Total Tayangan Halaman

Senin, 05 Maret 2012

Metode Tafsir Maudhu’i (Tematik)

Manusia, karena perbedaan metode yang digunakan, latar belakang kehidupan dan pendidikan atau karena perbedaan intensitas dan ekstensitas wawasan mufassir. Namum dapat kita prediksi betapa hal-hal yang kontradiktif dan perbedaan pendapat tadi merupakan sumber penyakit dan merupakan pangkal kehancuran bagi umat Ialam. Oleh karena itu, kita perlu memiliki atau memilih metode penafsiran yang dapat dipandang memuaskan, tanpa memastikan bahwa hasil penafsiran itu adalah benar-benar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah swt.Dari hasil penafsiran Alquran bukanlah semuanya merupakan “kata putus” yang harus diterima, tetapi sebagai perangkat yang membantu seseorang dalam memahami maksud suatu ayat Alquran. Yang jelas untuk mengambil hasil penafsiran seorang mufassir tidaklah bijaksana kalau diterima begitu saja atau disalahkan/dikritik begitu saja, tanpa mengetahui dan meneliti metode tafsir yang digunakan oleh mufassir. Pada akhir-akhir ini muncul berbagai metode tafsir ke permukaan yang pada hakekatnya semua metode tersebut sebagai upaya mengungkap maksud¬-maksud Alquran dalam menjawab permasalahan umat. Salah satu metode tafsir yang paling populer akhir-akhir ini ialah metode tafsir maudhu’i (tematik). Dengan penggunaan metode ini diharapkan dapat merupakan sebuah jawaban Alquran terhadap berbagai masalah yang timbul atau paling tidak menambah perbendaharaan dalam ulumul quran. Dikatakan dapat menjawab permasalahan umat, karena prosedur kerja metode ini adalah mengambil berbagai ayat-ayat yang representatif dari seluruh Alquran yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. kemudian mufassir melengkapi dirinya dengan berbagai macam ilmu tafsir, menghubungkan masalah dengan interdiaipliner atau multidiaipliner, dan ditarik kembali kepada Al¬qur’an, serta pada akhimya menemukan sebuah jawaban Alquran terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Untuk tidak terlalu luas dalam pembahasannya, maka penulis membatasinya pada apa dan bagaimana hakekat penafsiran dengan menggunakan metode tafsir maudhu’i. Dalam analisisnya penulis menggunakan pola pikir deskriftif-kontekstual. Artinya adanya kerja penggambaran obyek secara jelas, kemudian diadakan pemaknaan terhadap teks dengan mencari kebermaknaan dengan melihat keterkaitan masa lampau, masa kini, dan mendatang, atau mendudukkan antara yang sentral dengan yang perifer.
II. PENGERTIAN TAFSIR MAUDIIU’ I
Kata maudhu’i berasal dari bahasa arab yaitu maudhu’ yang merupakan isim maf’ul dari fi’il madhi wadha’a yang berarti meletakkan, menjadikan, mendustakan dan membuat-buat.[1] Arti maudhu’i yang dimaksud di sini ialah yang dibicarakan atau judul atau topik atu sektor, sehingga tafsir maudhu’i berarti penjelasan ayat-ayat Alquran yang mengenai satu judul/topik/sektor pembicaraan tertentu. Dan bukan maudhu’i yang berarti yang didustakan atau dibuat-buat, seperti arti kata hadis maudhu’ yang berarti hadis yang didustakan/dipalsukan/dibuat-buat.[2] Adapun pengertian tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur’an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.[3]
Menurut al-Sadr bahwa istilah tematik digunakan untuk menerangkan ciri pertama bentuk tafsir ini, yaitu ia mulai dari sebuah terma yang berasal dari kenyataan eksternal dan kembali ke Alquran. la juga disebut sintesis karena merupakan upaya menyatukan pengalaman manusia dengan al¬qur’an.[4] Namun ini bukan berarti metode ini berusaha untuk memaksakan pengalaman ini kepada Alquran dan menundukkan Alquran kepadanya. Melainkan menyatukan keduanya di dalam komteks suatu pencarian tunggal yang ditunjukkan untuk sebuah pandangan Ialam mengenai suatu pengalaman manusia tertentu atau suatu gagasan khusus yang dibawa oleh si mufassir ke dalam konteks pencariannya. Bentuk tafsir ini disebut tematik atas dasar keduanya, yaitu karena ia memilih sekelompok ayat yang berhubungan dengan sebuah tema tunggal. Ia disebut sistetis, atas dasar ciri kedua ini karena ia melakukan sintesa terhadap ayat-ayat berikut artinya ke dalam sebuah pandangan yang tersusun.
Menurut al Farmawi bahwa dalam membahas suatu tema, diharuskan untuk mengumpulkan seluruh ayat yang menyangkut terma itu. Namun demikian, bila hal itu sulit dilakukan, dipandang memadai dengan menyeleksi ayat-ayat yang mewakili (representatif).[5]
Dari beberapa gambaran di atas dapat dirumuskan bahwa tafsir maudhu’i ialah upaya menafsirkan ayat-ayat Alquran mengenai suatu terma tertentu, dengan mengumpulkam semua ayat atau sejumlah ayat yang dapat mewakili dan menjelaskannya sebagai suatu kesatuan untuk memperoleh jawaban atau pandangan Alquran secara utuh tentang terma tertentu, dengan memperhatikan tertib turunnya masing-masing ayat dan sesuai dengan asbabun nuzul kalau perlu.
III. SEJARAH TAFSIR MAUDHU’I
Dasar-dasar tafsir maudhu’i telah dimulai oleh Nabi SAW sendiri ketika menafsirkan ayat dengan ayat, yang kemudian dikenal dengan nama tafsir bi al-ma’sur. Seperti yang dikemukakan oleh al Farmawi bahwa semua penafsiran ayat dengan ayat bisa dipandang sebagai tafsir maudhu’i dalam bentuk awal.[6]
Tafsir-tafsir buah karya para ulama yang kita ketahui sampai sekarang ini kebanyakan masih menggunakan metode tafsir al-tahlily yaitu menafsirkan ayat-ayat Alquran dalam kitab-kitab mereka, ayat demi ayat, surat demi surat secara tertib sesuai dengan urutan adanya ayat-ayat itu dalam mushaf, tanpa memperhatikan judul/tema ayat-ayat yang ditafsirkan. Hal itu umumnya disebabkan (1) karena dahulu pada awal pertumbuhan tafsir, mereka masih belum mengambil spesialisasi dalam ilmu-ilmu pengetahuan tertentu, yang memungkinkan mereka untuk menafsirkan ayat-ayat al¬qur’an secara tematik/topikal atau sektoral, (2) karena mereka belum terdesak untuk mengadakan tafsir maudhu’i ini, disebabkan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang hafal seluruh ayat Alquran, dan sangat menguasai segala segi ajaran lslam sehingga mereka mampu untuk menghubungkan ayat satu dengan ayat yang lain yang sama-sama membicarakan judul/topik yang satu.[7]
Kalau kita kembali melihat ke dalam sejarah kebudayaan Ialam bahwa pada permulaan Ialam yaitu zaman Rasulullah dan masa sahabat, perhatian mareka terkonsentrasi pada upaya penyiaran agama Ialam, menghadapi berbagai tantangan orang-orang non muslim, menghafal dan pelestarian Alquran dan al-hadia, maka wajarlah kalau tafsir maudhu’i belum berkembang pada masa itu seperti sekarang ini. Pada masa sekarang ini para ilmuwan menghadapi permasalahan yang kompleks, sejalan dengan perkembangan ilmu dan tehnologi, globaliaasi informasi, maka tafsir maudhu’i semakin populer dan mutlak dibutuhkan. Karena Alquran harus dijadikan sebagi pedoman, petunjuk, rahmat, tempat berkonsultasi baik bersikap maupun dalam bertingkah laku dalam rangka menjalankan fungsi seseorang berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan alam. Maka segala sesuatu yang diperoleh di dunia ini, prosesnya, materinya, perencanaannya, tujuannya, hasilnya, semuanya itu haruslah menjiwai pesan-pesan Alquran. Dari sisi ini, re-interpretasi atau mengkaji ulang terhadap penafsiran Alquran yang diberikan para ulama dahulu, dengan metode tafsir maudhu’i mutlak diperlukan. Kalau demikian halnya, maka akan lahir mufassir-mufassir baru yang selalu mengkaji dan menafsir Alquran sejalan dengan keadaan dari masa ke masa.
Tafsir maudhu’i lebih kompleks dan lebih tajam dibandingkan dengan tafsir tahlili (analitis). Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh al-Sadr tentang perbedaan antara tafsir maudhu’i dan tahlili yaitu (1) peran mufassir yang mempergunakan tafsir tahlili umumnya pasif. Pertama-tama ia mulai dengan membahas sebuah naskah Alquran tertentu, dimulai dari sebuah ayat atau kalimat, tanpa merumuskan dasar-dasar pemikiran atau rencana terlebih dahulu, kemudian mencoba untuk menetapkan pengertian Alquran dengan bantuan perbendaharaan al-qur’gn dan berbagai indikasi yang ada padanya dalam naskah khusus tersebut ataupun yang di luar itu. Secara umum usahanya terbatas pada penjelasan sebuah naskah Alquran tertentu. Dalam hal ini, peran naskah serupa dengan si pembicara, dan tugas pasif si mufassir ialah mendengarkan dengan penuh perhatian dengan pikiran yang cerah dan jernih serta penguasaan atas bahasa arab, baik yang klasik, halus serta gaya bahasa arab. Dengan pikiran dan semangat yang demikian mufassir duduk menghadapi A1-qur’an dan mendengarkan dengan penuh perhatian peranannya pasif sementara Alquran menonjolkan arti harfiahnya, si mufassir mencatatnya di dalam tafsimya sampai pada batas pemahamannya. Kontras dengan hal ini, mufassir yang memaki metode maudhu’i (tematiks) tidak memulai aktifitasnya dari naskah Alquran, tetapi dari realitas kehidupan. la memusatkan perhatiannya pada sebuah subyek tertentu dari berbagai masalah yang berhubungan dengan aspek-¬aspek kehidupan sosial atua kosmilogi, dengan menggunakan kumpulan hasil pemikiran dan pengalaman manusia tentang subyek tersebut, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam pemecahan-pemecahan yang dianjurkan sehubungan dengan masalah tersebut, dengan jurang pemisah di antara keduanya. Setelah itu, ia kembali kepada naskah Alquran, namun tidak dalam posisi sebagai seorang pendengar pasif dan seorang pencatat. la menempatkan sebuah topik dan masalah yang ada dari sejumlah pandangan dan gagasan manusia dihadapan Alquran. Dengan begitu ia mulai sebuah dialog dengan Alquran, di mana si mufassir bertanya dan Al-qur’an memberikan jawabannya.[8] Dalm metode tafsir maudhu’i si mufassir mengkaji topiknya dengan menghubungkannya dalam batas-batas kemampuannya, dengan pengalaman intelektual manusia yang tidak sempurna sebagaimana yang diwakili oleh pandangan-pandangan berbagai pemikir baik yang benar maupun tidak benar dengan menggunakan pemikiran-pemikiran tersebut sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Kemudian kembali menyimpan hasil pencariannya, ia kembali kepada Alquran, tidak sebagai pendengar yang pasif tetapi sebagi seseorang yang memasuki suatu dialog. Dengan semangat pencarian dan kontemplatif, ia bertanya kepada Alquran yang dimulai dengan naskah-naskah Alquran mengenai subyek kajiannya. Tujuannya di sini ialah menemukan pandangan Alquran mengenai subyek kajian dan sampai pada satu kesimpulan yang diilhami oleh naskah, sambil membandingkannya dengan gagasan-gagasan dan pandangan-pandangan yang berhubungan dengan subyek tersebut. Dengan demikian, perbedaan mendasar yang pertama antara tafsir tahlili dan maudhu’i ialah bahwa dalam metode yang pertama si mufassir pasif, pendengar sambil membuat catatan yang tidak demikian dengan metode yang kedua. Tafsir maudhu’i ialah meletakkan warisan intelektual dan pengalaman manusia sebagaimana juga pemikiran kontemporer di hadapan Alquran, untuk mencari pandangan Alquran tentang subyek kajian yang dibahas. Selanjutnya al-Sadr mengemukakan bahwa perbedaan kedua (2) bahwa tafsir maudhu’i selangkah lebih maju dari pada tafsir tahlili. Tafsir tahlili membatasi dirinya pada pengungkapan arti ayat-ayat Alquran secara terperinci, sementara tafsir tematik menuju pada sesuatu yang lebih dari itu dan mempunyai lingkup pencarian yang lebih luas. la berusaha mencari tata hubungan antara ayat-ayat yang berbeda, yang perincian masing-masing ayatnya telah disediakan oleh metode analitik, untuk mencapai kepada sebuah susunan pandangan Alquran yang utuh, yang di dalam kerangka kerja tersebut masing-masing ayatnya mempunyai tempat sendiri. Inilah apa yang kita sebut sebagi pandangan atau cara pandang. Metode tematik berupaya, miksimal untuk sampai pada pandangan A1-qur’an tentang nubuwwah, pandangan Alquran sehubungan dengan teori ekonomi, pandangannya tentang hukum-hukum yang membentuk jalannya sejarah dan pandangannya tentang kosmologi. Dengan demikian, tafsir maudhu’i satu tahap lebih maju dari pada tafsir tahlili, dan bertujuan untuk sampai pada suatu susunan pandangan yang mewakili sikap Alquran tentang sebuah tema tertentu dari berbagai ayat idiologi, sosial dan kosmologi.[9] Keutuhan antara naskah Alquran dan pengalaman manusia yang mana mufassir mondar-mandir berdialog dan berfikir antara Alquran membela kepentingan manusia dan Alquran sebagai wahyu Allah akan besar kemungkinan dapat menjawab masalah umat manusia.
IV. URGENSI TAFSIR MAUDHU’I
Bila dicermati, dalam metode tafsir maudhu’i akan diperoleh pengertian bahwa metode ini merupakan usaha yang berat tetapi teruji. Dikatakan berat, karena mufassir harus mengumpulkan ayat dalam satu tema dan hal-¬hal yang berhubungan dengan tema tersebut. Dikatakan teruji, karena memudahkan orang dalam menghayati dan memahami ajaran Alquran, serta untuk memenuhi menyelesaikan berbagai masalah yang timbul di zaman ini. Begitu pentingnya metode ini, Abdul Djalal menyebutkan faedah metode ini yaitu (1) akan mengetahui hubungan dan persesuaian antara beberapa ayat dalam satu judul bahasan, sehingga bisa menjelaskan arti dan maksud-maksud ayat-ayat A1-qur’an dan petunjuknya, ketinggian mutu seni, sastra dan balghahnya. (2) akan memberikan pandangan pikiran yang sempurna, yang bisa mengetahui seluruh nash-nash Alquran mengenai topik tersebut secara sekaligus, sehingga ia bisa menguasai topik tersebut secara lengkap. (3) menghindari adanya pertentangan dan menolak tuduhan yang dilontarkan oleh orang-orang, yang mempunyai tujuan jahat terhadapAlquran, seperti dikatakan bahwa ajara Alquran bertentangan dengan ilmu pengetahuan, (4) lebih sesuai dengan selera zaman sekarang yang menuntut adanya penjelasan tuntutan-tuntutan Alquran yang umum bagi semua pranata kehidupan sosial dalam bentuk peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang sudah difahami, dimanfaatkan dan diamalkan, (5) mempermudah bagi para muballigh dan penceramah serta pengajar untuk mengetahui secara sempurna berbagai macam topik dalam Alquran, (6) akan bisa cepat sampai ke tujuan untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu topik bahasan aI-qur’an tanpa susah payah, (7) akan menarik orang untuk mempelajari, menghayati dan mengamalkan isi Al¬qur’an, sehingga Insya Allah tidak ada lagi semacam kesenjangan antara ajaran-ajaran Alquran dengan pranata kehidupan mereka. (8) silabi pelajaran tafsir di madrasah-madrasah dan silabi mata kuliah tafsir di fakultas-fakultas, bisa dijabarkan dalam buku-buku pelajaran sehingga menunjang pendidikan yang merupakan program nasional.[10] Menurut al-Zahabi bahwa telah terjadi kesalahan pada tafsir bi al-ro’yu antara lain (1) kecenderungan mufassir terhadap makna yang diyakininya tanpa melihat petunjuk dan penjelasan yang dikandung dalam lafaz-lafaz al¬qur’an tersebut, dan (2) kecenderungan mufassir untuk semata-mata memperhatikan lafaz dan maknanya yang bisa difahami oleh penutur bahasa Arab tanpa memperhatiakn apa yang sebenarnya dikehendaki oleh yang berbicara dengan Alqur’an tersebut, yang dibicarakan olehNya dan konteks kalimatnya.[11] Oleh karenanya oleh Mursi Ibrahi mmengemukakan bahwa perlunya mufassir mengumpulkan nash-nash Alquran yang berhubungan dengan judul yang dibahas.[12] Dari sini kita melihat bahwa tafsir maudhu’i itu penting artinya. Disamping banyak faedah tafsir maudhu’i, juga terdapat kekeliruan menafsirkan Alquran yaitu karena dalam menafsirkannya hanya mengambil parsial ayat, juga tafsir dengan metode ini semakin penting melihat banyaknya penyusupan konsep-konsep asing dalam kosa kata, yang menimbulkan kerancuan dalam pengetahuan tentang Ialam serta pandangan di kalangan umat Ialam, dan pada masa sekarang tidak banyak umat Ialam yang hafal Alqur’an, maka besar kemumgkinan terjadinya pemahaman ayat tidak sejalan dengan ayat-ayat lainnya. Sebagaimana dikemukakan oleh Farmawi bahwa tafsir ini dapat menghindarkan terjadinya pendapat-¬pendapat yang saling bertentangan dan subhat-subhat yang diciptakan oleh oarang-orang yang mempunyai tujuan tertentu.[13]
Telah muncul beberapa kitab atau makalah yang dalam penafsirannya dengan memakai tafsir maudhu’i atau sedikit-dikitnya mendekati penerapan tafsur ini, antara lain:
1. Abu A’la al-Maududi, al-Riba fi Alquran al-Karim.
2. Abu Ibrahim Musa, al-Insan fi Alquran al-Karim.
1. Abbas al-Aqqad, al-Mar’ah fi Alquran al-Karim.
1. M. Quraiah Shihab, “Penafsiran Khalifah dengan Metode Tematik”, dalam Membumikan AI-Qur’ an.
1. M. Quraiah Shihab, Tafsir al-Mishbah.
1. Jalaluddin, Konsep Perbuatan Manusia menurut Alquran (Suatu Kajian Tafsir Tematik dan sudah menjadi buku).
2. Maragustam Siregar, Ummat Menurut AI-Qur’an (Tinjauan Tafsir Maudhu’i), berupa makalah.
3. Prof. Dr. H. Maragustam Siregar, M.A. Ide-ide sentral Syekh Nawawi al-Bantani tentang Pendidikan Islam (disertasi dan sudah menjadi buku).
4. Abd. Mun’im Salim, Dr., Fiqh Siyasah Konsep Kekuasaan Politik Dalam AlQuran, Manajemen PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 (disertasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar