Total Tayangan Halaman

Sabtu, 03 Maret 2012

Kupinang engkau dalam mimpi

“David, kita harus mensikapi persoalan ini secara dewasa dong, kita jangan mengedepankan emosi, berusahalah berfikir positif dan lapang dada!” kata sepupuku Mujahid Helmi, berupaya menjernihkan suasana. Kata-katanya kuanggap angin lalu, aku diam seribu bahasa, kututup rapat mulutku, sambil menggigit bibir bagian bawah. Kedua tanganku meraba kening, aku menundukan kepala. Dengan tatapan kosong memandang kedua ujung jemari kakiku. Pikiranku terbang entah kemana. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kemudian, tidak berapa lama sepupuku kembali menasehatiku :
“David, yakinlah, mungkin ini yang terbaik bagi kita. Oke lah kita punya rencana, tapi Allah juga punya rencana untuk kita!”
“Udahlah mi, aku kagak butuh khutbahmu!” balasku dengan emosi. Detak jantungku semakin kencang. Terasa tanganku bergetar, aku marah kepadanya sebab aku kesal, akibat dari kelalaiannya, tiket pesawatku hilang, sehingga nasib acara khitbahku menjadi tidak jelas. Hatiku juga mengutuk orang Mesir yang mencuri tiket pesawatku saat sepupuku mengambil wudlu didalam mesjid.
Aku lihat sepupuku menjadi diam, aku dan dia terhanyut pada arus pikiran masing-masing.
“Kriiiiingg … !” tiba-tiba suara telepon memecahkan suasana. Aku tidak beranjak untuk mengangkatnya, beberapa kali telepon itu berbunyi, akhirnya sepupuku melangkahkan kaki menuju tempat telepon.
“Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, betul, ya, ada!” terdengar ditelingaku dia menjawab lawan bicaranya. Setelah itu Mujahid menoleh kepadaku sambil berseru:
“David, nih ada telepon untukmu!”
“Bilang saya tidak ada, saya tidak mau diganggu!” jawabku dengan cuek dan ketus.
“Tapi ini penting lho, dari orang tuamu di Indonesia!”
Mendengar orang tuaku ia sebut-sebut, aku langsung bangkit. Kuterima gagang telepon yang di sodorkannya kepadaku, lalu aku berkata:
“Assalamu’alaikum, ini bapak ya, bagaimana khabar keluarga di Bandung?”
Ada sedikit lega dihatiku saat orang tuaku mengatakan bahwa mereka sehat wal afiah. Setelah itu diujung telepon sana orang tuaku menjelaskan kepadaku:
“David, Alhamdulillah, persiapan untuk acara khitbahmu sudah beres. Insya Allah waktunya lima hari lagi dan tempatnya di Hotel Savoi Homann!”
Aku seperti di sambar petir disiang bolong. Apa tidak salah orang tuaku melakukan hal itu. Hatiku kecilku menolak. Ajaran Islam tidak mengharuskan seperti itu, kecuali walimatul Ursy atau pernikahan. Ini sebuah pemubadziran dan terkesan mencari prestise. Aku tercenung, lidahku terasa kelu untuk mengatakan ketidak setujuan terhadap orang tua. Satu sisi aku harus mencegah acara seperti itu, disisi lain aku tidak ingin orang tuaku tersinggung dan kecewa. Aku terjebak dalam jurang simalakama. Terlintas dalam benakku tiket pesawatku yang hilang. Dengan hati-hati aku berkata :
“Bapak, sebelumnya David mohon maaf, kalau bisa Bapak membatalkan acara khitbah yang dihotel itu, dikarenakan tiket pesawatku untuk keberangkatan dua hari yang akan datang hilang, dan aku mendapatkan tiket pengganti dengan tanggal keberangkatannya bertepatan dengan hari berlangsungnya acara khitbah itu!”
Aku dapat menangkap kekecewaan bapakku, lewat desahan nafasnya ditelepon. Beberapa menit kemudian aku berusaha meyakinkan agar usulan pembatalan acara itu beliau terima. Akhirnya orang tuaku mengabulkannya juga. Kuletakkan gagang telepon, dan akupun duduk kembali.

* * *
Selesai mandi dan sarapan pagi aku membaca buku muqarrar sambil menikmati kaset nasyid oleh-oleh mahasiswa baru yang dari Indonesia. Lagu “Mata Hati” yang disenandungkan oleh group Hijjaz sedikit menyejukkan jiwaku. Angin musim dingin yang menyelinap lewat jendela kamarku, membuatku menggigil. Lembar demi lembar muqarrar ini aku tarhiz. Tiba-tiba teman-teman kamar sebelahku berdatangan mereka bercanda kepadaku padahal saat ini aku butuh akan ketenangan.
“Wah, lagi ngapain nih? Baca atau ngelamun? ‘Ntar juga ngalaman?” sapa temanku, Edi Mulyadi orang asli sunda. Aku pura-pura tidak mendengarnya. Selanjutnya Abdul menambah,
“David, gimana proyek khitbahmu, jadi ngga?”
“Iyya, kalau dibiarkan lama-lama nanti ada yang nyerobot lho!” Seloroh temanku Okki yang asli Jakarta ikut nimbrung. Lagi-lagi aku tidak bergeming, aku terus membaca. Lama-kelamaan aku menjadi pusing juga dengan gurauan mereka. Aku takut diriku menjadi emosi seperti kepada sepupuku kemarin. Aku harus cepat menghindar dari mereka, aku harus keluar rumah. Hanya saja aku bingung tujuannya kemana. Dalam kebingungan itu, aku ingat rencana Ridwan bahwa hari ini ada acara rekreasi ke Qanathir.
Tanpa ba-bi-bu lagi, aku keluar kamar untuk menuju rumah Ridwan, dan kulihat teman-temanku heran atas kepergianku.

* * *

Ba’da shubuh, sebagaimana biasanya aku membaca Al Qur’an. Tapi belum juga habis satu lembar kubaca, mataku sudah terasa berat sekali. Dan satu-satunya obat hanyalah tidur. Ternyata istirahatku tadi malam belum cukup membayar rasa capekku setelah pulang rekreasi dari Qanathir kemarin.
Dasar godaan syetan, membaca Al Qur’an ngantuk. Tapi setelah dibaringkan, bukannya langsung tidur tapi aku malah teringat kejadian di Qanathir. Maksud hatiku berekreasi ini untuk mencari ketenangan diri, tapi ternyata hanya kekesalan yang aku dapatkan. Aku kesal melihat kehidupan remaja-remaja Mesir. Mereka sudah terlalu bebas dalam bergaul antar lawan jenis. Semakin tua peradaban yang mereka miliki, tidak menjadikan mereka lebih menghargai nilai-nilai akan kehormatan seorang manusia. Justru sedikit demi sedikit mereka mulai berkiblat ke Barat, aku terus merenung, sehingga tidak ingat apa-apa lagi.

* * *

Dalam sebuah ruangan, tepatnya ruang tamu, aku beserta kedua orang tuaku duduk berhadapan dengan keluarga teman bapakku ketika dulu sama-sama berjuang di KAPPI. Teman bapakku itu tidak lain adalah calon mertuaku. Kehadiran kami adalah untuk mengkhitbah putrinya. Setelah beberapa saat berbasa-basi dan bernostalgia bapakku membuka pembicaraan kepada calon mertuaku:
“Saudaraku, Akhdiat, pepatah telah mengatakan,sudah dipaku diikat pula, artinya selama ini kita telah dipaku dalam jalan perjuangan yang sama. Agar supaya ukhuwwah diantara kita menjadi lebih kokoh, maka alangkah baiknya kalau kita diikat pula. Dan sebagai tali talinya adalah hubungan besan diantara kita, oleh karena itu aku berniat mengkhitbah putrimu, Nurul Sakinah, untuk mendampingi hidup putraku, bagaimana?”
Suasana menjadi hening, aku lihat Bapak Akhdiat, calon mertuaku itu melirik ke istrinya sambil tersenyum. Aku tak sabar mendengar jawabannya.
“Ibarat bumi menerima air hujan, Alhamdulillah dengan senang hati kami menerima maksud saudara!” Sebuah jawaban yang singkat terluncur dari mulut Bapak Akhdiat. Ada rasa gembira terjelma dalam sanubariku saat lamaranku diterima.
Setelah itu orang tuaku bersama dengan calon mertuaku membicarakan hari pernikahanku. Sedangkan aku hanya menjadi pendengar yang budiman. Selain kedua calon mertuaku didepanku duduk calon istriku. Wajahnya memancarkan ketenangan sesuai dengan nama yang ia miliki, Nurul Sakinah. Ia seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung yang sekarang sedang menyusun skripsinya. Mataku meliriknya, dan hatiku pun bergetar kala memandang wajahnya. Hidungnya mancung, mata beningnya menyimpan berjuta pesona, alisnya laksana iringan semut, bibirnya yang merah merekah bersih tidak terpoles oleh lipstik, dagunya ibarat lebah bergantung, kulitnya halus laksana sutra, dan kecantikan itu semakin sempurna setelah dibungkus jilbab merah jambu yang dipadukan dengan jubah ungu yang ia kenakan. Dalam hatiku berkata, ”Seandainya calon istriku ini memakai perhiasan dari kristal asli dari Asfour Mesir, pasti kecantikannya akan mengalahkan ratu kecantikan sedunia tahun ini, Larra Dutta yang asli India!”
Lamunanku buyar tatkala orang tuaku bertanya kapan aku kembali ke Mesir, karena aku masih harus menyelesaikan tiga mata kuliah yang tersisa.
Belum juga aku jawab, sekonyong-konyong aku merasa ada tangan yang menggoncangkan tubuhku. Ternyata aku bermimpi, aku mengocek-ngocek mataku. Samar-samar kulihat sepupuku berdiri didepanku dengan membawa koran Al Ahram.
“David, lihat nih berita, pesawat KU 414 yang seharusnya kamu tumpangi kemarin, meledak diperairan Malaysia!” Mujahid memberitahukan.
“Hah, yang benar aja!”
“Benar, lihat ini!”
Aku segera meraih koran itu dan langsung membaca berita yang ditunjukkan sepupuku. Kueja huruf demi huruf, sampai akhirnya berita itu rampung kubaca. Bersamaan dengan itu, aku merasa sangat malu kepada Allah SWT mengingat sikapku dua hari yang lalu, aku seolah-olah tidak meyakini akan taqdir Allah SWT. Ternyata empat tahun belum cukup, menjadi anak panah Azhary yang siap mengarungi samudra ujian.
Juga aku merasa bersalah dan berdosa atas sikapku terhadap sepupuku. Aku langsung memeluknya. Tak terasa butiran air mata mengalir dipipiku.
“Mujahid nasehatmu benar, ma’afin aku yach, aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi bila tiket pesawatku tidak hilang!”.
Ia menjawabku dengan sebuah senyuman, akupun memaksakan diri untuk tersenyum. Dan aku benar-benar tersenyum, ingat akan mimpiku yang terputus. Kemudian ku berbisik dalam hatiku: “Kupinang engkau dalam mimpi!“.
* * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar