Total Tayangan Halaman

Rabu, 09 November 2011

Hadits Shohih

PENGERTIAN HADITS SHAHIH
Secara Bahasa
Kata shahih telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti: sah, benar, sempurna, sehat (tiada celanya). Kata tersebut berasal dari bahasa Arab al-shahih, yang secara bahasa berarti yang sehat.
Sedangkan menurut istilah, para ahli berbeda-beda redaksi dalam memberikan definisi hadits ialah shahih, diantaranya:
1. Al- Suyuthi
هو ما اتصل سنده بعدول الضابطين من غير شدود ولا علة
Hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, di riwayatkan oleh perawi yang adil dan dlabith dan tidak ditemukan kejanggalan dan tidak juga berillat.
2. Abu Amr ibn Ash-Shalah
الحديث الصحيح هو المسند الذى يتصل اسناده بنقل العدل الضابط عن العدل الضابط الى منتهاه
Hadits shahih adalah hadits yang sudah disandarkan yang sanadnya bersambung dengan periwayatan seorang perawi yang adil, dlabith (yang berasal) dari orang yang adil dan dlabith sampai pada akhir sanadnya dan tidak ada kejanggalan dan cacat.
3. M. 'Ajjaj Al-Khathib
هو ما اتصل سنده برواية الثقة عن الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة
Hadits shahih adalah hadits yang muttashil sanadnya melalui periwayatan perawi yang tsiqqah dan (barasal) dari orang yang tsiqqah (pula), (mulai) dari awal sanad sampai pada akhir sanad dengan tidak ada kejanggalan dan cacat (di dalamnya).
4. Menurut para Muhadditsin
اما نقله عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولاشاذ
Hadits shahih adalah hadits yang dinukil (diriwayatkan) oleh rowi yang adil, sempurna ingatannya, sanadnya bersambung, tidak ber-illat dan tidak janggal.
Dari definisi atau pengertian hadits shahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadits di atas dapat dinyatakan, unsur-unsur keshahihan sanad hadits ialah: tersambung sanadnya, periwayat bersifat 'adil, periwayatnya dlabith, hadits yang diriwayatkan tidak masuk kategori syadz, dan hadist yang diriwayatkan tidak ber'illat.
UNSUR-UNSUR KESHAHIHAN HADITS
a) Tersambung sanadnya (ittisal as-sanad)
Tiap-tiap periwayat dalam sanad hadits menerima riwayat hadits dari periwayat yang terdekat sebelumnya; keadaan itu berlangsung demikian sampai akhir sanad dari hadits itu. Jadi, seluruh rangkain periwayat dalam sanad, mulai dari periwayat yang disandari oleh al-mukharrij (penghimpun riwayat hadits dalam karya tulisnya ) sampai kepada periwayat tingkat sahabat yang menerima hadits yang bersangkutan dari Nabi, bersambung dalam periwayatan.
Untuk mengetahui (dalam arti musnad) atau tidak bersambung suatu sanad, biasanya ulama hadits menempuh tata-kerja penelitian sebagai berikut:
a. Mencatat semua nama periwayat dalam sanad yang diteliti.
b. Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
c. Meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad.
Jadi, suatu sanad hadits barulah dapat dinyatakan bersambung apabila:
a. Seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dlabith).
b. Antara masing-masing periwayat dengan periwayat terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahammul wa ada’ al-hadits.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, unsure-unsur kaidah sanad bersambung: muttashil dan marfu’.
b) Periwayat Bersifat Adil
Kata adil memiliki lebih dari satu arti, baik dari segi bahasa maupun istilah.
• Adil adalah sifat yang ada pada seseorang yang senantiasa mendorong untuk bertakwa dan menjaga kredibilitasnya. Ini terkait dengan dimensi moral spiritual.
• Menurut Ar-Razi, ‘ adalah ialah tenaga jiwa, yang mendorong untuk selalu bertindak taqwa, menjauhi dosa-dosa besar, menjauhi kebiasaan-kebiasaan melakukan dosa-dosa kecil dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mubah yang dapat menodai keperwiraan (muru’ah) , seperti makan di jalan umum, buang air kecil ditempat yang bukan disediakan untuknya dan bergurauan yang berlebih-lebihan.
Keadilan seorang rawi, menurut Ibnu Sam’any, harus memenuhi empat syarat:
a. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat.
b. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
c. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkam iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
d. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzab yang bertentangan dengan dasar syara’.

C) Periwayat Bersifat Dlabit
Dlabith adalah orang yang kuat ingatannya artinya bahwa ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya.
Sifat Dlabith
a. Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya (diterimanya).
b. Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya.
c. Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalnya itu dengan baik.
Dalam buku Ushul al-Hadits, M. 'Ajjaj Al-Khathib menulis bahwa yang dimaksud dlabith adalah orang-orang yang benar-benar sadar ketika menerima hadits, paham ketika mendengarnya dan menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya. Yakni perawi harus hafal dan mengerti apa yang diriwayatkannya (bila ia meriwayatkan dari hafalannya) serta memahaminya (bila ia meriwayatkannya secara makna). Dan harus menjaga tulisannya dari perubahan, penggantian ataupun penambahan, bila ia meriwayatkannya dari tulisannya. Syarat ini mengecualikan periwayatan perawi yang pelupa dan sering melakukan kesalahan.
Macam-macam
Dlabithu ‘ash-shadri, jika seseorang memiliki ingatan yang kuat, sejak dari menerima sampai pada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan dan dimana saja dikehendaki.
Dlabithu ‘l-Kitab, jika apa yang disampaikan itu berdasar pada buku catatannya.
Dlabit sendiri dibagi menjadi tiga tingkatan:
Tingkat pertama ( al-darojah al-ulya) yang ada pada 'adil dan dlobid
Tingkat kedua (al-darojah al-wustho) tingkatan yang ada di bawahnya
Tingkat ketiga (al-darojah al-dunya) bawah tingkat kedua.
Cara menentukan ke-dlabith-an seorang periwayat, menurut berbagai pendapat para ulama yaitu:
a. Ke-dlabith-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.
b. Ke-dlabith-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang telah dikenal ke-dlabith-annya. Tingkat kesesuaian itu mungkin hanya sampai ketingkat makna atau mungkin ketingkat harfiah.
c. Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka dia masih dikatakan sebagai periwayat yang dlabith. Tetapi apabila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dlabith.
d) Hadits yang diriwayatkan bukan termasuk kategori hadits yang syadz
Hadits yang mengandung syudzudz, oleh ulama disebut sebagai hadits syadz, sedang “lawan” dari kata syadz disebut sebagai hadits mahfuzh.
Kejanggalan suatu hadits itu terletak kepada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (yang dapat diterima periwayatannya) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih daripadanya, disebabkan dengan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Sebab utama kesulitan penelitian syudzudz dan ‘illah hadits adalah karena kedua hal itu terdapat dalam sanad yang tampak shahih. Para periwayat hadits ini bersifat tsiqat dan sanad-nya tampak bersambung. Syudzudz dan ‘illah hadits baru dapat diketahui setelah hadits itu diteliti lebih mendalam, antara lain dengan diperbandingkan berbagai sanad yang matan-nya mengandung masalah yang sama. Dengan langkah penelitian sebagai berikut:
a. Semua sanad yang mengandung matan hadits yang pokok masalahnya memiliki kesamaan dihimpun dan diperbandingkan.
b. Para periwayat diseluruh sanad diteliti kualitasnya.
c. Apabila seluruh periwayat bersifat tsiqat dan ternyata ada seorang periwayat yang sanad-nya menyalahi sanad-sanad lainnya, maka sanad yang menyalahi itu disebut sanad syadz sedang sanad-sanad lainnya disebut sanad mahfuzh.
Jadi, apabila terjadi pertentangan antara periwayat dengan periwayat lain yang sama-sama bersifat tsiqat, maka periwayat yang sendirian “dikalahkan” oleh periwayat yang banyak. Periwayat yang banyak dalam hal ini “dimenangkan”, karena mereka dinilai lebih kuat atau lebih tsiqat (awsaq).
e) Hadits yang diriwayatkan harus terbebas dari ‘illat (cacat) yang dapat menyebabkan kualitas hadits menjadi turun.
‘llat hadits ialah suatu penyakit yang samar-samar, yang dapat menodai keshahihan hadits. Misalnya meriwayatkan hadits secara muttashil (bersambung) terhadap hadits mursal (yang gugur seorang sahabat yang meriwayatkannya) atau terhadap hadits munqathi’ (yang gugur salah seorang rawinya) dan sebaliknya. Demikian juga, dapat dianggap suatu ‘illat hadits, yaitu suatu sisipan yang terdapat pada matan hadits.
Ulama’ hadits umumnya menyatakan, ’illat hadits kebanyakan berbentuk :
a. Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mawquf.
b. Sanad yang tampak muttashil dan marfu’, ternyata muttashil tetapi mursal (hanya sampai ke al-tabi’iy).
c. Terjadi percampuran hadits dengan bagian hadits lain.
d. Terjadi kesalahan penyebutan periwayat, karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedang kualitasnya tidak sama-sama tsiqat. Dua bentuk ‘illat yang disebutkan pertama berupa sanad hadits terputus sedang dua bentuk ‘illat yang disebut terakhir berupa periwayat tidak dlabith, sedikitnya tidak tamm al-dlabith.
MACAM-MACAM HADITS SHAHIH
Hadits shohih terbagi menjadi dua;
a) Shohih li dzatihi
صحيح لذاته هو الذى اشتمل على اعلى صفات القبول
Shahih li dzatih ialah hadits yang didalamnya telah terpenuhi syarat-syarat hadits maqbul secara sempurna.
مااشتمل على اعلى صفات القبول
Shahih li dzatih yaitu hadits yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang lurus mengharuskan kita menerimanya.
Akan tetapi jika kualitas daya ingatan perawi kurang sempurna, maka hadits shahih li dzatihi turun menjadi hadits hasan lidzatih. Akan tetapi jika kekurangan tersebut dapat ditutup dengan adanya hadits lain yang bersanad lain yang kualitas daya ingatannya lebih kuat, maka naiklah hadits shahih li ghairih.
Contoh:
لولا ان أشق على امتى او على الناس لأمرتهم بالسواك مع كل صلاة. رواه البخارى
Seandainya aku tidak takut memberatkan umatku atau manusia, niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak sholat. HR.Bukhari
b) Shohih li ghoirihi
ما لم تتوافرفيه اعلى صفات القبول
Yang tidak sempurna padanya setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya.
ماوجد فيه قصورعن رتبة الصحة, ثم وجد له مايجبرذلك القصورككثرة الطرق
Khabar yang didapati padanya kekurangan dari martabat shahih, kemudian didapati baginya sesuatu yang menutupi kekurangan itu, seperti banyak jalannya.
هو ماكان رواته متأخراعن درجة الحافظ الضابط مع كونه مشهورابااصدق حتى يكون حديثه حسناثم وجد فيه من طريق اخر مساولطريقه أو ارجح مايجبرذلك القصور الواقع فيه
Hadits yang keadaan rawi-rawinya kurang Hafidh dan dlabith tetapi mereka masih terkenal orang yang jujur, hingga karenanya berderajad hasan, lalu didapati padanya dari jalan lain yang serupa atau lebih kuat, hal-hal yang dapat menutupi kekurangan yang menimpanya itu.
Hadits ini dinamakan lighoirihi karena keshohihan hadits disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dalam artian hadits yang tidak sampai pada pemenuhan syarat-syarat yang paling tinggi. Yakni dlabith seorang rawi tidak pada tingkatan pertama. Hadits jenis ini merupakan hadits hasan yang mempunyai beberapa penguat. Artinya kekurangan yang dimiliki oleh hadits ini dapat ditutupi dengan adanya bantuan hadits, dengan teks yang sama, yang diriwayatkan melalui jalur lain. Contoh hadits dari Muhammad bin Amr dari Abi Salamah dari Abi Hurairoh bahwa Nabi bersabda
لو لا أن أشق علي أمتي لأمرتهم بالسواك عند كل صلاة
Letak hadits ini masuk pada kategori lighorihi. Menurut Ibnu Sholah memberi alasan karena pada Muhammad bin Amr bin al-Qomah termasuk orang yang lemah dalam hafalan,.kekuatan, ingatan dan juga kecerdasanya, Akan tetapi hadits ini dikuatkan dengan jalur lain, yaitu oleh al A'raj bin Humuz dan sa'id al Maqbari maka bisa dikategorikan shohih lighirihi.
ISTILAH TENTANG HADITS SHAHIH
وفيه اصح الأسانيد
Hadits yang dinilai seperti ini, mempunyai rentetan-rentetan sanad yang lebih shahih. Martabat hadits tersebut sangat tinggi, karena harus diutamakan daripada yang lain:
وفيه اسناده مقال
Sanad hadits ini, perlu diselidiki lebih lanjut, disebabkan diantara sanadnya terdapat orang yang dipertengkarkan tentang keadaan dan kelakuannya. Oleh karenanya, hadits ini belum segera dapat diamalkan, selama belum jelas sanadnya atau memperoleh sokongan kekuatan dari hadits lainnya.
هذاحديث صحيح الإسناده أواسناده صحيح
Hadits ini shahih sanadnya. Yang demikian ini, tidak berarti shahih matannya. Suatu hadits kadang-kadang hanya shahih sanadnya, yaitu rawinya tsiqah tetapi matannya tidak shahih, lantaran terdapat ‘illat atau syudzudz. Jika ahli hadits mu’tamad menyebutkan shahih ‘l-isnad tanpa menyebutkan ‘illatnya, maka menurut lahirnya hadits itu dihukumkan sebagai haduts shahih.
هذاحديث صحيح
Hadits ini muttashil sanadnya, serta melengkapi segala syarat hadits shahih. Istilah ini tidak memberikan pengertian, bahwa hadits ini harus diterima secara qath’iy. Sebab hadits shahih itu mungkin juga hanya diriwayatkan oleh seorang rawi pada seluruh atau sebagian thabaqah atau beberapa orang rawi pada seluruh atau sebagian thabaqah yang tidak sampai pada derajad mutawatir. Suatu hadits yang diberi nilai “Hadza Haditsun Shahihun” lebih tinggi martabatnya daripada hadits yang diberi nilai “Hadza Haditsun Shahihun ‘l-Isnad”.
متفق عليه أوعلى صحته
احرجه البخارى ومسلم
Kebanyakan istilah tersebut dalam kitab-kitab Mustakhraj, mengandung arti bahwa hadits yang ditulis oleh mukharrijnya terdapat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Hanya saja yang ditulisnya itu tidak tentu sama benar dengan yang terdapat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim. Keculi kalau ia disebut dengan: “ akhrajahu bilafdhihima”.
صحيح على شرطى البخاوى ومسلم
حسن صحيح
Istilah At-Turmudzi ini, menurut:
a. Ibnu ‘sh-shahlah berarti: bahwa hadits itu mempunyai dua sanad, yakni yang pertama bersanad hasan dan kedua bersanad shahih.
b. Pendapat lain mengatakan, bahwa diantara kedua kalimat itu terdapat huruf penghubung yang telah dibuang yaitu: au (atau). Jika demikian maka hadits itu hanya mempunyai satu sanad saja, tetapi para ulama berlain-lainan menilainya. Sebagian ulama menilainya dengan hasan dan sebagian ulama yang lainnya menilainya dengan shahih. Jadi, di dalam hadits ini terdapat taraddud tentang nilainya, sehingga menimbulkan keraguan. Dengan demikian hadits ini lebih rendah derajadnya daripada hadits shahih. Karena hadits yang dinilai dengan tegas adalah lebih meyakinkan daripada hadits yang dinilai dengan keragu-raguan.
c. Kalau hadits yang dinilai hasanun shahihun tersebut, bukan haduts fard, maka hal itu berarti bahwa hadits itu mempunyai dua sanad, yakni yang satu shahih dan yang satu hasan. Jika demikian, hasan shahih ini lebih tinggi daripada hadits shahih. Karena hadits yang mempunyai sanad yang banyak itu, dapat bertambah kuat.
هذا حديث جيد
Menurut Ibnu ‘sh-Shalah dan Al-Bulqiny, istilah itu sama dengan istilah “hadza haditsun shahihun” di dalam sunan At-Turmudzy terdapat istilah “Hadza Haditsun Jayyidun hasanun” yang artinya sama dengan: “hadza haditsun shahihun hasanun”.
Ibnu Hajar menyangkal bahwa tidaklah tepat apabila hadits shahih itu muradif dengan hadits jayyid, kecuali kalau hadits itu semula hasan lidzatih, kemudian menjadi shahih lighairihi. Dengan demikian bahwa hadits shahih yang disifatkan dengan jayyid itu, lebih rendah daripada hadits shahih itu sendiri. Demikian juga halnya dengan hadits qawiy, tentu lebih rendah dari hadits shahih.
هذا حديث ثابت أومجود
Pengarang At-Tadrib menyatakan, bahwa istilah ini dapat ditetapkan penggunaannya dalam hadits shahih dan hasan.
KITAB-KITAB YANG MEMUAT HADITS SHAHIH
1. Kitab Shahih Bukhari
2. Kitab Shahih Muslim
3. Kitab Mustadrak al-Hakim
4. Kitab Shahih Ibnu Hibban
5. Kitab Shahih Ibnu Huzaimah
6. Kitab Shahih Abu ‘Awanah
7. Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa.
8. Ibnu Abdil Wahid al-Maqdisi dalam kitab al-Mukhtarah.
9. Kitab Sunan Abu Dawud
10. Kitab Sunan At-Turmudzy
11. Kitab Sunan An-Nasa’i
12. Kitab Sunan Ibnu Majah
13. Kitab Sunan ad-Daruquthniy
14. Kitab Sunan Al-Baihaqiy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar