Total Tayangan Halaman

Minggu, 20 November 2011

PEMAHAMAN TEKSTUAL DAN KONTEKSTUAL LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR'AN DENGAN AL RA'Y

Telaah Makna Hadis
Hadis larangan menafsirkan al Qur'an yang telah dipaparkan di atas, bila dipilah pilah berdasarkan penggalan kalimat yang sarat akan keragaman interpretasi adalah sebagai berikut:
Pertama, man qa>la, dalam riwayat lain man kaz\aba; Kedua, fi< al-Qur'a>n atau 'ala> al-Qur'a>n, dalam riwayat lain fi< kita>billa>h; Ketigat bi ra'yihi, dalam riwayat lain bi gair 'ilm; Keempat, fa as}a>ba, faqad akht}a>'a dan Kelima, falyatabawwa' maq'adahu min al na>r.
Adapun penjelasan secara rinci penggalan penggalan hadis di atas adalah sebagai berikut:
1. Hadis di atas diawali statement Nabi SAW. man qa>la (siapa yang menyatakan), mengandung pengertian siapa saja (umat Muhammad sendiri ataupun bukan, orang yang ada pada masa Nabi ataupun sesudahnya) dan siapa saja (tanpa terikat oleh apapun khususnya setelah ucapan ini diluncurkan), untuk tidak menyatakan (baik secara lisan maupun tertulis), dalam syarah 'Aun al Ma'bu>d mencakup pula makna "memperbincangkan" (takallama) sesuatu yang disebutkan dalam kalimat berikutnya. Dalam riwayat lain menggunakan kata kaz\aba (berbohong) atau mengatakan yang bukan sebenarnya, atau mengatakan yang tidak dikatakan atau pernyataan yang disadari bukan kebenaran (qaulan yu'lamu anna al haqqa gairuhu), demikian pernyataan al Qari maupun al Manawi sebagaimana dikutip al Mubarakfuri maupun al Sa'ati. Al Manawi juga memberikan pengertian lain dalam kitab al Musykil yaitu pernyataan yang tidak ia kenali, atau tidak diketahui atau tidak dimengerti.
2. Sesuatu yang dinyatakan atau diperbincangkan tersebut adalah sesuatu yang ada fi< al-Qur'a>n atau dalam riwayat lain fi< kita>billa>h sebagai istilah atau sebutan lain dari al-Qur'an itu sendiri. Sudah barang tentu yang diperbincangkan bukan al-Qur'an nya itu sendiri melainkan apa yang ada di dalamnya, ada yang memaknai arti yang dikandung di dalamnya adalah tentang lafaznya maupun maknanya. Artinya khit}ab hadis ini ditujukan kepada siapa saja yang mengucapkan atau mengungkapkan, lebih lebih berbohong (mengungkapkan yang tidak benar atau menyalahi yang sebanarnya) dari apa apa yang ada di dalam al-Qur'an baik lafaz (wilayah qira>'at) maupun maknanya (wilayah ta'wil dan tafsir).

3. Keterangan lebih lanjut pengungkapan tentang isi al¬-Qur' an (lafaz maupun makna) tersebut dilakukan dengan cara atau timbulnya dari ra'yu atau dalam riwayat lain diungkapkan dengan kata bi ga i r 'ilm (tanpa pengetahuan). Al-Ra'yu yang bentuk jamaknya adalah ar'a>'u, atau ara>'u mengandung pengertian pendapat yang bukan bersumber dari nas}, sebagaimana kalangan Muhaddis\u>n menyebut para ulama yang menggunakan qiyas sebagai ahl al ra'y, yang mereka maksudkan adalah karena mereka berpegang kepada pendapat mereka sendiri terhadap hal hal yang musykil pada nash, atau dengan kata lain mereka yang tidak menghadirkan argumen didalamnya dengan hadis atau asar. Lebih jauh para syarih hadis memahami kata bi ra'yihi sebagai ungkapan yang didasarkan pada akalnya semata atau simbol dari nafsunya sendiri tanpa diikuti pernyataan para tokoh atau ahli bahasa Arab yang sesuai dengan kaedah kaedah syar'iyyah. Artinya bahwa mengungkapkan makna al Qur'an dengan menggunakan kaedah-kaedah bahasa Arab yang sesuai dengan manhaj al syar'iyyah tidak termasuk dalam kategori bi ra'yihi. Lebih lebih dalam riwayat lain diungkapkan dengan term bi gair 'ilm yang dimaknai oleh para syarih sebagai ungkapan yang tidak di dasari dalil yaqis dan sejenisnya) yang masih selaras dengan syari'at. Artinya bahwa hasil ijtihad dalam konteks hadis ini tidak masuk dalam kategori bi gair 'ilm selama menggunakan kaedah kaedah atau selaras dengan prinsip prinsip syar'i. Lebih-¬lebih Nabi SAW sendiri memperkenankan penggunaan ijtihad ketika tidak ada dasar nash al-Qur'an maupun hadis bahkan Nabi SAW sendiri dalam beberapa hal menggunakan qiyas untuk menjawab suatu permasalahan dan sebagainya.
4. Hadis di atas dilanjutkan dengan penegasan fa as}a>ba faqad akht}a>’a (sekiranya benar maka ia telah berbuat kesalahan), artinya hasil. dari pengungkapan yang muncul dari dorongan nafsu semata, atau muncul dari otaknya tanpa dilandasi kaedah kaedah atau tidak selaras dengan prinsip prinsip syar'i, maka sekalipun benar maka tetap bersalah, sebab benarnya adalah suatu kebetulan sedangakan salahnya karena faktor prosedurnya. Dernikianlah ulama memberikan penjelasan atas kalimat ini, seperti Ibn Hajar yang menyatakan kesalahannya. karena prosedur yang diberlakukan secara tidak konsisten, padahal Kalam Allah satu kata saja bila tidak dipahami dari kaedah bahasa, seperti nahwu saraf, balagah, dan lainnya akan mernbawa konsekwensi makna yang berbeda, demikian pula suatu ayat yang didalamnya terkait dengan ayat lain membutuhkan telaah historis (saba>b al nuzu>l), nasikh mansukh dan lain sebagainya. Al Taurbusti yang dikutip al Mubarakfuri menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan bi al ra'y adalah sesuatu yang tidak dilandasi atau melandaskan pada ilmu ilmu al-Qur'an dan al Sunnah, (di antaranya tolok ukur kebahasaan, dalam hal ini bahasa Arab, lalu 'ilmu asba>b al Nuzu>l, al nasikh, 'a>m dan kha>s, mujmal dan mufas}s}al serta yang lainnya) melainkan pernyataan yang muncul karena tuntutan akalnya sendiri, maka siapa saja yang melakukan tanpa memenuhi persyaratan di atas adalah salah di atas hal yang benar, itulah sebabnya ia membedakan antara mujtahad dan mutakkallif, mujtahid diberi pahala sekalipun salah, sedangkan mutakkalif diazab sekalipun benar. Perbedaan antara keduanya menurut penulis terletak pada prosedur (manhaj). Abadi menambahkan bahwa maksud pernyataan dengan al ra'y adalah tanpa landasan pengetahuan akan pokok pokok serta cabang¬-cabang ilmu yang terkait sehingga sekiranya ada kesesuaian yang tanpa disadarinya, bukanlah sesuatu yang terpuji.
5. Sebagai konsekwensi mereka yang mengungkapkan isi al Qur'an dengan prosedur yang salah yaitu melalui nalar ansich atau tanpa dasar ilmu ilmu yang terkait, lebih¬ lebih muncul dari hawa nafsunya, maka disediakan bagi mereka tempat yang sesuai dengan kecerobohannya tersebut yaitu falyatabawwa' maq'adahu min al na>r (maka hendaklah ia menempati tempat duduknya dari api), umumnya ulama menerjemahkan kata al na>r dengan api neraka terutama yang terkait dengan ancaman¬-ancaman agama. Bentuk perintah didalam hadis ini dipahami sebagai bentuk ancaman, ada pula yang memaknai perintah dalam hadis ini menunjukkan berita saja, artinya diberitakan bahwa mereka yang sengaja mengungkapkan isi al-Qur'an tanpa dasar ilmu atau muncul dari nafsu atau akal nya semata akan ditempatkan ditempat dari api neraka. Ibn Hajar al 'Asqa>lani yang dikutip al Asa’ati menyatakan bahwa ancaman ini ditujukan kepada kaum pembuat bid'ah yang menghilangkan begitu saja lafaz al-Qur'an untuk maksud yang mereka kehendaki sehingga dari segi prosedur mereka telah rnembuat kesalahan dalam pengambilan dalil maupun nas}nya.
6. Semakin jelas sudah makna hadis di atas ditinjau dari sisi lafz}inya dengan berbagai kemungkinan kandungan di dalamnya jelas sekali bahwa ancaman hadis ini diberikan kepada siapa saja yang melakukan upaya pemaknaan al-Qur'an dengan akal semata lebih lebih dengan nafsunya atau tanpa landasan pengetahuan yang memadai dan terkait dengan al Qur'an. Kalau diperhatikan lebih jauh dari setting statemen ini, tampaknya hadis ini sedang membicarakan tentang keharusan umat Islarn atau siapa saja yang akan mendalami al Qur'an memiliki bekali ilmu khususnya terhadap sunnah Nabi yang di dalamnya memuat penjelasan beliau (sebagai mubayyin al-Qur'an) guna memahami al Qur'an secara benar dan bukan sebaliknya tergesa menafsiri dengan akal nya sendiri dengan mengabaikan apa yang telah dijelaskan Nabi. Kalau hal itu dilakukan berarti dia telah berbohong atas nama Nabi SAW, karena otoritas penjelasan ada padanya, tanpa berkonsultasi dengan penafsirannya atau manhaj penafsiran Nabi SAW tersebut berarti telah berbohong atas namanya. Ungkapan inilah yang tampak pada bagian awal hadis yang sedang diteliti ini yaitu: ittaqu al-¬h}adi ma> 'alimtum (takutlah kalian/hati hatilah terhadap hadis hadis dariku kecuali yang benar benar telah aku ajarkan kepada kalian), makna takutlah kalian di atas adalah anjuran untuk waspada kalau perlu menjauhi apa apa yang dinyatakan sebagai hadis dari Nabi, kecuali benar benar hal itu telah diajarkan Nabi SAW (disimak dan dipelajari sahabatnya). Lebih lebih menyatakan sesuatu untuk menguatkan argumennya atau pelaksanaan agamanya dengan mengatasnamakan hadis Nabi SAW, atau bersumber dari Nabi SAW.

Tafsin al Asa>m, al Jubba'i, 'Abd al Jabba>r, al Ha>ni, al-¬Zamakhsyari< dan mereka yang sealiran dengan mereka. Tampaknya penilaian ini lebih karena mereka dari kalangan mu'tazili yang dikenal sebagai kelompok rasionalis yang berseberangan dengan ahl al sunnah, sebagaimana diterangkan al Imam Ibn al 'Arafah al Maliki. Melalui contoh ini kemudian sebagian menunjuk kepada karya tafsir seperti al Kasysya>f dan beberapa kitab tafsir lain yang dikelompokkan oleh ulama berikutnya sebagai kelompok tafsid, al qiya>s (analogi) sebagaimana sebutan ahl al¬-ra'y sering digunakan untuk menyebut kalangan as}ha>b al qiya>s. (para pengguna analogi).
Dalam penggunaanya, kata al ra'yu sering digunakan kalangan ulama tafsir untuk menyebut penafsiran dengan Ijtiha>d. Sudah barang tentu mufassir yang masih menerima term al ra'y ini sebagai ijtihad memberikan batasan tafsid) atau pengerahan al ra'yu yang dibangun atau prinsip-¬prinsip yang benar dan lurus (salimah).
Terlepas dari definisi di atas, tampaknya para ulama pro kontra terhadap penafsiran bi al-ra'yi ini, di antara mereka ada yang secara keras tidak memperkenankan, sebagian lain membolehkannya.
Mereka yang menolak tafsihumma faqqihhu fi< al Dir (nash hadis Nabi SAW), maka apalah gunanya do'a tersebut.
Demikianlah sekilas pro kontra di sekitar boleh dan tidaknya tafsir bi al-ra'yi berikut argumen masing masing. Kedua-duanya sulit dipertemukan, namun bila dilihat dari substansinya, sebenarnya keduanya memiliki titik temu, sebagaimana tergambar dalam sub bab berikutnya.


Pemahaman Kompromis Antara Larangan Hadis Dan Fenomena Tafsir bi Al-Ra'y
Bila memahami perjalanan sejarah, maka term al-ra'yu yang berkembang saat ini, yaitu pada klasifikasi kitab tafsir yang menggunakan pendekatan al-ra'yu sebagai sisi lain dari pendekatan al riwa>yah, dengan al-ra'yu yang diungkapkan Nabi SAW pada masa awal, maka pro kontra tersebut tidak akan ekstrim.
Justru karena pemaknaan tafsir bi al-ra'yi yang ulama sebagai model penafsiran dengan term al-ra'yu yang digunakan Nabi SAW saat tafsir belum ada kecuali darinya disamaartikan tanpa ada penalaran yang kritis menjadikan klaim atau penilaian terhadap kitab tafsir tententu secara berlebihan.
Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman sekaligus upaya kompromis dari perdebatan sehingga ulama perlu menilai kembali kepada tafsir yang ada apakah masuk dalam, kategori bi al-ra'yi yang diancam Nabi SAW tersebut, ataukah kategori bi al ra'y komprehensip yang ada, kitab kitab al-ra'y yang dianjurkan Nabi SAW untuk ditumbuh kembangkan yaitu sesuai semangat al-Qur'an yang mendorong manusia untuk senantiasa mendayagunakan akal pikirannya.
Tampaknya pemahaman seperti ini juga telah dilakukan beberapa ulama bahwa perbedaan yang muncul di kalangan ulama pro pelarangan tafsir bi al-ra'yi dan yang membolehkannya, sebenarnya bukan pada tataran makna al-¬ra'y secara maknawi, melainkan pada tataran lafzi.
Ulama sepakat bahwa pemaknaan al ra'yu dalam perdebatan ini perlu dipahami dari dua sisi, yaitu:
1. Sekiranya al-ra'yi itu digunakan pada ayat dengan tetap memiliki kesesuaian dengan ungkapan orang Arab juga seirama dengan kandungan al-Qur'an dan al Sunnah (secara umum) berikut tetap memelihara keseluruhan persyaratan yang dibutuhkan dalam menafsirkan al¬Qur'an, maka penggunaan al-ra'y seperti ini diperbolehkan tanpa keraguan.
2. Sebaliknya, bila al-ra'yu tersebut diberlakukan tanpa memandang ketentuan-ketentuan kebahasan (dalam hal ini bahasa Arab) juga tidak sesuai dengan dalil dalil syar'iy atau tidak memenuhi persyaratan-persyaratan yang dibutuhkan di dalam penafsiran. Maka semua ulama sepakat penggunaan al-ra'yi yang demikian ini terlarang.
Point yang kedua di atas inilah yang menurut penulis sebagai pemahaman makna al ra'y dalam konteks hadis, mengingat hadis tersebut menekankan makna al rayu sebagai nalar akal ansich (tanpa didasari pengetahuan/ bil gair 'ilm).
Bi ra'yihi dalam hadis tersebut sudah sangat jelas mengacu kepada kemampuan akal belaka sehingga apabila dikaitkan dengan tafsis juga menyandarkan kepada cerita Israilliyat yang dapat dipertanggungjawabkan dan sebagainya.
Artinya Ibn 'Abba>s pun telah menggunakan ra'yu nya, hanya bukan semata mata muncul dari nalar apalagi nafsunya, melainkan muncul dari pengetahuan dan dukungan dalil atau bukti bukti yang dapat dipertanggungjawabkan. Sekiranya apa yang dia lakukan ini sebagaimana yang dimaksudkan Nabi SAW dalam hal larangan menafsirkan al-¬Qur'an dengan al rayu, maka dapat dipastikan ibn 'Abbas tidak akan melakukan hal itu, demikian pula dengan sahabat lainnya seperti Ibn Mas'ud, 'Aisyah dan lainnya.
Bagi kelompok yang menolak tafsir bi al-ra’y selalu menyebut dalam kategori tafsir Mu’tazilah artinya di luar Sunni, hal ini merupakan anggapan ideologi semata. Karya-karya tafsir bi al-ra’y diantaranya penafsiran Abd al-Rah}ma>n al-Asa>m, al-Juba’i, Abd al-Jaba>r, al-Ha>ni, al-Zamakhsyari< dan tafsir-tafsir yang sealiran dengan mereka. Maka dari sini Husain al-Zahabi mengkompromikan antara pendapat yang menolak dan yang memperbolehkan tafsir bi al-Ra’y dengan menjadikan dua golongan yaitu tafsir bi al-Ra’y Mazmu>m dengan bi al-Ra’y Mah}mu>d.
Adalah sesuatu yang sangat berbeda antara hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y dengan tafsir bi al-ra’y karena tafsir bi al-ra’y merupakan tafsir yang dalam penafsirannya mengedepankan akal namun tetap dalam bingkai kaidah syara’.
Sesungguhnya semua tafsir yang disebut dengan tafsir bi al-ra’y baik yang Mu’tazilah, Syiah maupun yang Sunni tidak ada satupun diantaranya yang tidak menggunakan akal (ra’y) artinya tafsir bi al-ra’y yang lebih diidentikkan dengan tafsir Mu’tazilah oleh golongan Sunni ini sebenarnya masih kembali atau tetap dalam koridor penafsiran yang memperhatikan ayat-ayat yang lain, hadis-hadis, kaidah-kaidah bahasa arab serta memperhatikan pendapat ulama sebelumnya.
Alhasil tafsir bi al-ra’y memang dalam menafsirkannya didominasi oleh akal namun tetap dalam kaidah syara’, jadi jika dihubungkan dengan hadis larangan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y sangatlah berbeda, karena menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y artinya hanya dengan pendapatnya semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar