti yang dikemukakan oleh Manna Khalil al-Qattan seperti telah disebutkan di atas, kita (penulis) pesimis untuk bisa menafsirkan teks-teks ayat Al-Qur’an apalagi mengontekstualkan dengan kehidupan pada saat ini. Kita akan lebih pesimis lagi jika melihat penyimpangan-penyimpangan penafsiran dari berbagai kalangan seperti yang telah dikemukakan oleh Muhammad Husein Ad-dzahabi di atas.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh untuk bisa memahami teks Al-Qur’an, kemudian memahami konteknya yang selanjutnya mengontektualkan untuk kehidupan sehari-hari, adalah bertanya atau bermusyawarah dengan orang yang ahli dalam hal tersebut.
Agar hasil penafsiran kita menjadi hukum Islam seperti pendapat mereka yang menyatakan bahwa “hukum Islam adalah hukum yang sudah dikodifikasikan dalam bentuk peraturan perundangan di dalam negara tertentu”, maka kewajiban kita selanjutnya adalah memperjuangkan melalui jalur eksekutif (pemerintah) dan legislatif (DPR).

Definisi tafsir ahkam

Tafsir secara bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu kata tafsir ( تفســير ) yang berasal dari kata kerja فَسَّرَ yang mengandung arti: الإيضاح و البيان (keterangan dan penjelasan), yakni menyingkap dan menampak-kan atau menerangkan makna yang abstrak. Kata الفســر berarti menyingkapkan sesuatu yang tertutup. Dalam Lisanul Arab dinyatakan: kata “al-fasr” berarti menyingkap yang tertutup, sedang kata “al-tafsir” berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil dan pelik. Sedangkan para Ulama berpendapat: tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufassir).[1]
Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas mengenai makna-makna yang terkandung di dalam Al-Qur’an baik yang tersirat ataupun yang tersurat, menjelaskan sebab-sebab turunnya dan dapat mengambil hikmah dari ayat-ayat tersebut. Al-Jurjani mendefinisikan bahwa tafsir ialah menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai seginya, baik konteks historisnya maupun sebab nuzul-nya, dengan menggunakan ungkapan atau keterangan yang dapat menunjuk kepada makna yang dikehendaki secara terang dan jelas. Sementara itu Imam az-Zarqani mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas kandungan al-Qur’an baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai dikehendaki Allah, menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya, Abu Hayyan, sebagaimanan dikutip al-Suyuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Qur’an disertai makna serta hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Sementara Az-Zarkasyi mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada nabi Muhammad Saw., dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.
Istilah ayat al-ahkam terdiri atas dua kata yaitu “ayat” dan “ahkam”, ayaat adalah bentuk jamak dari ayat yang secara harfiyah berarti tanda. Kata ayat kadang juga diartikan dengan pengajaran, urusan yang mengherankan dan sekelompok manusia. Adapun yang dimaksud “ayat” dalam hal ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yaitu bagian tertentu dari Al-Qur’an yang tersusun atas satu atau beberapa jumlah (kalimat) walau dalam bentuk takdir (prakiraan) sekalipun, yang memiliki tempat permulaan dan tempat berhenti yang bersifat mandiri dalam sebuah surat.[2]
Sementara istilah kata hukum dalam bahasa arab adalah bentuk tunggal, adapun bentuk jamaknya adalah al-ahkam. Ahkam secara harfiyah berarti menempatkan sesuatu di atas sesuatu (itsbat asy-syai ‘ala syai), atau bisa juga diartikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Adapaun hukum yang dipahami oleh ahli ushul fiqh adalah :
خطاب الله المتعلق بأفعال المكلفين إقتضاء أو تخييرا أو وضعا
“Tuntutan Allah ta’ala yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, atau menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhshah, atau ‘azimah”.
Dalam definisi tersebut ditegaskan bahwa hukum (menurut ajaran Islam) adalah kehendak Allah, untuk mengatur perbuatan manusia dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Abdul Wahab Khallaf, sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, dalam mendefinisikan hukum mengganti kalimat خطاب الله تعالى (tuntutan Allah ta’ala) dalam definisi di atas dengan خطاب الشرع (tuntutan syar’i), dengan tujuan agar hukum itu bukan saja ditentukan Allah, melainkan juga ditentukan Rasulullah melalui Sunnahnya dan melalui ijma’ para ulama.
Menurut ulama fiqh, hukm adalah “akibat” yang ditimbulkan oleh khitab (tuntutan) syar’i berupa wujub, mandub, hurmah, karahah, dan ibahah. Perbuatan yang dituntut itu, menurut mereka, disebut wajib, sunah, haram, makruh dan mubah (boleh). Akan tetapi, ulama ushul fiqh mengatakan yang disebut hukm adalah tuntutan syar’i itu sendiri, yaitu dalil al-Qur’an dan atau Sunnah.
Dari pengertian mengenai ayat-ayat hukum sebelumnya dapat disimpulkan bahwa ayat hukum (ayat al-ahkam) adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang berisikan khitab (titah/doktrin) Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan dan atau meninggalkan sesuatu). Secara lebih sederhana dipahami bahwa ayat-ayat hukum adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah-masalah hukum.
Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ahkam atau tafsir ayat al-ahkam (tafsir ayat-ayat hukum) adalah tafsir Al-Qur’an yang berorientasi kepada pembahasan ayat-ayat hukum.[3] Pembatasan ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an sebagai ciri khas dari tafsir ahkam dengan metode tafsir lainnya.

Corak Tafsir Qurtubi

A. Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti ataupun monoton, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.
"Al-Qur’an bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari pada apa yang anda lihat". Ilustrasi ini menggambarkan kepada kita bahwa al-Qur'an sebagai sebuah teks telah memungkinkan banyak orang untuk melihat makna yang berbeda-beda di dalamnya. Dengan berbagai metodologi yang disuguhkan, para mufassir kerap terlihat mempunyai corak sendiri yang sangat menarik untuk ditelusuri. Dari mulai menafsirkan kata perkata dalam setiap ayat sampai menyambungkannya dengan masalah fikih, politik, ekonomi, tasauf, sastra, kalam, dan lainnya.
Salah satu kitab tafsir karya ulama terdahulu yang bercorak fiqhi adalah tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” karya al-Qurthubi. Selain itu juga ada kitab tafsir yang bercorak fiqhi, di antaranya adalah kitab “ahkam al-Qur’an” karya al-Jassas dan juga kitab tafsir yang bercorak fiqhi karya Ibnu ‘Arabi. Oleh karena itu, pada makalah ini saya akan mengkaji tentang perbedaan kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” dengan kedua kitab tafsir itu yang sama bercorak fiqhi. Dan juga menjelaskan tentang biografi pengarang, latar belakang sejarah penulisan, corak, metode, bentuk dan karakteristiknya dari kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”.

B. Pembahasan
1. Biografi pengarang
Penulis tafsir al-Qurtubi bernama Abu ‘Abd Allah Ibn Ahmad Ibn Abu Bakr Ibnfarh al-Anshari al-Khazraji Syamsy al-Din al-Qurtubi al-Maliki. Ulama besar seorang faqih besar dan mufassir (ahli tafsir al-Qur'an) dari abad ke- 7 H yang terkenal, sebagai hamba Allah yang saleh dan warak. Beliau wafat tahun 671 H di kota Maniyya Ibn Hisab Andalusia. Ia dianggap sebagai salah seorang tokoh yang bermazhab Maliki.
Aktifitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya adalah al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn ‘Umar al-Qurtubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri. Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh al-Qurtubi adalah al-Jami’ li Ahkam al-Quran, al-Asna fi Syarh Asma Allah al-husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh al-Taqassi,Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Haris bi al-Zuhd wa al-Qana’ah dan Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.

2. Latar Belakang penulisannya
Berangkat dari pencarian ilmu dari para Ulama' (seperti Abu al-Abbas bin Umar al-Qurthubi Abu al-Hasan bin Muhammad bin Muhammad al-Bakhri), kemudian Imam al-Qurthubi diasumsikan berhasrat besar untuk menyusun kitab Tafsir yang jiga bernuansa fiqh dengan menampilkan pendapat imam-imam madzhab fiqh dan juga menampilkan hadis yang sesuai dengan masalah yang dibahas. Selain itu kitab tafsir yang telah ada sedikit sekali yang bernuansa fiqh. Karena itulah Imam al-Qurthubi menyusun kitabnya, dan ini akan mempermudah masyarakat, karena disamping menemukan tafsir beliau juga akan mendapatkan banyak pandangan imam madzhab fiqh, hadis-hadis Rasulullah saw maupun pandangan para Ulama mengenai masalah itu.

3. Bentuk penafsirannya
Dari berbagai bentuk penafsiran yang ada, al-Qurthubi dalam tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” menggunakan bentuk penafsiran pemikiran (bi ra’yi). Walaupun di dalam penafsirannya terdapat hadits-hadits Rasul dan pendapat ulama terdahulu. Karna menurut al-Qurthubi penafsiran bi ra’y adalah penafsiran yang menggunakan pemikiran dan di dukung oleh hadits-hadits dan pendapat ulama yang terdahulu.

4. Metode penafsirannya
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat:
Pertama, Metode Tahlili, dimana dengan menggunakan metode ini mufasir-mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertiann yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Quran.
Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Quran dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain.
Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Quran berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya.
Keempat, Metode Maudlu’I yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.
Metode yang dipakai al-Qurtubi dalam kitab tafsirnya adalah metode tahlili, karena ia berupaya menjelaskan seluruh aspek yang terkandung dalam al-Quran dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Sebagai contoh dari pernyataan ini adalah ketika ia menafsirkan surat al-Fatihah di mana ia membaginya menjadi empat bab yaitu; bab Keutamaan dan nama surat al-Fatihah, bab turunnya dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, bab Ta’min, dan bab tentang Qiraat dan I’rab. Masing-masing dari bab tersebut memuat beberapa masalah.

5. Corak penafsirannya
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu al-Ma’sur, al-Ra’yu, sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi ijtima’i. Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurtubi kedalam tafsir yang bercorak Fiqhi, sehingga sering disebut sebagai tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.
Sebagai contoh dapat dilihat ketika menafsirkan surat al-Fatihah. al-Qurtubi mendiskusikan persoalan-persoalan fiqh, terutama yang berkaitan dengan kedudukan basmalah ketika dibaca dalam salat, juga persoalan fatihah makmum ketika shalah Jahr. Terhadap ayat yang sama-sama dari kelompok Mufasir ahkam hanya membahasnya secara sepintas, seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr al-Jassas. Ia tidak membahas surat ini secara khusus, tetapi hanya menyinggung dalam sebuah bab yang diberi judul Bab Qiraah al-Fatihah fi al-salah.
Contoh lain dimana al-Qurtubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalana-persoalan fiqh dapat diketemukakan ketika ia membahas ayat Qs. Al-Baqarah (2): 43:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ (٤٣
“dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'”
Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Diantara pembahasan yang menarik adalah masalah ke-16. ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi Imam salat. Di antara tokoh yang mengatakan boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurtubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan pernyataannya:
إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
(anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)
Dalam kasus lain ketika ia menafsirkan Qs. Al-Baqarah: 187
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ ....
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu;...”
Ia membaginya menjadi 36 masalah. Pada pembahsan ke-12, ia mendiskusikan persoalan makannya orang yang lupa pada siang hari di bulan Ramadhan. Ia berpendapat orang tersebut tidak berkewajiban berkewajiban mengganti puasanya, yang berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya. Dengan pernyataannya:
إن من أكل أو شرب ناسيا فلا قضاء عليه وإن صومه تام
“Sesungguhnya orang yang makan atau minum karena lupa, maka tidak wajib baginya menggantinya dan sesungguhnya puasanya adalah sempurna”
Bila dicermati dari contoh-contoh penafsiran di atas, di satu sisi meggambarkan betapa al-Qurtubi banyak mendiskusikan persoalan-persoalan hukum yang menjadiakan tafsir ini termsuk ke dalam jajaran tafsir yang bercorak hukum. Di sisi lain, dari contoh-contoh tersebut juga terlihat bahwa al-Qurtubi yang bermazhab Maliki ternyata tidak sepenuhnya berpegang teguh dengan pendapat imam mazhabnya.

6. Karakteristiknya
Persoalan menarik yang terdapat dalam tafsir ini dan perlu untuk dicermati adalah pernyataan yang dikemukakan oleh al-Qurtubi dalam muqaddimah tafsirannya yang berbunyi:
وشرطي في هذا الكتاب : إضافة الأقوال إلى قائليها والأحاديث إلى مصنفيها فإنه يقال من بركة العلم أن يضاف القول إلى قائله
(Syarat saya dalam kitab ini adalah menyandarkan semua perkataan kepada orang-orang yang mengatakannya dan berbagai hadits kepada pengarangnya, karena dikataan bahwa diantara berkah ilmu adalah menyandarkan perkataan kepada orang yang mengatakannya).

7. Langkah-langkah penafsirannya
Langkah-langkah yang dilakukan oleh al-Qurtubi dalam menafsirkan al-Quran dapat dijelaskan dengan perincian sebagai berikut:
a. Memberikan kupasan dari segi bahasa.
b. Menyebutkan ayat-ayta lain yang berkaitan dan hadits-hadits dengan menyebut sumbernya sebagai dalil.
c. Mengutip pendapat ulama dengan menyebut sumbernya sebagai alat untuk menjelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan pokok bahasan.
d. Menolak pendapat yang dianggap tidak ssesuai dengan ajaran Islam.
e. Mendiskusikan pendapat ulaam dengan argumentasi msing-masing, setelah itu melakukan tarjih dengan mengambil pendapat yang dianggap paling benar.
Langkah-langkah yang ditempuh al-Qurtubi ini masih meungkin diperluas lagi dengan melakuakan penelitian yang lebih seksama. Satu hal yang sangat menonjol adalah adanya penjelasan panjang lebar mengenai persoalan fiqhiyah merupakan hal yang sangat mudah ditemui dalam tafsir ini.

8. Kelebihan dan kekurangan kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an”
Imam Adz-Dzahabi pernah berkata, "Al Qurthubi telah mengarang sebuah kitab tafsir yang sangat spektakuler, namun memiliki kelebihan dan kekurangan di dalam kitab tafsirnya".
Diantara kelebihanya.
a. Menghimpun ayat, hadits dan aqwal ulama pada masalah-masalah hukum. Kemudian beliau mentarjih salah satu di antara aqwal tersebut
b. Sarat dengan dalil-dalil 'aqli dan naqli
c. Tidak mengabaikan bahasa Arab, sya'ir Arab dan sastra Arab.

Diantara kekurangannya:
a. Banyak mencantumkan hadits-hadits dha'if tanpa diberi komentar (catatan), padahal beliau adalah seorang muhaddits (ahli hadits)
b. Penulis menta'wil beberapa ayat yang berbicara tentang sifat Allah SWT.

9. Sekilas tentang Kitab tafsir Fuqaha lainnya
Sebelum kita membahas perbedaan kitab tafsir karya al-Qurthubi ini, lebih baiknya kita sebutkan sedikit tentang kitab tafsir fuqaha lainnya. Yaitu tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi.
a. Tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash
Penulis kitab ini adalah Abu Baker Ahmad bin Ar-Razi,dikenal dengan nama Al-Jasshash, sebagai penisbatan kepada profesinya sebagai jashshash (tukang plester). Dia salah seorang imam fikih Hanafi pada abad 4 H. Akam Al-Qur’an itu adalah karyanya yang dipandang sebagai kitab tafsir fikih terpenting, khususnya bagi penganut madzhab Hanafi.
Dalam kitab ini penulis memfokuskan pada penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah hukum furu’ ia mengemukakan satu atau beberapa ayat lalu mejelasakan maknanya secara ma’tsur, dengan perspektif fikih. Salanjutnya ia mengetengahkan berbagai perbedaan antar madzhab fikih tenteng hal berkenaan, oleh sebab itu, kitab ini di rasa oleh pembaca bukan lagi sebuah tafsir, tetapi kitab fikih.
Al-jasshash memiliki fanatisme yang kental terhadap madzhabnya, sehingga berefek pada penafsiran atau pentakwilan suatu ayat. Akibatnya, penafsiranya bias madzhab. Ia juga ekstrim dalam membantah pendapat yang berbeda dengannya.

b. Tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi
Penulis kitab ini adalah Abu Bakar Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Ahmad Al-Ma’arrifi Al-Andalusi Al-Isyibili yang lebih dikenal dengan Ibnu ‘Arabi, salah satu ulama Andalusia yang luas ilmunya. Dia bermadzhab Maliki. Kitabnya yang bertajuk Ahkam Al Qur’an, merupakan rujukan bagi tafsir fikih kalangan pengikut Maliki.
Dialah Ibnul ‘Arabi, orang yang cukup adil dan moderat dalam tafsirnya. Cukup halus dalam membantah lawan-lawan pendapatnya. Tidak seperti yang dilakukan Oleh Al-Jasshash. Namun Ibnul ‘Arabi kurang peduli atas kesalahan ilmiah yang dilakukan oleh ulama Maliki.
Dalam menafsirkan ayat, Ibnul ‘Arabi mengemukakan pendapat berbagai ulama, tetapi yang masih memiliki kaitan dengan ayat-ayat hukum, kemudian memaparkan berbagai kemungkinan makna ayat bagi madzhab lain selain Maliki.
Ia memisahkan setiap poin-poin permasalahan dalam tafsir dengan topik-topik tertentu. Misalnya ia mengatakan: ”Maslah pertama., masalah kedua..,” dan seterusnya. Seperti disebutkan sebelumnya, ia cukup halus dalam menghadapi lawan-lawan polemiknya.

10. Perbedaan dengan Kitab tafsir lainnya
Dari uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara tafsir al-Qurthubi dengan tafsir fuqaha lainnya. Seperti tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi.
Dari penelitian saya, saya dapatkan perbedaan yang mencolok antara ketiga tafsir bercorak fiqhi di atas adalah kitab tafsir “al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” lebih istimewa dari kitab-kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh Qurthubi.
Selain itu, perbedaan yang mencolok antara tafsir“al-Jami’ li ahkam al-Qur’an” karya al-Qurthubi, tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi adalah bahwa di dalam penafsirannya al-Qurthubi tidak ta'assub dengan mazhab Maliki. Namun sebaliknya, setelah penelitian dan kajian terhadap kitab tafsir “ahkam al-Qur’an” karya al-Jashash dan tafsir “ahkam al-Qur’an” karya Ibnu ‘Arabi, penulis mendapati bahwa al-Jashash telah berpegang teguh dengan mazhab Hanafi dan Ibnu ‘Arabi telah berpegang teguh dengan mazhab Maliki secara jelas dan terang, ketika menyelesaikan sesuatu permasalahan hukum. Terdapat beberapa petunjuk yang menunjukkan beliau banyak terpengaruh dan berpegang dengan mazhabnya yang boleh didapati dalam kitab tafsirnya. Disamping itu juga, beliau akan tetap mempertahankan pendapat mazhabnya secara terang-terang atau secara sindiran sama ada dalam perkara ilmu, fiqh, dan sebagainya. Beliau juga akan memilih pendapat mazhabnya sekiranya terdapat perselisihan pendapat tentang sesuatu isu.
Namun begitu walaupun beliau berpegang kuat dengan mazhabnya, ia tidak sampai ke tahap yang melampau atau taksub yang terlalu tinggi. Kadang-kadang beliau juga menerima pendapat yang bertentangan dengan mazhabnya sekiranya pendapat itu lebih tepat dan sesuai diamalkan serta dikuatkan dengan dalil-dalil dan bukti-bukti yang kukuh dari nas al-Quran atau as-sunnnah.

C. Penutup
Dari persoalan-pesoalan yang telah diuraikan dalam beberapa bab di atas dapat dicatat bahwa, pertama Al-Qurtubi pengarang kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an adalah seorang mufasir yang bermazhab Maliki yang hidup di Andalus. Kedua, tafsir yang ditulisnya tersebut menggunakan sistematika Mushafi, metode Tahlili, berbentuk tafsir ra’y dan bercorak fiqhi mazhab Maliki dengan tidak terlalu terkait dengan mazhabnya. Ketiga, adanya sejumlah keberatan terhadap model penafsiran yang dilakukan oleh ahli hukum, karena terlalu bersifat atomistis dan harfiah sehingga sering mengaburkan program besar al-Quran sebagai petunjuk dan pengatur seluruh aspek kehidupan.
Dan perbedaan yang mencolok antara kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an dengan kitab tafsir ahkam al-Qur'an sebelumnya adalah kitab tafsir ini lebih istimewa karena tidak terbatas menafsirkan ayat-ayat hukum dan persoalan fiqhi saja, tetapi lebih dari itu tafsir ini mencakup semua aspek tafsir dan ayat-ayat yang tidak berkenaan dengan hukum juga ditafsirkan oleh Qurthubi. Dan juga al-Qurthubi di dalam penafsirannya tidak ta'assub dengan mazhab Maliki.

Daftar Pustaka
Al-Qurthubi. Abdullah bin Muhammad bin Ahmad al-Anshari. al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Beirut: Dar al-Fikri. 1995
Adz-Dzahabi. Muhammad Husein. At-Tafsir wa Al-Mufassirun. Juz I. Kairo: Dar al-Kutub. 1961
Al-Jashshash. Ahkam al-Qur'an. ed. 'Abd al-Salam Syahin. al-'Ilmiyyat. II. cet. Ke-I. 1994
Al-Qatthan. Manna Khalil. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Citra Antar Nusa. 1994
Baidan. Nasruddin. Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2005
Basuni Faudah. Mahmud. Tafsir-tafsir al-Qur’an (perkembangan dengan metodologi tafsir). Bandung: Pustaka. 1987

Kamis, 01 Desember 2011

Kisah Kesabaran Nabi Ayub

Tersebutlah kisah di dalam Al-quran,
Seorang Nabi menjadi ikutan,
Darjatnya tinggi penuh kesabaran,
Menempuhi dengan pelbagai dugaan.

Itulah Ayyub serorang nabi yang sabar dan mempunyai martabat tinggi. Nabi Ayyub adalah putera ’Ish dari keturunan Nabi Ibrahim. Ibunya adalah seorang puteri Nabi Lut. Baginda dilahirkan di Negeri Syam.Nabi Ayyub mendapat didikan yang sempurna daripada kedua ibu bapanya yang beriman kepada Allah. Baginda mempunyai budi pekerti yang terpuji serta akal yang cerdas dan pintar.

Baginda menghabiskan usianya dengan menyeru manusia supaya beriman kepada Allah serta mengalami pelbagai ujian yang amat perit dari Allah. Baginda adalah hamba Allah yang dianugerahkan dengan harta yang melimpah ruah, dalam kenikmatan duniawi, tenggelam dalam kekayaan yang tidak ternilai besarnya serta isteri yang baik dan anak-anak yang ramai di awal kehidupannya. Baginda dan keluarganya memiliki jiwa yang baik serta suka menolong orang yang memerlukan .

Iblis berasa iri hatinya,
Melihat Ayyub dalam imannya,
Lalu meminta Allah yang Esa,
Untuk merosakkan iman yang ada.

Masyarakat sekelilingnya merasa dengki dan iri hati dengan sifat kemuliaan Nabi Ayyub itu. Mereka berkata ‘ Ah…….! Ayyub itu menyembah Allah kerana dia memperolehi harta dan anak-anak yang ramai, jika Allah mencabut kurniaan itu, nescaya dia tidak akan mahu menyembah Allah.Lantaran itu Allah menguji Nabi Ayyub dengan bermaksud sebagai contoh dan tauladan kepada manusia.

Ujian pertama baginda lalui ialah baginda diuji dengan kematian haiwan ternakannya satu persatu, kemudian ladang dan kebun tanamannya rosak menjadi kering kontang. Seterusnya Iblis menguji Nabi Ayyub dengan gedung-gedungnya terbakar habis sehingga dalam waktu yang singkat itu Nabi Ayyub telah menjadi miskin. Baginda tidak memiliki apa-apa lagi selain hatinya yang penuh dengan keimanan dan taqwa.Rasa cinta dan taatnya kepada Allah adalah merupakan benteng yang kuat daripada serangan iblis. Seperti dalam firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 156 :

Maksudnya : Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan kami akan kembali kepadanya.

Pengajarannya ialah kita hidup di dunia ini hanyalah sementara, segala harta kekayaan yang dimiliki adalah pinjaman daripada Allah semata. Oleh itu kita hendaklah bersyukur dengan apa sahaja kurniaan yang Allah berikan kepada kita.

Akan tetapi iblis bukanlah iblis jika ia berputus asa dari kegagalannya memujuk Ayyub... Lalu Iblis bersama kuncu-kuncunya menuju ke tempat tinggal putere-putera Nabi Ayyub dan menggoyangkan rumah mereka sehingga roboh dan menimbuskan semua penghuninya. Kemudian cepat-cepat iblis mengunjungi Nabi Ayyub sambil berkata “ Hai…..! Ayyub, sudahkah engkau melihat putera-putera mu mati tertimbun di bawah runtuhan gedung yang roboh akibat gempa bumi. Aku kira wahai Ayyub Tuhan tidak menerima ibadahmu selama ini dan tidak melindungimu sebagai imbalan yang amal solehmu dan sujud rukukmu siang dan malam”. Mendengar kata-kata iblis itu, menangislah Ayyub tersedu-sedu seraya berucap “ Allahlah yang memberi dan Dia pulalah yang mengambil kembali, Segala puji bagi Allah Tuhan yang Maha Pemberi dan Maha Pencabut”. Sekali lagi iblis kecewa.
Seperti dalam firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 156 :

Maksudnya : Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan kami akan kembali kepadanya.

Pengajarannya ialah segala musibah yang terjadi adalah satu dugaan semat-mata daripada Allah. Oleh itu kita hendaklah sentiasa bersabar apabila menerima sebarang ujian daripada Allah sama ada ujian dalam bentuk kesenangan ataupun kesusahan seperti berlakunya banjir di Negeri Kelantan dan Kedah baru-baru ini.

Sekali lagi Nabi Ayyub diuji dengan di timpa sakit yang amat parah sehingga tidak mampu berjalan dan bergerak, makin lama makin kurus, tenaganya makin lemah dan wajahnya pucat tidak berdarah serta kulitnya menjadi berbintik-bintik. Baginda akhirnya dijauhi oleh orang kampung dan kaum kerabatnya. Penyakit yang dideritainya semakin parah sekali sehinggakan daging tubuh baginda menjadi busuk. Lantaran itu keluarga serta sahabatnya menjauhkan diri, kecuali isterinya yang tetap mendampinginya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan rasa kasih sayang, melayani segala keperluannya tanpa mengeluh atau menunjukkan tanda kesal hati. Namun begitu lama kelamaan isterinya merasa penat dan lelah menguruskan baginda, sehinggakan satu hari beliau mengeluh di depan Ayyub. “ Wahai Ayyub, sampai bilakah engkau diseksa oleh tuhan mu ini? Di manakah kekayaanmu, putera-puteramu, sahabt-sahabat karibmu dan kawan-kawan terdekat mu ? Oh, alangkah syahdunya masa lampau kami, usia muda, badan sihat, segala kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Oh, dapatkah kiranya berulang kembali masa yang manis itu? Belum cukupkah lagi ujian ini menimpa kita … ! kenapa engkau tidak mahu berdoa supaya Allah menghapuskanm bala ini …” ujar isterinya. Baginda menjawab “ Wahai isteriku yang kusayangi, Aku hendak bertanya kepadamu, berapa lama kita telah menikmati masa hidup yang mewah, makmur dan sejahtera itu”. “Lapan tahun” jawab si isteri. “ Lalu berapa lama kita telah hidup dalam penderitaan ini?” Tanya lagi Ayyub. “ Tujuh tahun”, jawab si isteri. “ Aku malu”, Ayyub melanjutkan jawapannya, “memohon dari Allah membebaskan kita dari kesengsaraan dan penderitaan yang telah kita alami belum sepanjang masa kekayaan yang telah Allah kurniakan kepada kita.” Nabi Ayyub diam seketika, kemudian dia berkata lagi “ Wahai isteriku…! Aku sangat sedih dengan sikap engkau, aku lihat imanmu mulai menipis dan sekarang pergilah jauh-jauh dariku, dan jika aku diizinkan sembuh, nescaya aku akan menyebatmu seratus kali.” Dengan demikian berjayalah iblis untuk memisahkan baginda dengan isterinya. Tinggallah baginda keseorangan dalam penuh penderitaan yang amat sangat. Ia bermunajat kepada Allah dengan sepenuh hati memohon rahmat dan kasih sayangNya.
Berdoalah Ayyub kepada yang Esa,
Memohon melenyapkan segala derita,
Allah berkenan dengan permohonannya,
Sembuhlah Ayyub dari sengsara.

Firman Allah dalam surah Shaad ayat 42 yang berbunyi ;





Yang bermaksud ; Allah berfirman : Hantamkanlah kakimu ; inilah air sejuk untuk mandi dan minum.

Dengan izin Allah, sembuhlah segera Nabi Ayyub dari penyakitnya dan baginda kelihatan lebih sihat dan lebih kuat.Pengajaranya ialah Allah Maha Berkuasa melakukan apa sahaja yang dikehendakinya. Oleh itu kita hendaklah sentiasa beriman kepada Allah.

Maka Allah berfirman lagi dalam surah Shaad ayat 43 yang bermaksud ( dan kami anugerahi dia ( dengan mengumpulkan kembali ) keluarganya dan kami tambahkan mereka sebanyak mereka pula sebagai rahmat dari kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran).

Setelah baginda kembali seperti sediakala baginda meningkatkan lagi kesyukurannya terhadap Allah. Kemudian secara diam-diam isterinya kembali menemuinya, lalu isterinya membongkok dan tunduk di antara kaki baginda sambil menangis teresak-esak. Maka Allah berfirman yang berbunyi :


Dalam surah Shaad ayat 44 yang bermaksud ( ambillah dengan tanganmu seikat rumput, maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu melanggar sumpahmu).
Ketika itu juga Nabi Ayyub menunaikan sumpahnya dahulu, dengan demikian kembalilah isterinya dalam keadaan bersih, benar dan ikhlas kepadanya semula.
Demikianlah kisah kesabaran seorang hamba Allah yang sangat sabar menempuh dugaan dan ujian semasa hidupnya. Demikianlah juga hal kita pada masa sekarang. Di mana Allah menguji kita dengan segala bentuk kemewahan, kemudahan hidup dan juga pelbagai penyakit sosial dan juga penyakit yang merbahaya seperti Aids, kanser, sakit jantung dan sebagainya.Tetapi sekiranya kita tidak terjebak dan dapat menilai segala yang terjadi itu adalah sebagai ujian dari Allah seperti mana apa yang berlaku terhadap Nabi Ayyub itu. Seperti contoh yang dapat kita kaitkan pada hari ini ialah ibu bapa, guru dan pemimpin hari ini hendaklah berusaha mengatasi gejala sosial dan penuh kesabaran kerana ianya adalah satu bentuk ujian dari Allah.

Semoga kita tergolong dalam orang yang berpegang teguh pada peringatan Allah.