Total Tayangan Halaman

Kamis, 28 Juli 2011

Kesempurnaan

Kecantikkan yang abadi ialah pada keelokkan adab dan ketinggian ilmu seseorang, bukan pada wajah dan pakaiannya.
Dinilai daripada adab, dalam masyarakat manusia ada binatang jalang, tetapi dalam masyarakat binatang, tidak ada manusia jalang.
Teman manusia yang sebenar ialah akal dan musuhnya yang celaka ialah jahil.
Jika kamu mendapat kesusahan, ingatlah menyimpan kesabaran.
Engkau disebut sebagai manusia bukan kerana tubuh dan jasadmu tetapi akal dan jiwamu.

NABI SEBAGAI PEMBAWA RISALAH

BAB I
A. PENDAHULUAN
Dari sejarah Islam kita akan melihat jejak risalah Nabi Muhammad, sifat dan kaitannya dengan ajaran para nabi terdahulu. Allah swt. menciptakan umat manusia dengan satu tujuan agar menghambakan diri kepada-Nya, meski Ia tidak memerlukan seseorang agar menyembah karena tidak akan menambah arti kebesaran-Nya. Tata cara penyembahan tidak diserahkan pada individu, namun secara eksplisit dijelaskan oleh para nabi dan rasul-Nya.
Melihat bahwa semua rasul menerima tugas dari Pencipta yang sama, inti risalah tetap sama saja, hanya beberapa penjelasan praktis yang mengalami perubahan. Nuh (Noah), Ibrahim (Abraham), Isma'il (Ishamel), Ya'cub (Jacob), Ishaq (Isaac), Yusuf (Joseph), Dawud (David), Sulaiman (Solomon), `Isa (Jesus), dan banyak lagi yang tak terhitung, Allah mengutus dengan risalah yang ditujukan kepada masyarakat tertentu dan berlaku pada masa tertentu pula.
Dalam perjalanan mungkin saja terjadi penyimpangan yang membuat pengikutnya menyembah berhala, percaya pada klenik dan khurafat, dan melakukan upaya pemalsuan. Kehadiran Nabi Muhammad, dengan risalah yang tidak tersekat dalam batas kebangsaan dan waktu tertentu, suatu kepercayaan yang tidak akan mungkin dihapus karena untuk kepentingan umat manusia sepanjang zaman.
Islam menganggap kaum Yahudi dan Nasrani sebagai "Ahli Kitab". Ketiga agama ini memiliki kesamaan asal usul keluarga dan secara hipotesis menyembah tuhan yang sama, seperti dilakukan oleh Nabi Ibrahim dan kedua putranya, Isma'il dan Ishaq. Berbicara masalah agama, tentu kita dihadapkan pada peristilahan yang umum kendati kata-kata itu tampak mirip, bisa jadi memiliki implikasi yang berlainan. Misalnya, Kitab suci Al-Qur'an menjelas¬kan secara rinci bahwa segala sesuatu di alam ini diciptakan untuk satu tujuan agar menyembah Allah, tetapi dalam mitologi Yahudi semua alam ini dicipta¬kan untuk menghidupi anak cucu bani Israel saja.
Selain itu, nabi-nabi bani Israel dianggap terlibat dalam membuat gambaran tuhan-tuhan palsu (Aaron) dan bahkan dalam skandal perzinaan (David), sedangkan Islam menegaskan bahwa semua nabi-nabi memiliki sifat kesalehan. Sementara, konsep trinitas dalam agama Kristen dengan anggapan Jesus seperti terlihat dalam gambaran ajaran gereja sama sekali bertentangan dengan keesaan Allah dalam ajaran Islam. Kita akan paparkan sifat kenabian dalam ajaran Islam yang akan jadi dasar utama adanya perbedaan nyata antara Islam dan kedua agama itu yang mengalami pencemaran dari konsep monoteisme dan akan kita jelaskan bahwa Allah Swt, menentukan ajaran ideal untuk seluruh alam raya dalam bentuk wahyu terakhir.
Sebagai pembawa risalah Nabi tentu saja membatalkan anggapan orang-orang Yahudi dan Nashrani yang beranggapan demikian. Dan membawakan risalah yang benar dari Allah Swt berupa tunutunan-tuntunan syariat, dimana syariat Nabi Muhamamad menaskh syariat sebelumnya.











B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Nabi di angkat menjadi Rasul?
2. Apa Hikmah diutusnya Rasul?
3. Bagaimana Latar Belakang perlunya Manusia pada Rasul?








B A B II
PEMBAHASAN
A. PENGANKATAN MUHAMMAD SEBAGAI RASUL

1. Permulaan Wahyu
Awal permulaan wahyu adalah seprti yang telah diceritakan oleh ‘Aisyah, beliau berkata “ Wahyu yang pertama kali turun kepada Rasulullah adalah mimpi yang baik dan benar dalam tidur. Beliau tidak bermimpi melainkan datang seperti sinar pagi (subuh ). Setelah itu beliau suka menyendiri. Kemudian beliau menyendiri di gua hira’ disanalah beliau menyepi. Jibril mendatanginya saat beliau sedang menyendiri di gua hira’ itu. Kemudian berkata, “Bacalah !!” maka, beliau menjawab, “saya tidak bisa membaca! “ kemudian jibril mengulanginya dan dia mengatakan pada ketiga kalinya,
اقرأ باسم ربك الذى خلق # خلق الاتسان من عاق # اقرأ وربك الاكرام

Artinya: “ Bacalah dengan menyebut nama tuhan mu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah, bacalah dan tuhanmulah yang pemurah (QS: Al-Alaq : 1-3)

Kemudian Rasulullah pulng mennemui khadijah dengan cepat sedang hatinya tergoncang. Beliau berkata, “ Selimutilah aku, selimutilah aku !” Khadijah menenangkan Rasulullah dan menegaskan bahwa tuhan tidak akan menghinakannya karena beliau memiliki akhlak yang mulia.

Kemudian dia membawa nabi pergi membawa kepada sepupunya yang bernama Waraqah bin naufal. Waraqah sendiri adalah seorang pemeluk kristen pada masa jahiliah. Lalu, keduanya mengabarkan apa yang telah terjadi. Maka, waraqah pun berkata, “ ini adalah malaikat yang pernah Allah turunkan kepada Musa. Andaikata aku masih hidup tatkala kaummu mengusirmu ! Itu terjadi pada tanggal 13 Ramadhan.

Kemudian wahyu terputus selama empat puluh hari. Maka, Rasulullah sedih atas kejadian ini. Maka, jibril datang kembali kepadanya dan duduk diatas kursi diantara langit dan bumi dalam rupanya yang asli. Kemudian beliau kembali dengan menemui Khadijah dengan berkata, “selimutilah aku, selimutilah aku !” maka Allah menurunkan wahyu-Nya,

يايهاالمدثر # قم فأتذر.................

Artinya : Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan……..”(QS: al-Muddatstsir : 1-2)

2. Macam-Macam Wahyu Dan Risalah Yang Bersifat Gradual
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah .
Wahyu yang datang kepada rasulullah ada beberapa bentuk. Misalnya, wahyu itu berbentuk mimpi, disampaikan dengan cara yang keras, melalui jibril dalam bentuk manusia lalu berkomunikasi dengannya, datang kepada beliau seperti bunyi lonceng (ini merupakan wahyu yang paling berat ), jibril datang dalam bentuknya yang asli ( ini terjadi sebanyak dua kali ), dan wahyu yang Allah turunkan kepada beliau diatas langit pada malam Mi’raj.
Risalah melalui proses bertahap. Pertama kali Allah mengajarkan padanya “ Iqra” kemudian mengutusnya dengan,
يايهاالمدثر # قم فأتذر.................

Artinya : Hai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan……..”(QS: Al-Muddatstsir : 1-2)
Allah memerintahkan untuk memberi peringatan kepada kerabat-kerabatnya, kemudian kaumnya. Lalu, kepada bangsa Arab dan semua manusia pada muka bumi.

B. HIKMAH DI UTUSNYA RASUL

1. Manusia dan Agama
Manusia adalah makhluk beragama. Artinya, manusia memiliki kecendrungan terhadap keyakinan transendental tertentu, seperti keyakinan terhadap suatu kekuatan yang dianggap lebih tinggi darinya, yang maha mengatur dan maha sempurna, maha mutlak dan jauh dari berbagai sifat kurang dan keterbatasan. Manusia melakukan banyak usaha untuk berhubungan dengan kekuatan absolut tersebut.
Pada akhirnya, muncul istilah agama untuk menyebut fenomena kecendrunagn manusia kepada Dzat yang agung. Kecendrungan beragama ini sangat lekat pada diri manusia, sehingga memancing para pakar untuk meneliti mengapa manusia memiliki kecendrungan ini dan kapan awal mula manusia mulai mengenal agama.
Untuk menjawab pertanyaan diatas, ada teori yang menyatakan bahwa kekuatan religius yang dimiliki manusia dikarenakan mendapat wahyu (Ilham) dari tuhan . Hal ini dapat di perhatikan dalam tradisi bangsa-bangsa yang berkebudayaan sederhana. Dalam ritual religi mereka ditemukanj banyak dewa-dewa atau Tuhan-tuhan. Diantara tuhan-tuhan itu terdapat tuhan tertinggi yang membawahi tuhan-tuhan yang lain.
Menurut teori ini, kepercayaan kepada tuhan atau dewa tertinggi adalah kepercayaan yang paling tua. Keberadaan tuhan yang tertinggi juga menunjukan bahwa pada awalnya manusia menganut tuhan yang satu, yang kemudian digeser oleh kepercayaan kepada tuhan-tuhan kecil. Menurut teori ini, semakin mendesak kebutuhan manusia, maka semakin terdesaklah kepercayaan asli ini oleh pemujaan kepada mahluk halus, roh, dewa, dan sebagainya. Yang demikian adalah sebagai mana disampaikan oleh ahli kristen barat tentang agama.
Sedang pakar-pakar islam, sebagaimana ditulis oleh Quraisy Sihab, berpendapat bahwa kecendrungan beragama manusia berasal dari rasa keindahan, kebaikan, dan kebenaran yang dapat di tangkap oleh pemahaman dan kesadaran manusia.
Ketika menenmpatkan manusia pertama di muka bumi, Allah memerintahkan agar manusia peratama tersebut mengikuti petunjuk-Nya, ketika petunjuk itu telah datang kepadanya. Sebagai ilustrasi, pada mulanya ketika memandang alam raya, gemerlap bintang dilangit, dan berbagai bentuk keindahan lainnya, Adam menemukan ( menyadari) adanya keindahan. Ketika angin bertiup sepoi-sepoi dapat memberikan kesejukan, air mengalir dapat memberikan kesegaran terhadap rasa haus yanmg kering, Adam memahami bahwa dibalik itu semua pasti ada yang menciptakan. Penciptaan keindahan dan kebaikan itu pasti ada tujuannya karena tidajk masuk akal jika hal yang baik dan indah itu diciptakan dengan tanpa tujuan. Maka, muncul kesadaran akan kebenaran. Gabungan dari ketiga nilai diatas melahirkan kesucian. Manusia yang selalu ingin tahu berusaha mendapatkan jawaban tentang apakah yang paling indah, baik, dan benar. Jiwa dan akalnya membimbing untuk bertemu dengan yang maha suci. Ketika itu ia mulai melakukan hubungan denganNya, bahkan berusaha mencontoh sifat-sifatNya. Dari sini muncullah apa yang disebut agama, dalam arti upaya manusia untuk mencontoh sifat-sifat yang maha suci. Dalam hadits nabi, disebutkan bahwa manusia diperintahkan untuk berakhlak dengan akhlak Allah.
2. Tuhan dalam otak manusia
Beberapa dekade belakangan ini, para ilmuwan telah berhasil mengungkap bagaimana manusia memiliki kecendrungan mistis-transedental dalam dirinya. Pada tahun 1990, Dr. Michael Persinger ahli ilmu Psikoneurologi Kanada telah berhasil membuktikan keberadaan pusat spiritual pada bagian otak manusia. Bagian otak ini berfungsi khusus untuk merespon ajaran moral keagamaan. Letaknya dalam lobus temporal atau sekitar pelipis.
Hasil penelitain ini di kuatkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Danah Zohar dan Ian Marshal yang merumuskan tentang kecerdasan spiritual. Penelitian keberadaan alam bawah sadar kognitif oleh Joseph de Loux yang kemudian dikembangkan menjadi kecerdasan emosi oleh Daniel Goleman serta Robert Cooper dengan konsep suara hati. Semua penelitian ini mengarah pada bukti-bukti wujudnya seperangkat alat alami yang ditaruh dalam diri manusia yang membuatnya sangat bergantung secara khusus dengan dunia ghaib dan alam sepiritual keagamaan.
Prof. Sholeh, tokoh yang berhasil mengungkap kehebatan salat tahajud, menyatakan adalah mungkin dalam diri manusia terdapat hormon yang dapat membuat seseorang kecendrungan untuk berketuhanan. Menurutnya, semua kecendrungan yang ada pada diri manusia memiliki kaitan dengan hormon-hormon tertentu, sebagaimana hormon kecerdasan, hormon lapar, hormon haus, dan hormon seks. Hanya saja ia belum dapat menyatakan secara tegas karena hal itu membutuhkan penelitian lebih lanjut. Jika dugaannya ini benar dan hormon itu dapat diproduksi ulang, niscaya kita dapat membuat manusia menjadi makhluk saleh yang tekun beribadah.
Seorang tokoh tafsir terkemuka, mengatakan bahwa karena kecendrungan yang berasal dari kekhasan biologis manusia ini, kalaupun manusia tidak berpikir dan tidak di ajarkan akidah—akidah yang salah dan sesat, niscaya manusia dapat menemukan jalan petunjuk kepada pengesaan Tuhan. Ini tentu karena adanya watak yang sudah melekat tersebut. Dalam menafsirkan kata “fitrah” dalam ayat
فأقيم وجهك للدين حثيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك اللدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون
Artinya: “ Maka hadapkanlah wajahmu denagn lurus kepada agama allah, (tetapkanlah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus, tetapi kebnyakan manusia tidak mengetahuinya.” (QS: Ar-Rum 30-32)

Penafsiran yang dapat di pertanggung jawabkan adalah yang mengartikan fitrah sebagai bentuk penciptaan dan potensi yang terpendam dalam diri manusia yang dipersiapkan agar manusia dapat membedakan antara satu ciptaan Allah dari ciptaan lainnya dan dapat pula digunakan untuk mengambil petunjuk atas wujudnya tuhan, dan untuk mengenal segala aturan-Nya. Namun, tidak jarang potensi untuk mencari kebenaran ini mendapatkan informasi yang salah dan menyesatkan dari lingkungan sekitarnya, yang kebanyakan tidak sesuai dengan akal pikiran dan fitrahnya sendiri. Dalam hal ini, kita dapat merujuk sabda Nabi saw
كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه او ينصراتهال يمجسانه

Artinya: “ Setiap anak yang dilahirkan sesuai dengan fitrahnya, kedua orang tuanya lah yang menjadikan yahudi atau Nashrani atau Majusi”
Di sinilah, perlunya seorang utusan memberikan penjelasan dan petunjuk yang benar mengenai tuntunan nalurinya, baik mengenai sifat-sifat ketuhanan, cara-cara beribadah, ataupun ajaran-ajaran moral yang sesuai dengan kehendak Tuhan.
Oleh karena dorongan ini bersifat esensial, manusiawi, dan primer, sehingga secara naluri manusia tidak dapat melepaskan diri darinya, maka beragama atau agama itu sendiri di masukan dalam rangkaian lima kebutuhan mendasar manusia yang senantiasa mendapatkan perlindungan dari syariat. Dengan melihat begitu mendesaknya informasi tentang tuhan, cara-cara beribadah, dan aturan moral, maka peran utusan menjadi sangat penting bagi umat manusia untuk menjaga agar keberagamaan manusia terjaga dari penyimpangan-penyimpangan.
3. Kebutuhan manusia terhadap Rasul
Sudah diuraikan sebelumnya, bahwa kesadaran beragama adalah berasal dari dalam diri manusia sendiri. Kesadaran ini dapat meluap-luap dan membutuhkan ruang ekspresi dalam alam realitas. Namun, manusia tidak memiliki hak untuk menentukan bentuk peribadatan mana yang akan diterima dan dikehendaki Tuhan. Penentuan cara ibadah merupakan hak suci yang hanya dimiliki Tuhan semata. Manusia tidak memiliki hak apa-apa dalam hal ini. Sehingga dalam beberapa kasus, bentuk ibadah yang tidak pernh diajarkan adalah batal menurut pandanagn fiqh.
Mengutus utusan merupakan bentuk kemurahan Allah kepada umat manusia. Karena denagn mengutus rasul, Allah menginformasikan tentang keberadaan diri-Nya, sifat-sifat khusus yang dimiliki-Nya, dan bahwa Ia memerintahkan beribadah dengan cara tertentu. Ia juga memerintahkan umat-Nya untuk mengerjakan beberapa hal dan melarangnya untuk menyempurnakan rahmat-Nya. Dari uraian ini, dapat kita tangkap bahwa para rasul di utus untuk:
1. Megajarkan akidah ketuhanan yang benar
2. Mengajarkan cara-cara beribadah yang sesuai dengan kehendak Tuhan
3. Mengajarkan tata aturan yang dapat menghantarkan manusia menuju kebahagiaan sejati dunia dan akhirat.

Fungsi rasul yang terakhir ini, pada tahap selanjutnya, sangat berkaitan erat dengan ruang sosial. Para rasul memiliki kedudukan sangat strategis, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang interaksi sosial kaumnya. Dengan demikian, para rasul memiliki tugas ganda, yakni menjaga kebenaran ajaran agama dan menjaga kedamian publik. Hal ini dapat dilihat dari praktek Nabi saw yang memiliki peran ganda dalam kehidupannya. Selain sebagai penyampai risalah, Nabi juga menjabat sebagai hakim yang memberikan kepuusan hukum bagi anggota masyarakatnya yang sedang berselisih. Pada waktu yang bersamaan, Nabi juga berstatus sebagai kepala negara yang berhak memerintah perang melawan pembangkang.

C. LATAR BELAKANG PERLUNYA MANUSIA TERHADAP RASUL

1. Latar Belakang Fitrah Manusia
Menurut Imam ‘Ali krw menyebutkan bahwa para Nabi diutus untuk mengikatkan manusia kepada perjanjian yang telah di ikat oleh fitrah mereka, yang kelak mereka akan di tuntut untuk memenuhuinya. Perjanjian itu tidak tercatat di atas kertas, tidak pula di ucapkan melalui lidah, melainkan terukir dengan pena ciptaan Allah di permukaan qalbu dan lubk fitrah manusia, dan diatas permukaan hati nurani serta di kedalaman perasaan batiniyah.
Kenyataan bahwa manusia memiliki firah keagamaan tersebut buat pertama kali ditegaskan dalam ajaran islam, yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Sebelumnya, manusia belum mengenal kenyataan ini. Baru dimasa akhir-akhir ini, muncul beberapa orang yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang melatar belakangi perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya, ketika datang wahyu tuhan yang menyeru agar manusia beragama, maka seruan tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu. Dalam konteks ini kita misalnya membaca ayat yang berbunyi,

فأقيم وجهك للدين حثيفا فطرت الله التى فطر الناس عليها
Artinya: “ Maka hadapkanlah wajahmu denagn lurus kepada agama allah, (tetapkanlah atas) fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. (QS: Ar-Rum 30)
Adanya potensi beragama yang terdapatpada manusia tersebut dapat pula di analisis dari istilah insan yang digunakan Al-qur’an untuk menunjukan manusia. Mengacu pada informasi yang diberikan Al-qur’an, memberikan satu kesimpulan, bahwa manusia ( insan) adalah manusia yang menerima pelajaran dari Tuahn tentang apa yang tidak diketahuinya. Manusia secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang semppurna bentuknya dibandingkan dengan citaan Tuhan lainnya sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran dan kebaikan yang terpancar dari ciptaan-Nya.
Pengertian manusia yang disebut insan, yang dalam Al-Qur’an dipakai untuk menunjukan lapangan kegiatan manusia yang amat luas adalah terletak pada kemampuan menggunakan akalnya dan mewujudkan pengetahuan konseptualnya dalam kehidupan kongkret. Hal demikian berbeda dengan kata basyar yang digunakan Al-Qur’an untuk menyebut manusia ddalam pengertian lahiriahnya yang membutuhkan makan, minum, pakaian, tempat tinggal, hidup, dan kemudian mati.
Informasi mengenai potensi agama yang dimiliki manusia itu dapat pula dijumpai dalam ayat sebagai berikut.
واذ أخذ ربك من بنى أدم من ظهورهم ذريتهم وأشهدهم على أنفسهم ألست بربكم قالو بلى شهدنا أن تقولوا يوم القيمة انا كنا عن هذا غافلون
Artinya: “ Dan (ingatlah) ketika tuhanmu mengelurkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab:” Betul (engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi ( kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak megatakan: “ sesungguhnya kami ( Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keasaan Tuhan). (QS: Al-A’raf, 172)
Berdasarkan informasi tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk nabi dalam salah satu hadits nya yang mengatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nashrani, atau Majusi. Karena demikian pentingnya menumbuh kembangkan dan memelihara potensi keagamaan yang ada dalam diri manusia, maka pada saat kelahirannya yang pertama kali diperdengarkan suara adzan pada telinga sebelah kanannya dan iqamat pada telinga sebelah kirinya. Keadaan demikian dipupuk dengan cara memberikan nama yang baik, karena nama yang baik mendoakan pada orang yang di namainya.
Selanjutnya diberikan makanan yang bersih dan suci yang dilambangkan dengan memberi madu pada saat kelahiran anak, dicukur rambutnya dengan tujuan agar menyukai kebersihan, keindahan, dan ketampanan yang semuanya itu disukai Allah. Selanjutnya dipotongkan hewan aqiqah yang dihidangkan kepada tetangga dan karib kerabat dengan maksud untuk mengakui eksistensi anak tersebut di tengah-tengah lingkungan keluarga yang selanjutnya dapat menumbuhkan rasa harga dirinya.
Selanjutnya, anak tersebut dikhitan dengan maksud mengikuti Sunnah Rasulullah, menyukai kebersihan, dan s4elanjutnya diajari membaca Al-Qur’an, dididik mengerjakan salat mulai usia tujuh tahun agar pada waktunya ia terbiasa mengerjakan dengan mudah. Salat ini dikerjakan mulai saat manusia bangun dengan salat subuh hingga menjelang tidur dengan mengerjakan salat isya. Jarak antara waktu subuh ke dzuhur mungkin ada akan ada yang membelokan dan membuat dirinya lupa pada Tuhan, maka diingatkan oleh waktu dzuhur, dan jareak waktu dzuhur ke asar mungkin ada yang akan membawa ia lupa pada Tuhan, maka dingatkan kembali pada Tuhan dengan salat asar. Demikian seterusnya hingga kepercayaan pada Tuhan yang merupakan unsur terpenting dalam beragama tetap terpelihara dengan baik terakhir pada saat menjelang kematian atau ajalnyapun kalimat yang harus diucapkan adalah kalimat tauhid, mengakui tidak ada Tuhan yang wajib diyakini adanya dan disembah kecuali Allah.
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat pula dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti tersebut kita mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun Tuhan yang mereka percayai itu terabatas pada khayalnya. Mereka misalnya, mempertuhankan pada benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan menggumkan. Pohon kayu yang usianya ratusan tahun tidak tumbang dianggap memiliki kekuatan misterius yang selanjutnya mereka pertuhankan. Kepercayaan demikian itu selanjutnya disebut agama dinamisme.
Selanjutnya kekuatan misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau jiwa yang memiliki karakter dan kecendrungan baik dan buruk yang selanjutnya mereka diberi nama agama animisme. Roh dan jiwa itu selanjutnya mereka personifikasikan dalam bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya disebut agama politeisme. Kenyataan ini menunjukan bahwa manusia memiliki potensi bertuhan. Namun karena potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk bermacam-macam yang keadaannya serba relatif. Dalam keadaan demikian itulah para nabi diutus kepada mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah Allah yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam agama yang disampaikan para nabi. Untuk itu, jika seseorang ingin mendapatkan keagamaan yang benar haruslah melalui bantuan para nabi. Kepada mereka itu, para nabi menginformasikan bahwa Tuhan menciptakan mereka dan yang wajib disembah adalah Allah. Dengan demikian, sebutan Allah bagi Tuhan bukanlah hasil khayalan manusia danm bukan pula hasil seminar, penelitian, dan sebagainya. Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Berkenaan dengan uraian tersebut diatas kita jumpai beberapa hipotesis yang diajukan mengenai pertumbuhan agama pada manusia. Sebagian hipotesis mengatakan bahwa agama adalah produk rasa takut. Seperti rasa takut manusia dari alam, dari gelegar suara guruh yang mengetarkan, dari luasnya lautan, dan dari deburnya ombak yang menggulung serta gejala-gejala alamiyah lainnya. Sebagai akinat dari rasa takut ini, terlintaslah agama dalam benak manusia. Seorang filosof Yunani mengatakan bahwa nenek moyang pertama para dewa ialah dewa kekuatan. Hipotesis lainnya mengatakan bahwa agama adalah produk kebodohan. Sebagian orang percaya bahwa faktor yang mewujudkan agama adalah kebodohan manusia, sebab manusia sesuai dengan wataknya selalu cenderung untuk mengetahui sebab-sebab dan hukum-hukum yang berlaku atas alam ini serta peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalamnya. Mungkin disebabkan tidak berhasil mengenalnya, ia lalu menisbatkan hal itu kepada sesuatu yang berdifat metafisis.
Hipotesis lainnya mengatakan bahwa motivasi keterikatan manusia kepada agama adalah pendambaannya akan keadilan dan keteraturan, yaitu ketika manusia menyaksikan kedzaliman dan tiadanya keadilan dalam masyarakat dan alam. Karena itu, ia menciptakan agama dan berpegang erat kepadanya demi meredakan penderitaan-penderitaan kejiwaannya. Hipotesis lainnya tentang agama kita jumpai pada kaum Marxis. Marxisme percaya bahwa agama diwujudkan agar kelas penindas tetap dapat mempertahankan keistimewaan, kedudukan, dan kekuasaannya di kalangan bangsa-bangsa. Pada tahapan pertama timbulnya komune-komune, agama belum sama sekali berwujud. Disebabkan beberapa faktor, terwujudlah pemilikan pribadi-pribadi dan kelas-kelas tertentu termasuk kelas penguasa dan kelas masyarakat proletar. Pada tahapan timbulnya kelas tuan tanah dan pemilik modal, kelas penguasa menhimpun teori tentang agama agar kaum proletar tidak melancarkan pemberontakan terhadapnya sebab, agamalah yang dapat mengekang kendali kemarahan kaum proletar dan merupakan candu yang membius mereka agar tetap dalam kelelapan dan ketidak sadaran
Beberapa hipotesis telah banyak dibuktikan kegagalannya oleh para ahli karena dasar hipotesis tersebut adalah hasil dari pemikiran manusia yang terbatas, sedangkan agama yang benar mesti datang dari yang Maha Tidak Terbatas, yaitu dari Tuhan. Hipotesis tersebut sekedar menunjukan bahwa manusia memilki potensi beragama, namun potensi tersebut jika tidak diarahkan akan keliru hasilnya sebagaimana terlihat pada beberapa hipotesis tersebut. Namun demikian bahwa dalam hal beragama akal saja tidaklah cukup.
Informasi lainnya yang menunjukan bahwa manusia memiliki potensi beragama dikemukakan oleh Carld Gustave Jung. Jung juga percaya, bahwa agama termasuk hal-hal yang memang sudah ada didalam bawah sadar secara fitri dan alami. Selanjutnya Wiliam James, seorang filosof dan ilmuan terkemuka dari Amerika mengatakan, “ kendatipun benar pernyataan bahwa hal-hal fisis dan material merupakan sumber tumbuhnya berbagai keinginan batin, namun banyak pula keinginan yang tumbuh dari alam dibalik alam material ini.” Buktinya, banyak perbuatan manusia tidak bersesuaian dengan perhitungan-perhitungan material. Pada setiap keadaan dan perbuatan keagamaan, kita selalu dapat melihat berbagai bentuk sifat deperti ketulusan, keikhlasan, kerinduan, keramahan, kecintaan, dan pengorbanan.
Gejala-gejala kejiwaan yang bersifat keagamaan memiliki berbagai kepribadian dan khasiat (karateristik) yang tidak selaras dengan semua gejala umum kejiwaan manusia. Sementara itu, Alexis Carell, salah seorang pemenang hadiah Nobel, berpendapat bahwa doa merupakan gejala keagamaan yang paling agung bagi manusia, karena pada keadaan itu jiwa manusia terbang melayang kepada Tuhan. Pada bagian lain dari bukunya yang berjudul Doa, Carell mengatakan bahwa pada batin manusia ada seberkas sinar yang menunjukan kepada manusia kesalahan-kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang kadang-kadang dilakukannya. Sinar inilah yang m,encegah manusia dari terjerumus kedalam perbuatan dosa dan penyimpangan. Lebih lanjut ia mengatakan, adakalnya manusia, pada beberapa keadaan ruhaniahnya, merasakan kebesaran dan keagungan ampunan Tuhan. Selanjutnya, Einstein menyatakan adanya bermacam-macam kejiwaan yang telah menyebabkan pertumbuhan agama. Demikian pula bermacam-macam faktor telah mendorong berbagai kelompok manusia untuk berpegang teguh pada agama.
Adanya naluri beragama (bertuhan) tersebut lebih lanjut dapat semakin diperjelas jika kita mengkaji bidang tasawuf. Ketika kita mengkaji paham hulul dari al-hallaj misalnya kita jumpai pendapatnya bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut. Demikian pula pada diri tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan mengacu pada zat-Nya. Sementara itu sifat nasut Tuhan mengacu pada sifat-Nya. Sementara sifat nasut manusia mengacu kepada unsur lahiriah dan fisik manusia, sedangkan sifat lahut manusia mengacu kepada unsur batiniah dan Ilahiyah. Jika manusia mampu merdam sifat nasut nya maka yang akan tampak adalah sifat lahutnya. Dalam keadaan demikian terjadilah pertemuan antara nasut Tuhan dengan lahut manusia, dan inilah yang dinamakan hulul.
Melalui uraian agak panjang lebar itu kita sampai pada kesimpulan, bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi beragama ini memerlukan pembinaan, pengarahan pengembangan, dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya.
2. Kelemahan dan kekurangan manusia
Faktor lain yang melatarbelakangi manusia membutuhkan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkanoleh kata al-nafs. Dalam al-Qur’an kata al-nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna yang berpungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Kita misalnya membaca ayat yang berbunyi,
ونفس وما سويها فألهمها فجورها وتقويها
Artinya: “ Demi nafs serta penyempurnaan ciptaan, Allah mengilhamkan kepadanya kefasikan dan ketaqwaan. (QS: Al-Syams: 7-8)
Menurut Quraisy Shihab bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan keburukan. Disini antara lain terlihat perbedaan pengertian kata ini menurut al-Qur’an dengan terminologi kaum sufi, yang oleh Al-Qusyairy dalam risalahnya dinyatakan bahwa nafs dalam penertin sufi adalah sesuatu yang melahirkan sifat tercela dan prilaku buruk. Pengertian kaum sufi tentang nafs ini sama dengan yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang antara lain menjelaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk berbuat yang kurang baik.
Selanjutnya, Quraisy Shihab mengatakan, walaupun Al-Qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun diperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat dari pada daya tarik keburukan lebih kuat dari pada daya tarik kebaikan. Sifat-sifat yang cenderung pada keburukan yang ada pada manusia itu antara lain berlaku dzalim (aniaya), dalam keadaan susah payah, suka melalmpaui batas, sombomh, ingkar dan sebagainya. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian nafs, dan tidak mengotorinya. Untuk menjaga kesucian nafs ini manusia harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama, dan disnilah letaknya kebutuhan manusia terhadap agama.
Dalam literatur teologi islam kita jumapi pandangan kaum Mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak mendahulukan pendapat akal dalam memperkuat argumentasinya dari pada pendapat wahyu. Namun demikian, mereka spakat bahwa amnusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang dapat mengetahui yang baik dan yang buruk, tetapi tidak semua yang baik dan yang buruk dapat diketahui akal. Dalam hubungan inilah, kaum Mu’tazilah mewajibkan pada tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu. Dengan demikian, kaum Mu’tazilah secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.
3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya emngandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Misalnya kita membaca ayat yang berbunyi,
ان الذين كفروا ينفقون اموالهم ليصدوا عن سبيل الله
Artinya: “ Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi ( orang ) dari jalan Allah. (QS al-Anfal, 36).
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obatan terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan senagaja. Untuk itu, upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin meningkat, sehingga upaya mengamankan masyarakat menjadi penting.