Total Tayangan Halaman

Kamis, 01 Maret 2012

shalat janazah

• Shalat Janazah
Shalat Janazah merupakan kekhususan bagi umat Nabi Muhammad SAW yang di-syari’at-kan di kota Madinah pada tahun pertama Hijriyah. Jenazah yang pertama kali dishalati oleh Rasulullah SAW adalah As’ad Bin Zurarah R.A, sedangkan jenazah yang pertama kali di shalati ketika sudah dikubur adalah Barro’ Bin Ma’rur R.A, Nabi SAW pertama kali melakukan shalat gha’ib adalah pada waktu wafatnya raja Najasyi.
Maksud dan tujuan Shalat Janazah adalah menghormati, mendoakan dan memohon syafa’at kepada Allah SWT untuk mayyit. Tatacara pelaksanaannya berbeda dengan sholat yang lain, karena semua rukun-rukunnya dilakukan dengan posisi berdiri tanpa ada ruku’, duduk dan sujud. Shalat Janazah merupakan salah satu rangkaian fardhu kifayah yang dilaksanakan setelah jenazah dimandikan dan dikafani, dan setelah shalat, tahap selanjutnya adalah mengubur jenazah yang akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya ..

• Hukum Shalat Jenazah
Hukum Shalat Janazah atas mayyit muslim (termasuk bayi yang baru terlahir ke dunia dan sudah terdapat tanda-tanda kehidupan seperti menangis) adalah fardlu kifayah. Seperti halnya memandikan, mengafani dan menguburnya, apabila shalat tersebut telah dilaksanakan oleh seorang muslim walaupun oleh anak kecil yang sudah tamyiz tetapi belum bisa membaca surat fatihah, maka kewajiban menshalati sudah gugur bagi yang lain. Pelaksanaannya sunnah dilakukan secara berjama’ah dengan jumlah paling sedikit 40 orang sebagaimana sabda Nabi SAW :

حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ مَعْرُوفٍ وَهَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ وَالْوَلِيدُ بْنُ شُجَاعٍ السَّكُونِيُّ قَالَ الْوَلِيدُ حَدَّثَنِي و قَالَ الْآخَرَانِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي أَبُو صَخْرٍ عَنْ شَرِيكِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي نَمِرٍ عَنْ كُرَيْبٍ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ مَاتَ ابْنٌ لَهُ بِقُدَيْدٍ أَوْ بِعُسْفَانَ فَقَالَ يَا كُرَيْبُ انْظُرْ مَا اجْتَمَعَ لَهُ مِنْ النَّاسِ قَالَ فَخَرَجْتُ فَإِذَا نَاسٌ قَدْ اجْتَمَعُوا لَهُ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ تَقُولُ هُمْ أَرْبَعُونَ قَالَ نَعَمْ قَالَ أَخْرِجُوهُ فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ -رواه صحيح مسلم

Dalam hadist ini diterangkan bahwa; Abdullah bin Abbas R.A mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada seorang pun dari orang muslim yang meninggal kemudian dishalati oleh 40 orang laki-laki yang tidak menyekutukan Allah, kecuali bahwa Allah akan memberikan syafa’at mereka pada orang tersebut.”

Sedangkan shalat jenazah yang dilakukan oleh selain orang laki-laki belum cukup, apabila ada laki-laki di daerah tersebut atau di luar daerah yang bisa di dengar adzan-nya karena orang laki-laki lebih sempurna dibanding yang lain. Dan dalil atas wajibnya melaksanakan shalat jenazah adalah hadist Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ ( رواه البخارى ).
Artinya : “Shalatilah (janazah) saudara-saudara kalian”. ( HR. Al Bukhori ).

dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Daro Quthni :
صَلُّوْا عَلَى مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ

Menurut pendapat Ulama’, khitob pada kedua hadits di atas adalah khitob jama’. Padahal batas minimal untuk dikatakan jama’ adalah terdiri dari dua atau tiga orang. Artinya, paling tidak kewajiban itu dilakukan oleh dua – tiga orang. Bahkan juga ada yang berpendapat harus empat orang sebagaimana dalam menggotong jenazah (menurut pendapat tersebut).

• Syarat Shalat Jenazah
1. Mushalli (seorang yang shalat) harus suci dari dua hadats kecil dan besar, suci dari najis baik pada badan, pakaian dan tempat, menutup aurat dan menghadap qiblat kecuali ketika dilakukan dalam kondisi sangat takut (syiddatil khauf).
2. Janazah sudah dimandikan atau ditayammumi. Apabila tidak mungkin memandikan ataupun mentayammumi, tidak wajib untuk dishalati menurut pendapat yang mu’tamad, karena syarat mensucikan tidak terpenuhi. Namun menurut sebuah pendapat yang lain shalat janazah harus tatap dilaksanakan, karena perkara yang mudah tidak bisa gugur kewajibannya sebab adanya perkara yang sulit, seperti mayat yang jatuh ke dalam jurang atau tenggelam di dasar laut dan tidak mungkin untuk diangkat.
3. Posisi mayat hadlir (bukan ghaib,-red) yang akan dishalati, walaupun sudah dikuburkan, harus berada di depan mushalli dengan jarak tidak lebih dari 300 dzira’ dan tidak ada penghalang antara mayyit dengan mushalli. Alasannya adalah karena ulama’ mensamakan posisi jenazah dengan posisi imam pada selain Shalat Janazah, beda halnya dengan ketika menshalati mayyit ghaib. Tetapi persyaratan jarak dan tidak ada penghalang di atas hanya berlaku pada awal pelakasanaan, tidak untuk seterusnya. Maka, apabila jenazah diangkat di tengah-tengah pelaksanaan shalat dan menyebabkan jarak di antara mushalli dan mayyit melebihi 300 dzira’ ataupun ada penghalang di antara keduanya di tengah-tengah shalat, itu tidak mempengaruhi terhadap sah-tidaknya shalat, sebaimana dalam qaidah fiqhiyah;
يُغْتَفَرُ فِىْ الدَّوَامِ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِى اْلِإِبْتِدَاءِ
Artinya : “Hal-hal yang tidak ditoleransi pada awal pelaksaannya itu bisa ditoleransi pada pertengahan dan seterusnya.”

• Rukun Shalat Jenazah

Rukun shalat jenazah ada 7 yaitu :
1. Niat.
• Hal-hal yang diwajibkan dalam niat shalat jenazah:
- Ada penyengajaan (qasdu) untuk melakukan sholat.
- Menyebutkan status kefardluan walaupun tanpa menyebutkan lafadz kifayah menurut qaul rajah. Menurut pendapat lain (qiil) disyaratkan niat fadlu kifayah dalam Shalat Janazah untuk membedakannya dengan fardhu ‘ain.
- Menentukan (ta’yin) mayyit yang dishalati dengan sesuatu yang bisa membedakan mayyit tersebut dari yang lain, semisal dengan menyebutkan nama (baik ghaib ataupun hadlir) atau dengan memberi isyarat pada mayyit hadlir.
- Niat dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram.
• Hal-hal yang disunnahkan dalam niat shalat jenazah:
Dalam niat shalat jenazah disunnahkan untuk menyandarkan (idlafah) shalat kepada Allah (mengucapkan لِلَّهِ تَعَالَى) , mengucapkan lafadz (مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ), dan menyebutkan banyaknya jumlah hitungan / bilangan takbir (أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ)
:: Contoh niat shalat janazah untuk mayyit hadlir :
أُصَلِّى عَلَى جَنَازَةِ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ \ عَلَى هَذَا الْمَيِّتِ \ عَلَى مَنْ حَضَرَ مِنْ أَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ فَرْضَ كِفَايَةٍ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
:: Contoh niat shalat janazah untuk mayat ghoib ;
أُصَلِّى عَلَى جَنَازَةِ زَيْدٍ بْنِ ثَابِتٍ \ عَلَى مَنْ مَاتَ فِي هَذَا الْيَوْمِ مِنْ أَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ فَرْضَ كِفَايَةِ أَرْبَعَ تَكْبِيْرَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ لِلَّهِ تَعَالَى
2. Berdiri bagi orang yang mampu. Bagi orang yang tidak mampu, boleh melakukannya dengan posisi duduk. Apabila tidak mampu juga, boleh dengan posisi tidur miring dan seterusnya sebagaimana dalam sholat fardlu.
3. Membaca takbir empat kali, termasuk takbiratul ‘ikhram seperti yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Apabila takbir dilakukan lebih dari empat kali (baik itu oleh imam, ma’mum, atau orang yang sholat sendirian (munfarid), baik dalam keadaan lupa atau sengaja) namun tidak berkeyakinan atas batalnya shalat tersebut, maka shalatnya tidak batal. Karena status takbir tambahan adalah dzikir, dan juga karena Rasulullah SAW pernah melakukannya. Apabila imam melakukan takbir lebih dari empat kali, maka ma’mum tidak disunnahkan mengikuti imam untuk melakukan takbir tambahan (sebab takbir tambahan itu juga tidak disunnahkan bagi imam), akan tetapi ma’mum bisa langsung mengucapkan salam dengan niat memisahkan diri dari imam atau mufaraqah. Tetapi yang lebih utama bagi ma’mum adalah menunggu imam dan mengucapkan salam bersama dengan imam.
4. Membaca Surat Al Fatihah setelah takbir pertama. Apabila tidak mampu, bisa diganti dengan tujuh ayat dari Al Qur’an (berurutan atau tidak). Jika tidak mampu juga, maka diganti dengan membaca tujuh macam dzikir. Jika masih tidak mampu juga, maka cukup dengan diam selama rentang waktu yang (kira-kira) cukup untuk membaca Fatihah. Menurut pendapat yang rajih dan mu’tamad, membaca surat Al Fatihah boleh dilakukan pada selain (setelah) takbir yang pertama meskipun menyebabkan dua rukun berkumpul dalam satu takbir dan tidak ada dzikir pada takbir yang pertama, sebagaimana pendapat yang di-tarjih oleh Imam Nawawi dalam kitab Minhaj-nya dan ditetapkan dalam kitab Majmu’,
5. Membaca sholawat kepada Nabi SAW (harus) setelah takbir ke dua, karena merupakan tindak lampah para ‘ulama’ salaf dan khalaf dan karena ada hadits Nabi SAW:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يُصَلِّ عَلَى نَبِيِّه - رواه الدار القطنيِ
Waktu pembacaan shalawat khusus setelah takbir yang ke dua. Maka tidak cukup jika dibaca pada selainnya. Lafadz shalawat (minimal) adalah :
أَللَّهُمّ َصَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Sedangkan yang lebih utama yaitu seperti shalawat dalam tasyahhud (shalawat ibrahimiyyah). Dalam pembacaan shalawat ini disunahkan terlebih dahulu membaca hamdalah, dan setelah shalawat disunahkan membaca doa salam (wa sallim) dan membaca shalawat pada keluarga beliau serta memanjatkan do’a untuk semua kaum mu’minin dan mu’minat di akhir pembacaan shalawat, sebagaimana contoh dibawah ini :
أَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلَّمَ عَلَى سَيَّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلَ سَيِّدِنَا إِبْرَاهَيْمَ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى أَلِ سَيَِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى أَلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ فِى الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ, اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلَمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْ مِنَاتِ.
6. Membaca do’a yang berkaitan dengan akhirat setelah takbir ke tiga yang dikhususkan pada mayyit, karena do’a adalah merupakan tujuan utama dari pelaksanaan shalat janazah, sedangkan rukun-rukun sebelumnya hanyalah permulaan bagi do’a tersebut. Keterangan ini berdasarkan hadist Nabi SAW :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَال سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِذَا صَلَّيْتُمْ عَلَى الْمَيِّتِ فَأَخْلِصُوا لَهُ الدُّعَاءَ (رواه أبي داود)
Artinya: Diriwatkan dari Abi Hurairah R.A, beliau berkata: “saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ketika kalian melakukan shalat janazah maka khususkanlah doa baginya”.
Di antara do’a yang datang dari Nabi SAW (ma’tsur) adalah do’a yang diriwayatkan oleh Imam Muslim :
اَللَّهُمَّ اِغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ، وَاعْفُ عَنْهُ وَعَافِهِ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاِء وَالثَلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنْ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَى الثَّوْبُ الْاَبْيَضَ مِنَ الدَنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرَا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وفتَْنَتِهِ وَمَن ْعَذَابِ النَّارِ.
Kekhususan di atas berlaku pada jenazah yang sudah dewasa. Sedangkan do’a jenazah anak kecil jika menggunakan do’a dari Nabi SAW, boleh ditujukan kepada kedua orang tuanya atau semua orang islam. Sebagaimana dua doa di bawah ini :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا : اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِسْلَامِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِيمَانِ ، وَيَقُولُ فِي الطِّفْلِ مَعَ هَذَا الثَّانِي : اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِأَبَوَيْهِ وَسَلَفًا وَذُخْرًا وَعِظَةً وَاعْتِبَارًا وَشَفِيعًا ، وَثَقِّلْ بِهِ مَوَازِينَهُمَا ، وَأَفْرِغْ الصَّبْرَ عَلَى قُلُوبِهِمَ
7. Mengucapkan salam setelah takbir yang ke empat sebagaimana salam pada selain shalat jenazah. Sesudah takbir ini (selain salam) tidak diwajibkan dzikir, akan tetapi disunahkan membaca do’a :
أَللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تُفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ

• Kesunahan-Kesunahan Shalat Janazah (yang lain,-red)
1. Mengangkat kedua tangan ketika takbir dan posisi keduanya sejajar dengan bahu lalu diletakkan di bawah dada sebelah kiri sebagaimana dalam shalat maktubah.
2. Melihat jenazah. Menurut pendapat sebagian ulama’ (yang diambil dari bahasan Imam Bulqini) adalah melihat tempat sujud walaupun hanya perkiraan saja. Kesunahan ini berlaku juga bagi orang yang buta dan orang yang shalat dalam keadaan gelap.
3. Mengeraskan bacaan takbir dan salam bagi imam dan penyambung suara imam (muballigh).
4. Membaca ta’awwudz dengan suara pelan (lirih).
5. Melirihkan baca’an surat Al Fatihah, shalawat Nabi SAW dan juga do’a-do’a.
6. Membaca “amien” dan melirihkannya.
7. Meninggalkan bacaan do’a iftitah dan surat.
8. Melaksanakan shalat jenazah di Masjid.
9. Membuat tiga baris dalam shalat jenazah karena ada hadits yaitu :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ مَرْثَدٍ الْيَزَنِيِّ عَنْ مَالِكِ بْنِ هُبَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّي عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إِلَّاغُفِرَله (رواه أبي داود)
10. Orang yang menshalati (baik berlaku sebagai imam ataupun shalat sendirian) berdiri denagn posisi lurus dengan kepala mayyit apabila mayyitnya laki-laki, dan lurus dengan pantat apabila mayyitnya perempuan atau berkelamin ganda (huntsa).
11. Meletakkan kepala mayyit laki-laki pada arah kiri mushalli (di arah Selatan) dan sebaliknya (Utara) jika mayyit adalah perempuan atau berkelamin ganda (huntsa).
:: Apabila mayat adalah seorang perempuan, maka dlamir yang kembali pada mayyit diganti dengan dlamir mu’annats ( ها ). Contoh :
اللهم اغفر لها وارحمها الخ - اللهم هذه امتك وبنت عبدك الخ
:: Atau tidak diganti (tetap mudzakar), tetapi yang dikehendaki adalah ma’na seseorang (الشخص) atau ma’na mayyit ( الميَت ), dan apabila mayyit tersebut adalah anak kecil maka do’a yang dibaca adalah do’a di bawah ini bersama’an do’a:
اللهم اغفر لحينا وميتنا الخ // اللهم هذه أمتك وبنت عبديك الخ





Prosesi setelah shalat jenazah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar