Total Tayangan Halaman

Rabu, 09 November 2011

Ma'rifat

Pengertian ma’rifat.
Dari segi bahasa, makrifat adalah pengetahuan dan atau pengalaman. Sedangkan dalam istilah tasawuf adalah sebagai pengenalan yang langsung tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat. Nampaknya makrifat lebih mengacu kepada tingkatan kondisi mental, sedangkan hakikat mengarah kepada kualitas pengetahuan atau pengalaman. Kualitas pengetahuan itu sedemikian sempurna dan terang sehingga jiwanya merasa menyatu dengan yang diketahuinya itu. Untuk mencapai kualitas tertinggi itu, seorang kandidat sufi harus melakukan serial latihan keras dan sungguh-sungguh yang disebut sebagai tasawuf amali, sedangkan serial amalan itu disebut al-maqamat atau jenjang menuju hadirat Tuhan.

Biografi Dzu al-Nun al-Mishri
Nama lengkapnya ialah Abu al-Faidl Tsauban bin Ibrahim Dzu al-Nun al-Mishri al-Akhmini Qibthy. Ia dilahirkan di Akhmin daerah Mesir. Sedikit sekali yang dapat diketahui tentang silsilah keturunan dan riwayat pendidikannya karena masih belum banyak orang yang mengungkapkan mengenai masalah ini. Namun demikian Ia telah disebut-sebut oleh orang banyak sebagai seorang sufi yang tersohor dan terkemuka diantara sufi-sufi lainnya pada abad ketiga Hijriah
Sebagai seorang ahli tasawuf, Dzu al-Nun memandang bahwa ulama-ulama Hadits dan Fiqh memberikan ilmunya kepada masyarakat sebagai suatu hal yang menarik keduniaan di samping sebagai obor dari agama. Pandangan hidupnya yang cukup sensitive barang kali menyebabkan para fuqaha mulai membenci dan menantangnya dan sekaligus menuduhnya sebagai seoarang zindiq. Tidak sampai di situ, bahkan para Fuqaha mengadukannya pada Ulama Mesir yang pada waktu itu dipimpin oleh Muhammad bin Abdul Hakam penganut mazhab Maliki. Dzu al-nun di panggil dan ditanyai oleh pimpinan Ulama itu. Dari berbagai jawaban dan uraian yang diberikan oleh Dzu al-Nun maka pimpinan Ulama ini pun menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Setelah itu Dzu al-Nun merasa, bahwa bahwa dirinya tidak lagi disenangi masyarakat daerahnya. Karenanya ia memutuskan untuk sementara waktu pergi berkelana kebeberaapa negeri lain. Setelah merantau beberapa waktu lamanya, ia kembali pulang ke Mesir dan penguasa waktu itu ialah Ibnu Abi Laits (berpaham mazhab Hanafi) sebagai pengganti dari pada Muhammad bin Abdul Hakam yang sudah meninggal. Di Mesir, ia ia dituduh orang banyak sebagai orang zindiq dan demikian pula sikap penguasa (qadli) pada masa itu, bahkan menyuruhnya pergi ke Baghdad menemui Khalifah untuk menerima hukuman penjara.
Akan tetapi di Baghdad banyak sufi yang berasal dari Mesir dan diantara mereka ada yang bekerja sebagai pegawai dilingkungan istana. Para sufi itu berusaha agar khalifah al-Mutawakil berkenan mendengar dan menerima ajaran Dzu al-Nun al-Mishri. Ternyata kemudian al-Mutawakil bersedia menerima ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh al-Mishri. Pada waktu al-Mishri akan kembali ke Mesir, khalifah melepaskannya dengan penghormatan. Sekembalinya di Mesir, ia kembali menyebar luaskan ajaran tasawufnya dan sejak itu pula tasawuf berkembang dengan pesat di kawasan Mesir. Namun tidak lama kemudian ia wafat di Jizah dan di makamkan di Qurafah Shughra pada tahun 245 Hijriah.

Pemikiran Dzu al-Nun al-Mishri
Jasa Dzu al-Nun al-Mishri yang paling besar dan menonjol dalam dunia tasawuf adalah sebagai peletak dasar tentang jenjang perjalanan sufi menuju Allah, yang di sebut al-Maqomat. Dia banyak memberikan petunjuk arah jalan menuju kedekatan dengan Allah sesuai dengan pandangan para sufi. Karenanya ia juga sering disebut pemuncaknya kaum sufi pada abad tiga hijriah. Adapun pendapat-pendapatnya disekitar metode mendekatkan diri kepada Allah atau al-maqomat dan al-ahwal. Di samping itu, al-Mishri juga adalah salah seorang pelopor doktrin al-ma’rifah. Dalam hal ini ia membedakan antara pengetahuan dan keyakinan. Menurutnya, pengetahuan merupakan hasil dari pengamatan indrawi, yakni apa yang dapat di terima melalui panca indra. Sedangkan keyakinan adalah hasil dari apa yang dipikirkan dan atau di peroleh melalui intuisi. Dalam hubungan ini, ia menjelaskan, bahwa pengetahuan itu ada tiga kualitas, yaitu:
1. Pengetahuan orang yang beriman tentang Allah pada umumnya, yaitu pengetahuan yang diperolah melalui pengakuan atau syahadat.
2. Pengetahaun tentang keesaan Tuhan melalui bukti dan pendemontrasian ilmiah dan hal ini merupakan milik orang-orang yang bijak, pintar dan terpelajar, para mutakallin dan filosof.
3. Pengetahuan tentang sifat-sifat yang Maha Esa, dan ini merupakan milik orang-orang yang saleh (wali Allah) yang dapat mengenal wajah Allah dengan mata hatinya, sehingga Allah menampakan diri kepada mereka dengan cara yang ia tidak berikan kepada siapapun di dunia kecuali kepada aulia.
Pengetahuan inilah yang disebut ma’rifat yang diurai rinci (barangkali pertama kalinaya) oleh Dzu al-Nun dalam dunia tasawuf, sesudah dicetuskan pertama kali oleh Ma’ruf al-Kharki.
Ketika Dzu al-Nun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma’rifat tentang Tuhan, ia mengatakan:
عرفت ربى بربى ولولا ربى لما عرفت ربى
Aku mengenal Tuhan karena Tuhan sendiri, kalau bukan karena Tuhan, aku tidak mengenal Tuhan
Dzu al-Nun menjelaskan, bahwa ciri-ciri ma’rifat itu ialah, seseorang menerima segala sesuatu itu adalah atas nama Allahdan memutuskan segala sesuatu itu dengan menyerahkan kepada Allah, serta menyenangi segala seuatu hanya semata-mata karena Allah.
Adapun pusat ma’rifat menurut Dzu al-Nun, adalah komunikasi cahaya dari Tuhan kedalam hati nurani seseorang. Orang-orang yang sudah mencapai ma’rifattidak lagi berada dalam diri mereka, tetapi mereka berada dalam dzat Tuhan. Mereka dapat melihat tanpa pengetahuan, tanpa mata, tanpa penerangan, tanpa obsevasi, tanpa pengahlang dan hijab. Semua gerakan-gerakan merekaadalah disebabkan oleh Allah. Kata-kata mereka adalah kata-kata Allah yang diucapkan melalui lidah mereka. Dan penglihatan mereka adalah penglihatan Tuhan yang telah masuk ke dalam mata mereka. Dengan demikian, taraf tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi sesudah masanya Dzu al-Nun al-Mishri ini adalah memperoleh pengetahuan super intelektual yang terkerkenal dengan istilah al-ma’rifat.
Ma’rifat menurut beliau ada tiga macam. Ma’rifat Mu’min biasa. Ma’rifat ahli bicara (Mutakalimun) dan Hukama (Filosif), dan Ma’rifat Waliullah yang dekat kepada Allah dan kenal akan Allah dalam hatinya. Ma’rifat inilah yang setinggi-tingginya martabat.
Dalam pembagian ini terbayanglah kejelasan ketiga macam ma’rifat itu. Orang mukmin biasa mengenal Allah karena memang demikian ajaran yang diterimanya. Orang filosof dan Mutakalimin mencari Allah dengan perjalanan akalnya. Oleh perhitungan akal dan manthik, maka mengakulah mereka akan adanya, tetapi belum tentu dirasainya akan kelezatannya. Tetapi orang-orang mutaqaribin mencari Allah degan pedoman cinta. Yang lebih diutamakan ialah ilham, atau Faidh, yaitu limpah kurnia Allah. Atau kasyaf, yaitu dibuka Allah hijab kebatinan dalam alam kerohanian. Di waktu itu akal tidak berjalan lagi, melainkan tiba di derajat Mustawa.

Ma’rifat menurut sufi yang lain
Makrifat adalah sejenis pengetahuan dengan mana para sufi menangkap hakikat atau realitas yang menjadi obsesi mereka. Makrifat berbeda dengan jenis pengetahuan yang lain, karena ia menangkap objeknya secara langsung, tidak melalui representasi, image atau symbol dari objek-objek penelitiannya itu.
Seperti indra menangkap objeknya secara langsung, demikian juga ‘hati’ atau intuisi menangkap objeknya secara langsung. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya. Kalau objek indra adalah benda-benda indrawi (mahsusat) objek-objek intuisi adalah entitas-entitas spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengetahuan ini, manusia mengalami objek-objeknya secara langsung, dan karena itu makrifat disebut sebagai ilmu eksperiensial (dzauqi), yang biasanya di kontraskan dengan pengetahuan melalui nalar (bahtsi), Tetapi, walaupun sama-sama melalui pengalaman seseorang, hubungan orang itu dengan objeknya berbeda. Dalam pengenalan indrawi, objek-objek itu berada di luar dirinya, dan dikaitkandengannya melalui “representasi”, sedangkan objek-objek intiuisi, hadir begitu saja dalam diri orang itu, dan karena itu sering disebut ilmu “hudhuri” dan bukan ilmu “husuhuli” , yakni ilmu yang diperoleh melalui latihan dan percobaan.
Makrifat dapat dibedakan dari ilmu-ilmu rasional, dimana pemilihan antara subjek dan objek begitu dominan dan jarak antara keduanya sangatlah lebar. Walaupun ilmu-ilmu rasional atau tepatnya akal sama-sama menangkap objek-objek ma’qulat, sebagai mana intuisi, tetapi cara keduanya berbeda. Sementara akal menangkap objek-objek yang telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objek-objeknya langsung dari sumbernya, apakah tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai “penyimpangan” (mukasyafah) atau “penyinaran” (iluminasi) dan “penyaksian” (musyahadah). Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.
Makrifat tidak dapat diraih melalui jalan indrawi, karena menurut Rumi, itu seperti mencari-cari mutiara yang berada didasar laut hanya dengan datang dan memandang laut dari darat. Makrifat juga tidak bisa diperoleh lewat pengalian nalar, karena itu akan sama seperti orang yang menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu.untuk memperoleh mutiara makrifat, seseorang membutuhkan penyelam ulung dan beruntung; dengan kata lain butuh seorang mursyid yang berpengalaman. Bahkan Rumi mengingatkan bukan hanya sekedar penyelam ulung, tetapi juga beruntung, yakni bergantung pada kemurahan tuhan, karena tidak semua kerang yang berda di laut mengandung mutiara yang di damba.
Makrifat, seperti yang telah dikemukakan, berdasar pada pengalaman; artinya ia harus di alami, bukan dipelajari. Seperti untuk memahami manis, akan bisa dengan mudah dilakukan dengan mencicipi gula. Mencoba memahaminya lewat keterangan orang lain, atau membaca buku akan memperoleh pengetahuan yang semu. Paling banter, kita hanya bisa menghampirinya tanpa bisa menyentuhnya. Makrifat tidak bisa dipelajari dari buku, bahkan buku para sufi sekalipun. Ketika kita datang kepada seorang mursyid, maka ia akan mengajak kita melakukan disiplin-disiplin spiritual yang keras, agar kita mengalami pengalaman-pengalaman mistik atau keagamaan sendiri, dan dengan begitu bisa mencicipinya sendiri. Buku bagi seorang sufi hanyalah simbol, karena terdiri dari huruf-huruf yang tidak lain daripada symbol yang disepakati. Tapi bisakah kita menyunting sekuntum mawar dari M.A.M.A.R?
Perbedaan lain antara makrifat dan jenis pengethuan yang lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras, seperti belajar, merenung dan berfikir keras melalui cara-cara berfikir yang logis. Jadi, manusia memang betul-betul berusaha dengan segenap kemampuannya untuk memperoleh objek pengetahuannya. Tetapi makrifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia. Pada tahap akhir semuanya tergantung pada kemurahan Tuhan. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosadan penyakit-penyakit jiwa lainnya atau akhlak tercela. Ibarat kaca yang dipasang untuk menerima cahaya matahari kedalam rumah hati kita, kaca tersebut harus senantiasa dibersihkan dari segala debu yang menempel dipermukaannya, agar ketika sinar matahari tersebut masuk atau hadir, kaca kita siap mengantarnya masuk kedalam jantung rumah kitadan memberi cahaya kepada sekitarnya. Dengan begitu terjadilah iluminasi terhadap benda-benda yang ada disekiatarnya, dan membuat benda-benda yang tadinya tak nampak atau remang-remang menjadi jelas dan cemerlang.
Al-ma’rifah dalam istilah tasawuf berarti pengetahuan yang sangat jelas dan pasti tentang tuhan yang diperoleh melalui sanubari. Karena jelas dan pastinya pengetahuan itu, menyebabkan seseorang merasa saru dengan yang diketahuinya itu.
Siapa sufi pertama yang mengartikan ma’rifat secara khas demikian itu, nampaknya agak sulit dilacak. Namun, apabila dilihat kembali kepada pendenifisian tasawuf, terlihat bahwa ma’ruf al-Kharki (w.200 H) sudah menggunakan term ini, dimana ia mengatakan, tasawuf ialah bersikap zuhd dan ma’rifat. Selain Ma’ruf, al-Darani (w.245 H) adalah orang pertama yang menganalisis ma’rifat secara konsepsional. Ia mengklasifikasikan ma’rifat kepada tiga kelas; yakni, pertama ma’rifat tauhid sebagai ma’rifatnya orang awam, kedua, ma’rifat al-burhan wa al-istidlal yang merupakan ma’rifatnya mutakallimin dan filosof, yaitu pengetahuan tentang Tuhan melalui pemikiran dan pembuktian akal, dan ketiga, ma’rifat para wali, yaitu pengetahuan dan pengenalan tentang Tuhan melalui sifat dan ke-Esa-an Tuhan. Dengan demikian, apabila dilihat dari sisi epistemologi, ada tiga metoda ma’rifat yang berbeda, yakni metoda tranmissi, metoda akal budi dan metoda ketersingkapan langsung. Ma’rifat awam lebih bersifat penerimaan dan kepatuhan semata tanpa dibarengi argumentasi, sedangkan ma’rifat mutakallimin dan filosof adalah pemahaman yang sifatnya rasional melalui berfikir spekulatif. Lain halnya dengan ma’rifat para sufi atau aulia, adalah penangkapan dan penghayatan langsung terhadap objek sehingga ia merasakan dan melihat objek itu. Hal ini dapat terlihat dalam ungkapanal-Mishri dengan mengatakan “‘araftu rabbi bi rabbi wa laula rabbi lama ‘araftu rabbia”. Pengenalanya terhadap Tuhan adalah melalui dan dengan Tuhan, karena Tuhanlah maka ia dapat mengenal Tuhan. Selanjutnya, R.A. nicholson menjelaskan, bahwa menurut kaum sufi ada tiga komponen dalam diri manusia yang dapat memperoleh ma’rifat, yaitu; qalb atau hati dapat mengetahui sifat-sifat Allah;, ruh, adalah alat atau komponen untuk mencintai Tuhan; dan sirr sebagai alat yang dapat melihat Tuhan. Qalb merupakan wadah ruh, sedangkan sirr bertempat di dalam ruh. Qalb mempunyai dua fungsi sebagai alat berpikir dan alat perasa. Dengan demikian, qalb tidak sama dengan akal, sebab akal tidak mampu mengetahui sifat-sifat dan asma Allah.
Sampai dimana tingkat ma’rifat manusia tentang Tuhan, terdapat perbedaan interpretasi di kalangan sufi. Al-Ghazali misalnya berpendapat, bahwa ma’rifat itu tidak menyebabkan seseorang menjadi padu atau bersatu dengan Tuhan. Menurutnya, pengertian ma’rifat adalah mengetahui mata hati. Karena jelas dan terangnya pengetahuan itu, ia mengungkapkannya dalam kalimat “nazhoru” ila wajh Allah”, memendang atau melihat Allah. Ia melihat Tuhan dengan mata hatinya, bukan mata indranya. Oleh karena itu, kata Al-Ghazali, orang ‘arif atau yang sudah mencapai ma’rifat, tidak lagi menyeru Tuhan dengan kalimat ya Allah karena ucapan seperti itu menunjukan pengertian, bahwa Allah masih berada di belakang tabir, padahal bagi orang ‘arif tabir itu sudah tiada, maka tidak perlu lagi saling memanggil. Dan menurut Al-Ghazali inilah maqom tertinggi yang dapat dicapai oleh sufi. Akan tetapi menurut beberapasufi, seperti Abu Yazid al-Busthomi, al-Hallaj, al-Faridh dan sufi sealiran lainnya, tingkatan itu masih dapat dilampaui oleh manusia, yaitu sampai pada tingkat fana fi’l Allah.
Sejak berkembangnya ma’rifat dan hakikat dikalangan sufi, konsepsi ini menjadi salah satu ajaran pokok dalam tasawuf. Bahkan kemampuan seseorang untuk mencapai tingkatan ini, menjadi tolak ukur bagi seseorang apakah ia sudah berhak disebut sufi atau belum. Dengan kata lain, bahwa seorang zahid atau salik disebut sufi apabila ia telah mencapai kedekatan dan keakraban dengan Tuhan tanpa tabir. Makin tinggi kelas seseorang salik, makin tinggi pula ma’rifatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar