Total Tayangan Halaman

Senin, 07 November 2011

Filsafat Sosial

Buku “Sosiologi dan Filsafat” yang terbit pertama kali tahun 1989 oleh Penerbit Erlangga Jakarta ini merupakan terjemahan dari buku yang berjudul asli “Sociology and Philosophy”.Adapun “Sociology and Philosophy” merupakan produk alih bahasa dari sebuah buku yang berisis kumpulan makalah berbahasa Prancis karya Emile Durkheim di bawah judul “Sociologie et Philosophy”.
Menurut J.G. Peristiany, karya-karya Emile Durkheim yang terkompilasi dalam buku ini dapat disebut sebagai Esei dalam spiritualisme. Pendapat ini—menurutnya—didasari oleh tesis yang diajukan oleh Durkheim: masyarakat adalah suatu sistem dinamis dan merupakan landasan berpijak kehidupan moral.
Selanjutnya, untuk lebih mendalam dalam memahami karya Durkheim—yang oleh Talcott Parsons disebut sabagai seorang dari dua pendiri utama era sosiologi modern (yang satunya adalah max Weber—berikut ini adalah resume dari beberapa makalah karya Durkehim yang dibukukan dalam satu judul buku “Sociology and Philosophy”.

Representasi Individu dan Representasi Kolektif, Absurditas Pelekatan Ide kepada Sel
Eksistensi ingatan cukup untuk menyatakan bahwa representasi kehidupan tidaklah inheren dalam zat saraf; sebab ia memiliki cara berada diri sendiri, dan berdasarkan kekuatan-kekuatannya sendiri. Karena reaksi-reaksi unsur otak satu sama lain diterima dan ditekan oleh ingatan, bukan satu-persatu tetapi secara keseluruhan dalam apa yang dapat dinamakan sebagai eksistensi komunal. Bilamana ada kehidupan komunal, maka akan terdapat dampak-dampak yang jauh melampaui pengaruh unsur-unsur. Itulah sebabnya, dengan cara yang sama bisa dikatakan bahwa pengetahuan tentang apa saja yang berlangsung dalam pikiran individu tidak memberikan kunci untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran kolektif.
Moral berawal dari anggota suatu kelompok dan ketika dia dianggap menempatkan individu lebih rendah dibanding kewajiban sosial dan waktu menunjukkan bahwa dewasa ini kewajiban utama manusia ialah melaksanakan kewajiban profesionalnya. “Masyarakat bukanlah sebuah sistem organ fungsi tetapi merupakan pusat kehidupan moral”. “Fungsi masyarakat yang sebenarnya ialah menciptakan ideal”. Oleh karena itu, masyarakat membentuk suatu pusat asal melalui mana hakikat melintas untuk kemudian melampaui dirinya sendiri.

Filsafat dan Fakta Moral
Tujuan yang selalu ingin dikejar dan dicapai oleh para filsuf moral sepnjang zaman sangat berbeda sifatnya. Sebab mereka tidak pernah mengarah pada suatu tujuan representasi tertentu, tanpa menambah atau mengurangi realitas moral yang ada. Ambisi para filsuf moral seringkali adalah membangun moralitas baru, yakni suatu moralitas yang berbeda dalam tema esensial dengan yang dianut oleh rekan mereka atau para pendahulu mereka. Mereka itu biasanya revolusioner atau pemberontak. Sedang persoalan yang dibahas adalah bagaimana menemukan kandungan moralitas. Bukan kandungan sebagaimana dipandang oleh filsuf tertentu, tetapi kandungan sebagaimana dipandang oleh kemanusiaan dalam wujud diri kolektif. Dari sudut pandang ini, doktrin-doktrin para filsafat tadi kehilangan sebagaian besar nilainya.
Namun adalah sangat keliru untuk beranggapan bahwa para filsuf itu terabaikan. Yang ditolak adalah: hak istimewa dan keutamaan yang sering diberikan pada mereka. Mereka mengajari tentang fakta, mengajarkan tentang apa yang ada dalam pikiran publik pada kurun waktu tertentu, dan oleh karena itu seharusnya mereka bisa memberikan penjelasan yang memadai. Yang tidak disetujui adalah: mereka mengungkapkan kebenaran moral dengan cara yang sangat muluk-muluk sebagaimana pakar fisika atau kimia menyatakan kebenaran tentang susunan suatu benda di bawah judul fisiko-kimiawi. Konsepsi para filsuf dan moralis telah banyak membantu untuk memasuki lebih jauh lagi analisis kita tentang ilmu masyarakat (kesadaran komunal) menuju lapisan dimana arus yang usang dan separuh sadar tersebut diteliti.

Pertimbangan Nilai dan Pertimbangan Realitas
Segala sesuatu yang bernilai, dalam batas tertentu adalah baik. Segala sesuatu yang baik berarti diinginkan. Dan semua keinginan adalah keadaan psikologis. Namun demikian, nilai mempunyai obyektivitas. Bagaimanakah kedua ciri (Pertimbangan Nilai dan Pertimbangan Realitas) yang sekilas bertentangan ini dapat dikombinasikan; bagaimana seseorang menyatakan suatu keadaan perasaan, terlepas dari orang yang merasakannya? Terhadap permasalahan ini ada beberapa tawaran jawaban yang bertentangan.
Bagi mayoritas pemikir dari beragam aliran, perbedaan antara kedua jenis pertimbangan jelas sekali: setiap obyek mempunyai nilai inheren (berhubungan erat), dan pertimbangan nilai mengungkapkan tidak lebih dari sekadar pengaruh ciri khas obyek pertimbangan itu terhadap penilai. Jika pengaruhnya digemari, maka obyek diberi nilai positif, jika tidak, nilai negatif. Jika kehidupan bernilai bagi manusia, itu karena manusia merupakan makhluk hidup—dan sudah merupakan sifat makhluk hidup untuk hidup.
Nilai terdiri dari pengaruh yang dihasilkan oleh sesuatu benda terhadap sensibilitas, padahal sensibilitas tiap-tiap orang sangat berbeda. Sementara orang gemar terhadap sesuatu sedang orang lain justru jijik. Kehidupan pun tak diinginkan semua orang, sebab ada orang yang membunuh—entah karena kewajiban atau kebencian. Bagaimanapun terdapat banyak ragam untuk menghayatinya. ada yang menyukai nilai yang intens dan komplek, ada yang justru menyukai kesederhanaan.
Dapat dikatakan bahwa ada tipe rata-rata dalam mayoritas individu, dan bahwa penilaian obyektif terhadap sesuatu obyek menunjukkan dampak obyek tersebut terhadap rata-rata individu. Oleh karena itu, tidak dapat melihat pada orang rata-rata tersebut untuk menemukan standar moralitas. Alasan lain mengapa evaluasi subyektif dan evaluasi rata-rata tidak boleh dicampuradukkan adalah bahwa reaksi rata-rata individu tetap merupakan reaksi idividu. Karena suatu kondisi tertentu selalu ditemukan bersama sebagian terbesar orang. Dengan alasan ini tidak bisa dikatakan bahwa evaluasi rata-rata adalah obyektif.
Dalam hal ini, nilai diperoleh dari cara bagaimana benda memengaruhi subyek kolektif, dan bukan subyek individu. Taksiran menjadi obyektif bila ia telah memiliki sifat kolektif. Maka dapatlah dijelaskan bahwa kesadaran akan kendala eksternal berlaku bila seseorang membuat suatu penilaian.
Aspek pertimbangan nilai bukanlah satu-satunya sebab ada pertimbangan lain yang bertentangan dengan pertimbangan ini. Nlai-nilai yang sama—yang di satu pihak mempunyai pengaruh realitas—di lain pihak tampak sebagai sesuatu yang disukai dan secara alamiah diinginkan. Satu fakta: masyarakat pada saat yang sama bertindak sebagai legislator sekaligus sebagai pencipta dan pelindung semua hasil peradaban.
Ada beberapa jenis nilai yang berbeda. Nilai ekonomi, moral, agama, estetika, dan nilai spekulatif, semuanya berbeda. Usaha mereduksi suatu nilai menjadi nilai lain, ide tentang kebaikan, kecantikan, kebenaran, dan kegunaan, semuanya telah terbukti gagal. Jika apa yang menentukan nilai hanyalah cara sesuatu benda memengaruhi bekerjanya kehidupan sosial, maka keragaman nilai menjadi sukar dijelaskan. Dan juga, jika nilai suatu benda ditentukan oleh tingkat kegunaan sosial atau kegunaan individualnya, maka sistem nilai manusia akan goncang dan berubah dari atas ke bawah.
Selanjutnya ditemukan bahwa semua orang sepakat mengandalkan bahwa nilai suatu benda adalah inheren di dalam, dan menunjukkan hakikat benada itu. Tetapi postulat ini bertentangan dengan kenyataan. Ada banyak keadaan di mana hubungan itu seperti tidak ada di antara ciri khas suatu obyek dengan nilai yang diatribusikan kepada obyek itu.
Teori yang berlaku sekarang, bahwa benda yang menjadi obyek suatu kultus adalah benda yang memunyai kekuatan pengaruh kepada pikiran manusia, adalah bertentangan dengan sejarah. Nilai tak sebanding yang diatribusikan kepada obyek tersebut tidak ada hubungannya dengan nilai intrinsik obyek tersebut. Tidak ada keyakinan aktif, betapa pun sekulernya, yang tidak mengandung unsur-unsur pemujaan, dimana ketidakberimbangan mencolok serupa dapat ditunjukkan. Sebuah bendera hanyalah potongan kain; namun demikian seorang prajurit bersedia mati demi memertahankannya. Moralitas juga tidak kurang kayanya dengan kontras –kontras semacam ini. Maka tidak dapat disangsikan bahwa persamaan moral adalah suatu ideal yang tidak akan pernah tercapai, walau pun terus saja diangankan bisa mendekatinya.
Ritschl dan Kant mengemukakan teori: kalau nilai benda tidak terletak pada benda itu, dan tidak pula dengan sifat realitas empiriknya, berarti sumber nilai benda tersebut terletak di luar pengalaman dan secara empirik dapat diverifikasi.
Benda dikatakan memunyai nilai bila benda tersebut menunjukkan suatu aspek ideal, sedang tinggi-rendah nilai tersebut bergantung pada ideal itu da paa tingkat mana ia mewujudkan ideal itu. Namun demikian, nilai yang diatribusikan kepada ideal itu, tidaklah menjelaskan dirinya sendiri. Ia dipostulasikan, tetapi tidak menjelaskan. Jika ideal itu bergantung pada realitas, maka mustahil untuk untuk menemukan dalam realitas kondisi dan penyebab yang membuatnya dapat diterima dengan akal.
Singkatnya, jika nilai suatu benda tidak dapat dan tidak pernah ditaksir kecuali dalam hubungannya dengan konsepsi tertentu tentang ideal, maka yang terakhir ini perlu dijelaskan. Agar dapat mengerti bagaiman pertimbangan nilai bisa muncul, tidak cukup hanya dengan mempostulasikan bahwa ada sejumlah ideal tertentu. Asal-usulnya, bagaiman kaitannya satu sama lain, transendensinya, pengalamannya, dan sifat obyektivitasnya harus turut dipertimbangkan.
Karena ideal-ideal dan sistem-sistem nilai yang berkaitan beragam sesuai dengan keragaman kelompok manusia, maka kesannya adalah asal-usul keduanya sama. sebuah teori menyatakan bahwa masyarakat dianggap sebagai sebuah sistem organ dan fungsi, yang bertugas memelihara dirinya terhadap perusak dari luar. Tetapi masyarakat lebih dari gambaran ini sebab masyarakat merupakan pusat kehidupan moral, hanya saja kekuatan dan independensinya belum dikenal sepenuhnya.
Bila pikiran-pikiran individu tidak terpisah tetapi merupakan hubungan erat dan saling memengaruhi satu sama lain, maka dari sintesis ini timbullah suatu jenis baru kehidupan fisik. Kehidupan fisik ini dapat dibedakan intensitasnya dengan kehidupan fisik masing-masing individu. Oleh karena alasan ini, aktivitas tersebut secara kualitatif berbeda dengan kehidupan sehari-hari individu, seperti perbedaan antara superior dengan inferior, cita-cita dengan fakta. Pada saat pembiakan kolektif inilah dilahirkan cita-cita besar yang merupakan dasar peradaban.
Jika manusia mampu menyusun cita-cita atau bisa juga tidak mampu menyusun tetapi terikat kepadanya, adalah karena manusia merupakan makhluk sosial. Masyarakat menggerakkan atau memotori individu agar bangkit mengangkat dirinya sendiri dan memberinya sarana untuk bisa mencapai hal ini. Melalui kesadarannya sendiri, masyarakat menggerakkan individu untuk mentransendensikan dirinya dan ambil bagian dalam kehidupan yang lebih tinggi. Masyarakat tdak dapat dibentuk tanpa membentuk cita-cita. cita-cita itu sendiri adalah suatu kekuatan dari alam dan karenanya dapat dikaji secara ilmiah.
Cita-cita kolektif hanya dapat dimanifestasikan dan sadar akan dirinya sendiri jika dikonkretkan dalam obyek materiil yang dapat dilihat oleh setiap orang dan bisa ditunjukkan pada setiap pikiran. Dua benda pada adasarnya bisa saja berbeda berbeda atau dilihat dari sudut pandang tertentu tidak sama, tetapi jika mereka mewujudkan cita-cita yang sama maka mereka itu tampaknya sama. Dengan kata lain, masyarakat mensubstitusikan dunia yang ditampilkan oleh indra dengan dunia yang berbeda yang merupakan proyeksi cita-cita yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan hakikat. Pertimbangan nilai menunjukkan hubungan sesuatu dengan suatu cita-cita. Cita-cita—seperti halnya benda—adalah suatu realitas yang mempunyai eksistensi tersendiri, walaupun dalam tatanan yang berbeda. Hubungan yang ditunjukkan ini menyatukan dua persyaratan seperti yang berlaku dalam pertimbangan realitas. Jadi, unsur-unsur pertimbangan sama pada keduanya. Namun tidak berarti bahwa keduanya dapat direduksi satu sama lain; mereka serupa karena keduanya adalah produk dari kemampuan yang sama.
Sosiologi positif dituduh hanya memuja fakta dan secara sistematis mengabaikan cita-cita. Dan tuduhan ini tidak benar. Fenomena sosial utama, agama, moralitas, hukum, ekonomi, dan estetika, semua itu tidak lebih dari sistem nilai dan karenanya sistem cita-cita. Sejak semula sosiologi bergerak dilapangan cita-cita. Sosiologi tidak menghimpun fakta untuk membangun cita-cita, tetapi sebaliknya, menerima mereka sebagai fakta yang ada, sebagai obyek studi, dan mencoba menganalisis dan menjelaskan. Maka tujuan sosiologi adalah membawa cita-cita, dalam berbagai bentuknya, ke lingkungan alam tanpa memasukkan atribut-atributnya yang khas. Masyarakat memang merupakan bagian dari alam dan ia kini mendominasi alam. Semua kekuatan semesta tidak hanya berkumpul dalam masyarakat, tetapi mereka juga membentuk sintesis baru yang jauh lebih kaya, lebih kompleks, dan lebih kuat daripada masing-masing kekuatan tersebut. Singkatnya, masyarakat adalah alam yang mencapai titik lebih tinggi dalam perkembangannya, dan memusatkan segala enerjinya untuk melampaui dirinya sendiri.

Simpulan: Sosiologi yang Menghidupkan Kembali Filsafat
Tulisan-tulisan yang terkumpul dalam buku ini mempunyai satu persamaan, sebab mereka memperlihatkan pandangan/pemikiran Durkheim, bukan hanya pandangannya tentang waktu masalah sosiologi tertentu tetapi juga mengenai masalah-masalah umum yang dihadapi para filsuf, yakni hubungan antara jiwa dengan materi, kesadaran dengan hakikat, nalar dengan perasaan. Tulisan-tulisan tersebut menunjukkan pada dalam hal apa dan sampai sejauh mana sosiologi bisa menghidupkan kembali filsafat.
Pandangan-pandangan Durkheim yang tertuang dalam tulisan dalam buku ini telah menunjukkan sejauh mana filsafat Durkheim berbeda dengan filsafat materialis dan organisis. Dalam artian ini, sosiologisme Durkheim terlihat lebih jauh lagi dan merupakan suatu usaha untuk menemukan dan membenarkan—dengan cara baru—kecenderungan-kecenderungan spiritialisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar